Hanya karena bentuk fisik yang tak seindah wanita lain. Alice harus menelan pil pahit sebuah pengkhianatan suami.
"Ckkk." Gavin berdecak seraya terkekeh mengejek. "Apa kamu tak berkaca, Alice? Lihat tubuhmu itu, sudah seperti babi putih. Bulat tak ada lekukan. Ukuranmu yang besar itu sudah membuatku jijik. Jangankan untuk menyentuhmu, senjataku saja tak mau berdiri saat melihatmu mengenakan pakaian minim di kamar. Apa pun yang kamu kenakan untuk merayuku, tak mampu membuatku berhasrat padamu. Apa kau mengerti!"
Penghinaan serta pengkhianatan yang Gavin lakukan pada Alice meninggalkan luka yang begitu dalam, hingga membuat hati Alice membiru.
Mahkota yang seharusnya ia hadiahkan pada suaminya, justru menjadi malam petaka dan cinta satu malam yang Alice lakukan pada Bara, kakak iparnya sendiri.
Bagaimana malam petaka itu terjadi? Bagaimana Bara bisa menyentuh Alice saat suaminya saja jijik menyentuhnya? Lalu apa yang akan Alice lakukan untuk melanjutkan hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bunga Peony, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 34. Terungkap Sebuah Fakta.
Vano dan Noah turun dari mobil hitam yang membawa mereka berdua pulang. Maya dan Robert sudah menunggu di depan teras dengan perasaan senang yang membuncah.
Saat melihat seorang bocah lelaki keluar dari mobil, Maya langsung menghambur dan memeluk tubuh kecil itu dengan sayang.
“Ya ampun, kamu sudah besar Sayang. Ini Oma, Ibu dari Mommymu,” ucap Maya begitu antusias.
Noah tersenyum, bocah lelaki dengan bola mata coklat itu memandang Maya dan Robert secara bergantian. Lalu menatap pada Vano yang keluar dari pintu di sisi yang berlawanan.
Vano mengangguk. Noah yang tadi canggung langsung mendekat. Ia memberi salam pada suami-istri itu secara bergantian dengan sopan.
“Apa kabar Grandma dan Grandpa?” ujarnya dengan begitu lembut.
Maya menatap suaminya, pasangan yang menua bersama itu pun saling berpandangan sejenak lalu detik kemudian tertawa bersama.
“Ternyata cucu kita bule, Pa,” gurau Maya pada lelaki yang seluruh rambutnya telah memutih, kini hitam kembali karena habis saja di semir.
“Nggak apa-apa, Ma. Yang penting cucuku senang. Kesini Sayang!” balas Robert tak kalah lembutnya, ia menghampiri Noah.
Robert meraih tubuh kecil Noah ke dalam gendongannya. Lalu mengajak semuanya untuk masuk ke dalam rumah. Ia sudah tak sabar ingin berbincang dan bermain bersama sang cucu.
Wajah Noah berseri seindah bunga sakura di musim semi. Merah merona dengan banyaknya kupu-kupu yang menggelitik perutnya. Noah sama seperti bocah lima tahun lainnya. Ia menginginkan keluarga yang sempurna; ada Ayah, Ibu, kakek, nenek dan juga saudara lainnya.
Robert mengajak cucunya bercanda riang, ia mencium pipi gembul Noah dan membuat bocah itu tertawa karena merasa geli pada anak-anak janggut yang menusuk-nusuk kulit pipinya.
Mereka begitu bahagia, rumahnya yang selalu tampak sunyi dan dingin selama lima tahun belakangan ini mungkin akan kembali ceria dan menghangat dengan kepulangan anak dan cucu yang selalu suami-istri itu nantikan.
Vano masih berdiri sembari menaikkan salah satu alisnya, menatap kedua orang tuanya yang telah pergi begitu saja, mengabaikan kehadiran dirinya. Sedari tadi tak ada satu pun yang bertanya bagaimana kondisinya dan kabarnya. Semuanya berfokus pada kehadiran Noah.
“Sepertinya kedudukanku sebagai anak emas di rumah ini akan tergantikan. Yah … Nggak jadi anak bungsu kesayangan lagi deh,” gumam Vano sedih.
Pria 39 tahun yang menjadi supir itu, sedari tadi hanya berdiri diam memperhatikan tuan mudanya merengut seraya terkekeh kecil.
“Namanya juga cucu Mas, Vano. Ada pepatah yang mengatakan sesayang-sayangnya orang tua pada anak, pasti akan lebih sayang lagi pada cucu-cucu mereka.”
“Ahh, Mang Udin bikin aku tambah sedih saja!” tandas Vano dengan wajahnya yang semakin ditekuk. Pemuda itu membuka pintu bagasi mengambil barang-barangnya dan Noah. Tentu saja dengan bantuan Mang Udin.
~ ~ ~
Yonna keluar dari ruangan itu dengan wajah yang tersentak kaget, pasalnya di depan pintu dengan jarak kurang lebih sepuluh meter telah berdiri Tama yang dari tadi mencarinya.
“Bukannya kamu ke kamar mandi, lalu kenapa ada di sini?” tanya Tama. Yonna meneguk ludahnya susah payah.
“Hmm, itu … tadi—“
“Aku rasa ruangan ini cukup bagus dan luas, dan tampaknya kedap udara,” celetuk Bara yang tiba-tiba muncul dari balik pintu memotong ucapan Yonna.
Yonna terpaku di tempat sembari merutuki lelaki yang ada di belakangnya itu.
“Kenapa kalian berdua bisa keluar dari ruangan itu? Kalian …,” Tama menggantungkan ucapannya. Jemarinya menunjuk ke arah Yonna dan Bara secara bergantian.
Ia memicingkan matanya menatap sekretaris dan pengacaranya dengan perasaan curiga. Ia bukan lelaki bodoh yang tidak bisa mengartikan apa yang ada di hadapannya saat ini, namun ia tak mau berperasangka buruk pada wanita yang mulai mengisi hatinya secara perlahan itu.
“Nggak, bukan begitu. Jangan salah paham dulu, itu tadi Pak Bara mau melihat-lihat ruangan ini saja dan saya yang nyasar, melihat sebentar lalu keluar,” dalih Yonna cepat sambil menggerakkan kedua tangannya. Ia panik.
Tama kini beralih menatap Bara yang mulai mendekat, tatapan mata pria itu sedikit berbeda dari biasanya dan Bara menyadari itu. Tama tidak memandang Yonna sebagai sekretaris dan atasan. Tetapi lelaki itu memandang Yonna seperti seorang lelaki terhadap seorang wanita pada umumnya. Dan itu cukup mengusik perasaan Bara.
“Ayo kita pulang, urusan di sini sudah selesai!” Tama menarik lengan kanan Yonna. Sontak Bara menahan lengan kiri Yonna agar wanita itu tidak pergi.
“Tidak! Saya masih ada urusan yang belum saya selesaikan terhadap Istri saya!”
Yonna melongo mendengar ucapan Bara yang mengada-ngada. Sejak kapan mereka menikah hingga dengan mudahnya pria itu mengklaim dirinya sebagai istrinya. Satu-satunya hubungan yang pernah mereka jalani hanyalah hubungan antara mantan Kakak Ipar dan Adik Ipar saja.
“Istri?” tanya Tama masih tak percaya apa yang dikatakan lelaki tinggi itu.
“Iya, istri. Dia istri saya yang kabur lima tahun yang lalu!”
Tama terkekeh, hatinya sedikit tercubit dengan kenyataan yang baru saja ia dengar. Tama memang mengetahui latar belakang Yonna yang dulu pernah menikah lima tahun yang lalu.
Sayangnya ia tidak pernah tahu siapa lelaki bodoh itu dan kini lelaki itu adalah orang yang selalu di dekatnya dan berdiri di hadapannya. Tentu saja perasaan pria itu bercampur aduk sekarang, ada rasa kesal dan cemburu yang melebur menjadi satu.
“Tidak, itu tidak benar!” sanggah Yonna cepat. Ia menghujamkan tatapan pada kedua bola mata Bara. Lelaki itu justru terkekeh. Gila, mungkin hanya kata itu yang dapat Yonna artikan atas tindakan impulsif lelaki itu.
“Tidak benar? Apa kamu mau menyangkal jika kamu sudah menikah lima tahun yang lalu?” Bara menekan Yonna dengan kalimat yang membuat wanita itu kebingungan.
Riak wajah lelaki hitam manis itu berubah seketika. “Hanya sebatas mantan, lalu apa masalahnya? Hubungan kalian sudah selesai, bukankah kamu pria yang menceraikan istrimu sendiri demi wanita lain!”
Bara melihat Yonna. Lelaki itu semakin yakin jika hubungan keduanya jauh lebih dekat dari apa yang ia bayangkan. Bahkan Tama tahu segala hal tentang wanita itu.
Yonna mulai panik, ia takut perdebatan ini membuat Tama tak sengaja membongkar sesuatu yang ia sembunyikan. Wanita itu segera menepis tangan Bara yang sedari tadi mencengkram tangannya, bersamaan dengan itu genggaman tangan Tama juga ikut terlepas.
“Sebaiknya kita pergi saja Pak. Tidak enak dilihat orang!” Yonna mengajak Tama untuk mengalihkan pembicaraan mereka yang mulai mendetail.
“Jauhi Yonna! Lelaki sepertimu tak pantas untuknya, kamu sudah menyakitinya. Hanya seorang pecundang yang meninggalkan anak dan istrinya hanya untuk wanita lain!”
“Mati aku! Kenapa di katakan sih!” batin wanita itu merutuki diri sendiri atas apa yang diucapkan oleh Tama.
“Anak?” Bara menatap Yonna dengan senyum yang mengerikan.
“Iya, anak. Apa kau juga tak mengetahui jika dirimu memiliki seorang putra? Suami macam apa dirimu, huh!” Tama tertawa mengejek. Berbeda dengan Yonna, tubuhnya sedikit bergetar melihat wajah bara yang tampak begitu kesal dengan rahang yang mengetat.
“Kau harus menjelaskan semua ini padaku, Alice!” Bara langsung menarik pelan tangan Yonna agar ikut dengannya.
“Lepaskan aku! Kamu mau membawaku ke mana?” tanya Yonna sembari menyeimbangkan langkah diri dengan langkah panjang Bara.
Tama ingin membantu sekretarisnya, akan tetapi Aidan yang sedari tadi mengintip dari balik suatu tempat yang berada di dekat mereka, langsung berlari dan menahan pria itu.