Selina harus menelan pahit kenyataan di kala dirinya sudah bercerai dengan mantan suami hasil perjodohan. Ternyata tak lama setelah itu, dia menemukan dirinya tengah berbadan dua.
Selina akhirnya memutuskan untuk membesarkan bayinya sendiri, meskipun harus menjadi ibu tunggal tak membuatnya menyerah.
Berbeda dengan Zavier. Mantan suaminya yang hidup bahagia dan mewah dengan kekasihnya. Seseorang sudah hadir di hidup pria itu jauh sebelum kedatangan Selina.
Akankah kebenarannya terungkap seiring berjalannya waktu? Belum lagi Selina Kini harus terjebak dengan seorang bos yang sangat menyebalkan.
Ikuti kisahnya!!!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ara Nandini, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19
Ian sudah selesai makan dan mandi. Bocah itu berlari kecil dengan wajah ceria ke arah kamar dimana kini Selina duduk di kursi sambil membaca buku.
“Mama, hari ini hari Minggu. Mama nggak mau ngajak Ian ke mal gitu?” tanyanya langsung, matanya berbinar penuh harap.
Selina mengangkat pandangannya. Tangan lembutnya terulur mengusap pipi putranya. “Emang kamu mau ke mana?”
“Ke mal… atau makan-makan biasa. Ian udah lama nggak makan ayam crispy yang enak itu di mal,” jawabnya antusias.
Selina terdiam. Bukannya dia tak ingin membawa putranya jalan-jalan, hanya saja ketakutan masih menghantui pikirannya. Jika ia keluar, besar kemungkinan ia akan bertemu dengan Zavier atau keluarganya—dan itu yang paling ia hindari.
“Mmm… kalau kamu mau ayam crispy, Mama bisa buatin? Terus nanti kita makan di belakang rumah. Gimana?” katanya dengan mata berbinar.
Ian menunduk sebentar, ekspresi antusiasnya sirna. “Yaudah deh…” katanya singkat.
Selina bisa jelas melihat kekecewaan di mata putranya. Hatinya perih. Anak sekecil itu saja selalu berusaha membuatnya tersenyum, tidak pernah membiarkannya bersedih. Dan Selina tentu tidak ingin membuat putranya kecewa atau sedih.
Ian keluar dari kamar dengan langkah lesu. Ia duduk di sofa ruang tamu, menggoyang-goyangkan kakinya kecil, pandangannya kosong tertuju ke lantai.
Beberapa menit kemudian, suara langkah kaki terdengar. “Ayo, kita pergi sekarang ke mal.”
Ian sontak mendongak, matanya membesar. Selina sudah berdiri di depannya dengan tas kecil tersampir di bahu, wajahnya tersenyum lembut.
“Really, Ma?”
“Iya. Sekalian Mama pengen beliin kamu baju baru,” jawab Selina sambil membelai rambut putranya.
Senyum lebar merekah di wajah Ian. “Yey! Terima kasih, Mama!” serunya riang, lalu buru-buru memeluk pinggang Selina erat.
•
•
Selina buru-buru membawa Ian pergi dengan motor pink-nya. Tepat saat motor itu menghilang di tikungan, sebuah mobil Alphard hitam berhenti di depan kontrakan sederhana Selina.
Dari dalam mobil, Zavier turun bersama kedua orang tuanya. Wajah mereka terlihat serius. Mereka tidak akan kembali ke kota Vienna sebelum bertemu dengan Selina dan Ian, meski dalam hitungan hari lagi Zavier dijadwalkan menikah dengan Eliza.
Eliza sendiri sudah ia suruh pulang semalam karena harus menyiapkan diri untuk pernikahan mereka. Zavier sama sekali tidak risau soal acara di gedung pernikahan. Semua sudah ditangani orang-orang suruhannya, hingga ia tinggal datang saja di hari H.
“Kayaknya Selina pergi, Pa,” ujar Denada sambil memperhatikan pintu rumah yang terkunci rapat dari luar.
“Kemana dia pagi-pagi begini?” Hero mengerutkan dahi.
Zavier berdecak kesal. Ia baru sadar bahwa ia lupa meminta nomor ponsel Selina semalam. “Sial,” gumamnya rendah.
Di saat itu, seorang wanita paruh baya yang mengenakan daster sederhana keluar dari kontrakan sebelah. Dialah Bi Desi. Keningnya berkerut melihat tiga orang asing dengan mobil mewah di depan kontrakan Selina.
“Maaf, cari siapa ya?” tanyanya hati-hati sambil mendekat, tatapannya bergantian tertuju pada Zavier dan orang tuanya.
“Maaf, apa anda kenal dengan pemilik kontrakan ini?” tanya Hero dengan suara tenang.
“Iya, dia Selina. Saya tetangganya,” jawab Bi Desi sambil menyipitkan mata curiga. “Ada urusan apa kalian dengan Selina?”
Zavier saling pandang sebentar dengan kedua orang tuanya.
“Kami… hanya ingin bertemu dengannya saja. Saya temannya Selina,” kata Zavier mencoba terdengar santai.
Namun, kening Bi Desi semakin berkerut. Setahunya, Selina tidak pernah punya teman pria, apalagi dari kalangan atas seperti orang-orang di depannya.
“Saya teman lamanya. Ada yang memberitahu saya kalau Selina tinggal di sini,” tambah Zavier cepat.
Bi Desi hanya mengangguk tipis. “Selina sama anaknya baru saja pergi.”
“Kemana?” Zavier langsung menimpali.
“Saya tidak tahu,” jawab Bi Desi, “Tapi bisa saja mereka jalan-jalan atau ke mal. Biasanya Selina memang suka bawa anaknya ke sana.”
“Oh, begitu ya… terima kasih banyak kalau begitu.” Zavier menangkupkan kedua, bibirnya tersungging senyum tipis.
Bi Desi hanya membalas anggukan kecil, lalu berbalik masuk kembali ke rumahnya.
Begitu tetangga itu menghilang, wajah Zavier berubah muram. “Gimana ini?” gerutunya sambil mengusap wajahnya kasar.
“Tunggu sampai sore,” ucap Denada tegas. “Mereka pasti datang. Dan Mama nggak akan biarin Selina menghindar lagi dari kita.”
•
•
“Bisa nggak sih nggak usah glendotan gini? Risih diliatin orang.” Jayden memasang wajah juteknya saat Maisa tak berhenti menempel manja di lengannya seperti anak kecil yang takut lepas.
“Biarin ah, bentar lagi juga kita bakal nikah dan jadi suami istri,” katanya ceria.
“Jangan mimpi. Aku nggak tertarik sama sekali sama kamu,” balas Jayden dingin.
Maisa bukannya tersinggung, ia justru semakin erat memeluk lengan kekar Jayden.
Maisa menarik Jayden menuju salah satu toko pakaian wanita. Jayden langsung tercengang saat melihat etalase toko yang penuh dengan pakaian super mewah dan ketat—baju-baju yang menurutnya terlalu heboh.
“Lepasin dulu tanganku. Pegel ini,” kata Jayden kesal.
Maisa menurut, melepaskan genggamannya lalu berlari kecil ke arah rak pakaian yang dipenuhi dress baru. Tangannya cepat mengambil salah satunya dan menempelkannya ke tubuh.
“Jay, bagus nggak ini?” tanyanya sambil berputar sedikit di depan cermin panjang.
Jayden hanya melirik malas.
“Ish, jawab dong! Bagus nggak?” desak Maisa lagi, menggembungkan pipinya sebal.
“Iya… bagus. Sana ambil aja, terus bayar, biar kita cepat pulang,” sahut Jayden asal.
Tak lama kemudian mereka keluar dari toko, paper bag di tangan Jayden sudah penuh dengan belanjaan, sementara Maisa justru tak membawa apa-apa sama sekali.
“Parah banget, kamu yang belanja, aku yang bawa,” gumam Jayden sambil menatap kesal ke arah paper bag di tangannya.
Maisa hanya cekikikan.
Selina baru keluar dari toko pakaian anak bersama Ian. Wanita itu menenteng paper bag berisi baju baru untuk putranya.
“Mama… Ian pengen beli es krim habis ini, boleh nggak?”
“Nanti saja, masih jam sepuluh. Kamu mau main dulu nggak?” jawab Selina lembut sambil merapikan rambut putranya.
Ian mengangguk semangat. Namun tepat saat mereka berbelok ke kiri, langkah kaki Selina mendadak terhenti. Pandangannya membeku saat melihat seseorang di depannya.
“Jay, kenapa berhenti? Ayo jalan,” kata Maisa sambil menggoyangkan lengan pria itu.
“Om Jayden!” seru Ian antusias begitu melihat pria itu.
Jayden menatap Selina dan Ian bergantian, ekspresinya sulit ditebak.
Maisa mengerutkan kening, jelas tak suka. “Kamu kenal sama mereka?”
Selina refleks ingin menarik tangan Ian menjauh, tapi bocah itu sudah lebih dulu berlari menghampiri Jayden.
“Om Jayden, ternyata om juga pergi ke mal!”
Mata Ian lalu berpindah ke gadis yang berdiri di samping Jayden. “Om… dia siapa?” tanyanya polos.
Sebelum Jayden sempat menjawab, Maisa cepat menyahut.
“Aku pacarnya Jayden, dan sebentar lagi dia akan jadi suamiku. Kami mau menikah.”
Jayden sontak melotot ke arah Maisa, jelas tak suka. Namun gadis itu hanya memasang wajah datar, seolah puas dengan kalimatnya.
“Ian, sayang… jangan ganggu Om Jayden.” Selina segera menarik tangan Ian ke sisinya. Tatapannya sekilas melirik ke arah Maisa. Ternyata orang seperti Jayden sudah punya pacar… bahkan akan menikah.
Maisa menatap Selina tajam, “Dia siapa, Jay?”
“Dia OB baru di kantorku.” Jayden menjawab singkat
Maisa terkekeh meremehkan. “Pantas saja. Lihat tuh, pakaian dia dan anaknya… bener-bener kelihatan murahan.”
Selina mengabaikan hinaan itu, “Permisi, Pak,” katanya sopan lalu segera menarik Ian menjauh, tidak ingin Ian mendengar lebih banyak kata-kata kasar.
Begitu Selina pergi, Jayden melirik Maisa dengan tatapan tajam. “Kamu apa-apaan sih ngomong kayak gitu?”
“Lah, emangnya kenapa? Yang aku omongin benar kan?” jawab Maisa enteng, tak merasa bersalah.
Jayden mendengus kesal. “Aku nggak suka kamu ngomong buruk tentang dia, apalagi di depan anaknya.” Setelah mengatakan itu, ia melangkah pergi meninggalkan Maisa yang hanya bisa memasang wajah kesal bercampur dongkol.
padahal lembek