Nilam rela meninggalkan panggung hiburan demi Indra, suaminya yang seorang manager di sebuah pusat perbelanjaan terkenal. Sayangnya, memasuki usia dua tahun pernikahan, sang suami berulah dengan berselingkuh. Suaminya punya kekasih!
Nilam yang kecewa kepada suaminya memutuskan untuk kembali lagi ke panggung hiburan yang membesarkan namanya dulu. Namun, dia belum mampu melepaskan Indra. Di tengah badai rumah tangga itu, datang lelaki tampan misterius bernama Tommy Orlando. Terbesit untuk balas dendam dengan memanfaatkan Tommy agar membuat Indra cemburu.
Siapa yang menyangka bahwa lelaki itu adalah seorang pengusaha sukses dengan masalalu kelam, mantan pemakai narkoba. Mampukah Tommy meraih hati Nilam yang terlanjur sakit hati dengan lelaki dan bisakah Nilam membuat Tommy percaya bahwa masih ada cinta yang tulus di dunia ini untuk lelaki dengan masa lalu kelam seperti dirinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lemari Kertas, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Menuduh Nilam
Harusnya Nilam sudah berada di Bogor hari ini untuk meninjau lokasi syuting tapi rencana itu batal karena suatu hal dari pihak kru dan akan dilanjutkan beberapa hari ke depan. Jadi sekarang Nilam memutuskan untuk berenang saja. Ia sudah memakai swim suit yang membentuk tubuh indahnya.
Indra kebetulan juga sedang libur kerja. Dia berada di rumah juga. Marissa baru saja selesai mandi ketika Nilam baru saja menceburkan diri ke dalam kolam renang. Nilam tak menggubris Marisa yang sempat melewatinya dengan tatapan tak senang.
"Nyonya, ini jusnya." Bibi datang membawa segelas jus jeruk dan meletakkannya di pinggir kolam renang.
"Makasih ya, Bi. Oh iya, hari ini aku pengen banget makan nasi goreng kampung, aku lagi kangen ibu," pinta Nilam kepada bibi.
"Bentar lagi Bibi buatkan ya, Nya."
Nilam mengangguk lalu meneruskan kegiatan berenang. Dari depan terdengar delivery makanan Marissa juga Indra.
"Ndra, mana uangnya?" terdengar suara Marissa lagi.
"Ris, masak aja bisa gak sih? Setiap hari aku kau suguhkan makanan cepat saji begini. Sama Nilam dulu gak begini, Ris!" Kali ini suara Indra yang terdengar.
Nilam terkekeh mendengarnya. Tertawa tanpa suara.
"Aku gak bisa masak, Ndra! Kamu gak mau ngerti ya? Lagipula, kau mau aku kecapean ngerjain tugas rumah sendirian?"
"Kau cuma mencuci bajuku, memasak untukku. Cuma itu, Ris!"
"Ya sama aja, capek intinya!"
"Maaf, Mas, Mbak, jadi ini gimana, saya mesti antar pesanan yang lain." Suara mas-mas yang mengantarkan makanan ikut terdengar menyela.
"Nih!" Sekarang giliran Indra.
Wajah Indra masam, tiga kali makan sehari, tiga kali juga pesan online. Isi kepalanya mau pecah. Nilam hanya tinggal menikmati apa yang tersaji di depan mata, pembalasan yang sepadan setelah dikhianati hampir setahun lamanya.
"Lam ..."
Indra mendekat, menatap Nilam yang basah dengan tubuh menonjol menggoda.
"Ya, Ndra?" jawab Nilam semanis mungkin.
"Ehmmmm ... Kau makan apa nanti?" tanyanya.
"Aku?"
"Ya, aku pesan makanan, buatmu satu buat Marissa satu."
"Heh! Aku pesan makanan itu buatmu dan aku!" Marissa tiba-tiba datang dari arah belakang, membuat Indra tersentak. Nilam terkekeh geli melihat mereka.
"Tak perlu repot-repot, Ndra, beli mobil mahal saja aku mampu apalagi cuma makanan. Lagipula, aku sudah minta dimasakkan nasi goreng kampung sama bibi."
"Ehmmmm, baiklah, Lam. Kau jangan terlalu lama berendam di air, nanti sakit."
"Ndra!"
Marissa gegas menarik lengan Indra, membawanya menjauh dari kolam renang itu. Nilam mengendikkan bahu, membalas tatapan Marissa dengan santai lalu lanjut berenang.
Selepas berenang, Nilam masih duduk santai di pinggiran kolam renang. Masih menikmati sisa jusnya. Ia tersentak saat Marissa datang dan hendak mendorongnya, tetapi Nilam bergerak cepat ke arah samping hingga akhirnya perempuan itu terpeleset dan tubuh bagian belakangnya menghantam pinggiran kolam renang sebelum akhirnya dia masuk ke dalam air.
"Indra!!!"
Pekik suara Marissa membuat Indra berlari menuju kolam renang. Marissa memegang perutnya, ia sudah basah. Dan hal yang mengejutkan terjadi. Permukaan air di sekitar Marissa yang tadinya bening, seketika memerah. Darah!
Marissa pendarahan hebat. Kali ini dia tidak acting sama sekali. Dia kesakitan.
"Dia mendorongku, Ndra!" Marissa menuding Nilam yang tertegun sendiri melihat darah di kolam renangnya. Tapi sejurus kemudian dia menggeleng keras.
"Bukan aku! Justru dia yang tadi ingin mendorongku dan aku ..."
Plak!!!
Sebuah tamparan mendarat di pipi Nilam. Nilam memegang pipinya, menatap tangan Indra yang melayang dengan tatapan nanar. Tangan Indra sendiri bergetar di udara.
"Ndra!" Marissa perlahan hilang kesadaran. Bibi memekik kaget tetapi dia malah secepatnya membawa Nilam yang masih terpaku di pinggir kolam dengan memegang pipinya.
"Nyonya, nyonya baik-baik saja kan? Nyonya kedinginan." Bibi menyelimuti tubuh Nilam dengan handuk tebal dan menggiringnya menjauh.
Permukaan kolam telah memerah, Indra sudah membawa Marissa menuju rumah sakit. Nilam tak bereaksi, dia masih ingat tamparan tadi. Sakitnya sampai ke ulu hati. Tangan Nilam terkepal.
"Aku gak papa, Bi."
"Ayo kita ke dalam, Nyonya."
Nilam mengangguk. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi kepada anak Marissa tapi yang jelas dia tidak bersalah.
"Makan dulu, Nya, ayo."
Bibi tampak khawatir dengan keadaan Nilam yang jadi pendiam untuk beberapa saat. Tapi, Nilam masih dengan tenang menyantap nasi goreng buatan pembantu setianya itu.
"Dia menuduhku, Bi. Dia percaya kepada perempuan jalaang itu."
"Bibi percaya Nyonya!" tegas bibi membela.
"Dia juga menampar wajahku, Bi. Ayahku saja tak pernah melakukan itu," kata Nilam tanpa ekspresi.
"Tuan Indra memang keterlaluan!" sambung bibi berapi-api.
Nilam menghabiskan makanannya, setetes airmatanya jatuh tapi segera ia hapus lagi. Beberapa jam kemudian, teleponnya berdering. Indra meneleponnya. Nilam mengangkatnya perlahan.
"Aku dan Marissa kehilangan bayi kami, Lam! Semua karena kau telah mendorongnya, sekarang dia harus menjalani prosedur mengeluarkan bayi kami yang sudah mati dengan paksa!"
Nilam diam sesaat, dia tak merasa bersalah tetapi Marissa lah yang telah mencelakai dirinya sendiri.
"Aku turut berduka cita. Tapi aku tidak akan mengakui sesuatu yang memang bukan kesalahanku," balas Nilam tenang.
"Kau keterlaluan, Nilam!" bentak Indra.
"Terserah, aku tidak melakukan apapun kepada istri keduamu itu. Aku tidak peduli kau mau percaya atau tidak kepadaku."
Nilam mematikan sambungan telepon, dia merasa bersedih karena Indra harus kehilangan bayinya tapi dia harus tetap tegas karena dia tidak pernah melakukan kejahatan apapun kepada Marissa sebenci dan sedendam apapun dia kepada perempuan yang sudah merebut suaminya itu.