Cinta, sebuah anugerah yang tak selalu mudah didapatkan. Apalagi ketika harus memilih di antara dua hati yang begitu dekat, dua jiwa yang begitu mirip. Kisah mengharukan tentang cinta, pengorbanan, dan pencarian jati diri di tengah pusaran emosi yang membingungkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon HniHndyni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Cinta Segitiga
"Tapi aku lebih menyukaimu Anya,aku ingin menjadi kekasihmu"kata Migo
Anya terdiam, matanya berkaca-kaca. Ia menatap Migo, kemudian melirik Kanaya yang duduk di seberang mereka, wajahnya tampak tegang. Keheningan menyelimuti mereka sejenak, hanya suara sendok yang beradu dengan cangkir kopi yang memecah kesunyian.
Akhirnya, Anya berkata pelan, "Migo, aku menghargai kejujuranmu. Tapi... ini rumit."
"Aku tahu," jawab Migo, suaranya terdengar lesu. "Tapi aku tidak bisa menyembunyikan perasaanku lagi. Aku lebih menyukaimu daripada Kanaya."
Kanaya tiba-tiba bersuara, suaranya datar namun terdengar sedikit getir. "Jadi, semua ini hanya permainan bagimu? Kamu hanya memilih salah satu dari kami?"
Migo buru-buru menggeleng. "Tidak, Kanaya, jangan salah paham. Aku tidak pernah bermaksud mempermainkan perasaan kalian. Aku hanya... aku bingung. Aku menyayangi kalian berdua, tapi perasaanku lebih kuat kepada Anya."
Anya meraih tangan Kanaya, mencoba untuk menenangkannya. "Kanaya, dengarkan aku. Migo memang jujur tentang perasaannya, tapi itu tidak berarti dia tidak menghargai persahabatan kita. Kita harus bicara dengan tenang."
Kanaya menarik tangannya, wajahnya masih menunjukkan kekecewaan. "Tenang? Bagaimana bisa aku tenang? Kamu dan Migo telah menyembunyikan perasaan kalian dariku selama ini!"
"Itu bukan maksud kami," bantah Anya. "Kami sama bingungnya denganmu."
Migo menambahkan, "Aku menyesal, Kanaya. Aku seharusnya lebih jujur sejak awal. Aku tidak ingin menyakitimu."
Suasana kembali hening. Ketiga sahabat itu terjebak dalam pusaran emosi yang rumit. Cinta, persahabatan, dan rasa bersalah bercampur aduk menjadi satu. Anya menatap Migo, matanya penuh dengan keraguan. Ia merasa terbebani oleh pengakuan Migo, dan juga oleh perasaan Kanaya yang terluka. Keputusan yang harus ia ambil sangat sulit, dan konsekuensinya akan berdampak besar pada persahabatan mereka. Masa depan mereka kini di ujung tanduk, bergantung pada pilihan yang akan mereka buat.
Anya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. "Migo," katanya, suaranya masih sedikit gemetar, "aku perlu waktu untuk memikirkan ini. Aku tidak bisa langsung menjawab perasaanmu."
Migo mengangguk mengerti. "Aku mengerti, Anya. Aku akan menunggumu."
Kanaya masih terdiam, wajahnya masih menunjukkan kekecewaan yang mendalam. Ia merasa dikhianati oleh dua orang sahabatnya yang paling dekat. Kepercayaan yang selama ini ia bangun bersama mereka, kini telah runtuh.
"Dan aku?" Kanaya akhirnya bersuara, suaranya hampir tak terdengar. "Apa yang akan terjadi padaku?"
Anya menatap Kanaya dengan penuh penyesalan. "Kanaya, aku minta maaf. Aku tidak bermaksud menyakitimu. Kita tetap sahabat, bukan?"
Kanaya tidak menjawab, hanya menatap Anya dengan tatapan kosong. Ia merasa hatinya hancur berkeping-keping. Persahabatan yang selama ini ia jaga dengan susah payah, kini telah retak dan mungkin tak akan pernah bisa kembali seperti semula.
Migo mencoba mendekati Kanaya, tapi Kanaya langsung menghindar. "Jangan," kata Kanaya, suaranya tegas. "Aku perlu waktu sendiri."
Anya dan Migo saling berpandangan. Mereka menyadari bahwa jalan menuju penyelesaian masih panjang dan berliku. Pengakuan Migo telah membuka luka lama, dan kini mereka harus menghadapi konsekuensinya. Mereka harus memperbaiki hubungan mereka yang telah retak, dan berusaha untuk membangun kembali kepercayaan yang telah hilang. Namun, pertanyaan besar masih menggantung di udara: apakah persahabatan mereka mampu bertahan menghadapi badai cinta yang telah menerjang? Atau akankah cinta segitiga ini menghancurkan segalanya? Waktu akan menjawabnya. Untuk saat ini, ketiga sahabat itu hanya bisa menerima kenyataan pahit yang ada di hadapan mereka, dan mencoba untuk melangkah ke depan, satu langkah demi satu langkah.