Mungkinkah cinta seorang ibu bisa runtuh oleh kebenaran genetik? Raya membesarkan putranya, Langit, dengan seluruh cinta dan jiwanya. Namun, sebuah tes medis tak terduga mengungkap fakta mengejutkan: Langit bukan darah dagingnya. Lebih mengerikan, DNA Langit justru mengarah pada masa lalu kelam Raya, terhubung dengan mantan suaminya yang dulu menyakitinya. Haruskah Raya mengungkap kebenaran yang bisa menghancurkan keluarganya, atau menyimpan rahasia demi menjaga 'anaknya'?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Bangjoe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jebakan di Ujung Jurang
Udara malam dingin menyayat kulit Raya, menembus jaket tebal yang ia kenakan. Setiap embusan napasnya mengepul putih, seputih ketakutan yang merayap di seluruh rongga dadanya. Jam di dasbor mobilnya menunjukkan pukul sebelas malam. Terlambat untuk jam tidur Langit, terlalu dini untuk menghadapi iblis. Jalanan menuju gudang tua di pinggir kota itu semakin sepi, hanya diterangi remang-remang lampu jalan yang berjarak jauh dan redup, menciptakan bayangan-bayangan mengerikan yang menari-nari setiap kali ia melaju melewatinya.
Jantungnya berdebar tak beraturan, berpacu seperti kuda yang dikejar predator. Ia mencoba mengingat alasan Arlan masih belum pulang. Ada rapat penting, katanya. Rapat yang tak bisa ditinggalkan. Raya tahu ia tak punya pilihan selain menghadapi ini sendirian. Untuk Langit. Selalu untuk Langit. Kata-kata itu berulang seperti mantra, menguatkan sekaligus menyesakkan. Ia harus kuat. Ia harus berani.
Saat ia memarkir mobilnya di dekat gudang tua yang tampak tak berpenghuni itu, keheningan mencekam langsung memeluknya. Bau karat, debu, dan lembap menyeruak masuk ke dalam indranya. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan debar jantungnya. Ini bukan pertengkaran biasa. Ini adalah pertarungan. Pertaruhan.
"Sudah siap menyerahkan dirimu pada takdir, Raya?" suara melengking itu membuat Raya terlonjak. Karina muncul dari balik bayangan di antara tumpukan drum bekas, seringai tipis terukir di bibirnya yang merah. Wajahnya yang cantik tampak dingin, matanya berkilat penuh kemenangan. Ia mengenakan mantel bulu gelap yang mewah, kontras dengan suasana kumuh tempat mereka bertemu.
"Apa maumu, Karina?" Raya berusaha agar suaranya terdengar stabil, meski setiap sel dalam tubuhnya berteriak untuk lari.
Karina tertawa pelan, tawa yang tak sampai ke matanya. "Oh, polosnya. Aku ingin apa? Aku ingin keadilan. Bukankah begitu? Keadilan untuk semua kebohongan yang telah kau bangun." Ia melangkah mendekat, langkahnya anggun namun penuh ancaman. "Kau pikir aku buta? Bodoh? Aku tahu segalanya, Raya. Tentang Langit. Tentang kau yang mati-matian menyembunyikan kebenaran dari Arlan. Tentang kau yang mencuri anak orang lain lalu mengklaimnya sebagai milikmu." Setiap kata adalah panah beracun yang menghujam tepat ke jantung Raya.
"Aku tidak mencuri siapa pun!" Raya membantah, suaranya sedikit bergetar.
"Oh, benarkah?" Karina mengangkat satu alisnya. "Lalu bagaimana kau menjelaskan fakta bahwa kau tahu Langit bukan anakmu, tapi kau tetap menyembunyikannya? Membiarkan Arlan percaya kebohongan? Itu bukan pencurian? Atau lebih tepatnya, penipuan?" Ia mengibas-ngibaskan tangannya, seolah Raya hanyalah serangga menjijikkan.
"Aku baru mengetahuinya! Dan aku sedang mencari kebenaran!" Raya maju selangkah, menolak untuk gentar. "Aku mencintai Langit. Dia putraku, apa pun yang terjadi!"
Karina memutar matanya. "Cinta? Sungguh klise. Cinta tidak bisa mengganti darah. Dan hukum, Raya, hukum tidak peduli dengan sentimen bodohmu itu. Hukum peduli dengan fakta. Dan faktanya adalah, kau membesarkan anak yang bukan darah dagingmu. Anak dari Damar, suamimu yang dulu, yang sekarang muncul untuk menuntut haknya. Dan kau? Kau berada di tengah-tengah itu semua, mencoba menarik perhatian dengan drama pahlawan ibu yang disakiti?" Nada suaranya mengejek, menghina.
"Apa hubungannya semua ini denganmu?" Raya menatapnya tajam. "Apa yang kau inginkan sebenarnya?"
Karina tersenyum puas, seolah ia baru saja memenangkan lotre. "Aku? Aku hanya penonton yang kebetulan melihat sebuah pertunjukan yang menarik. Tapi pertunjukan ini akan menjadi jauh lebih menarik jika aku ikut campur, bukan begitu?"
"Jangan berani-beraninya kau menyentuh Langit," ancam Raya, tinjunya terkepal erat.
"Menyentuh? Oh, Raya, kau meremehkanku." Karina tertawa, kali ini lebih keras, memecah keheningan malam. "Aku sudah melangkah lebih jauh dari sekadar 'menyentuh'." Ia mengeluarkan sebuah amplop tebal dari balik mantelnya, lalu melemparkannya ke kaki Raya. Amplop itu mendarat dengan bunyi tumpul di tanah berdebu.
Raya memungutnya, tangannya gemetar. Isinya adalah tumpukan foto. Foto-foto Langit. Langit bermain di taman, Langit tertawa saat makan es krim, Langit tidur di kamarnya… Foto-foto itu diambil secara diam-diam, tanpa sepengetahuan Raya. Ada tanggal dan waktu tertera di setiap belakang foto, sebagian besar diambil dalam beberapa minggu terakhir. Ada juga sebuah lembar dokumen legal, tampak seperti salinan gugatan atau laporan investigasi.
"Bagaimana... bagaimana kau bisa mendapatkan ini?" napas Raya tercekat. Ketakutan yang semula hanya merayap kini melesat menjadi badai dahsyat di dalam dadanya. Ini bukan sekadar ancaman. Ini adalah invasi.
"Mudah saja, jika kau tahu bagaimana mencari celah," jawab Karina santai. "Aku tahu kapan Langit sakit, kapan kau membawanya ke dokter, kapan Arlan bersikap dingin padamu, bahkan kapan kau diam-diam menangis di dapur." Ia mendekat, suaranya kini berbisik namun terdengar mematikan di telinga Raya. "Aku tahu betapa rapuhnya kebahagiaanmu. Aku tahu betapa berbahayanya posisimu sekarang, antara Damar yang menuntut haknya dan Arlan yang hatinya mungkin sudah retak karena kebohonganmu."
"Kau sudah memata-mataiku?" Raya menatapnya tak percaya, kemarahan menyelimuti ketakutannya.
"Memata-matai? Aku menyebutnya mengumpulkan fakta," koreksi Karina dingin. "Dan fakta-fakta ini, Raya, akan sangat menghancurkanmu di pengadilan. Bayangkan, seorang ibu yang menyembunyikan kebenaran tentang anaknya, yang tidak jujur pada suaminya, yang mencoba memonopoli seorang anak yang bukan miliknya. Bagaimana menurutmu pandangan hakim? Atau publik?"
"Apa maumu, Karina?!" Raya membentak, air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak bisa lagi menahan diri.
Karina tersenyum sinis. "Aku ingin kau menghilang. Dari hidup Langit. Dari hidup Damar. Dari drama ini. Kau harus secara sukarela menyerahkan hak asuh Langit. Mundur sepenuhnya dari pertarungan ini. Biarkan Damar mengambilnya, atau mungkin... biarkan aku yang mengambilnya." Kata-kata terakhir itu membuat Raya membeku. Karina ingin Langit? Untuk apa?
"Tidak akan pernah!" Raya menggelengkan kepalanya keras. "Aku tidak akan pernah menyerahkan Langit! Mati pun tidak!"
"Sayang sekali," Karina mendesah, sama sekali tidak terpengaruh oleh penolakan Raya. "Padahal aku sudah menyiapkan panggung yang indah untukmu. Sebuah panggung di mana kau akan terlihat seperti iblis yang menculik seorang anak, bahkan sebelum Damar sempat mengucapkan satu kata pun di pengadilan. Gugatan hak asuhmu akan terlihat seperti tindakan egois, bukan cinta. Dan Arlan... dia akan terlihat seperti suami yang dibodohi, yang terlalu buta untuk melihat kebusukan di depannya." Ia menunjuk ke arah amplop di tangan Raya. "Dokumen itu adalah salinan pengajuan laporan. Laporan yang sudah aku kirimkan ke Komisi Perlindungan Anak dan beberapa media, yang menuduhmu melakukan penculikan identitas anak, penipuan, dan bahkan potensi penyalahgunaan anak demi keuntungan pribadi. Aku bahkan punya beberapa testimoni palsu yang sangat meyakinkan."
Raya terhuyung, seolah sebuah pukulan tak terlihat menghantamnya. Napasnya tersengal. Laporan? Media? Ini adalah serangan habis-habisan yang tidak hanya mengancam hak asuhnya atas Langit, tetapi juga reputasi, karier, dan bahkan pernikahannya dengan Arlan. Semua yang ia perjuangkan, semua yang ia lindungi, terancam hancur dalam sekejap.
"Kau gila!" bisik Raya, suaranya tercekat.
"Mungkin," Karina mengangkat bahu, acuh tak acuh. "Tapi aku punya kartu as yang kau tak akan bisa kalahkan. Aku sudah mengirimkannya sebelum kita bertemu. Artikel-artikel itu, laporan-laporan itu, akan diterbitkan besok pagi. Dan jika kau mencoba membantah atau melawan, aku punya lebih banyak amunisi yang akan menghancurkanmu sampai ke akarnya, termasuk beberapa 'bukti' yang akan membuat Arlan ragu apakah kau pernah mencintainya atau hanya memanfaatkannya." Karina tertawa kecil, melipat tangannya di dada. "Pilihan ada di tanganmu, Raya. Mundur sekarang, dan mungkin ada sedikit harapan untuk menyelamatkan dirimu. Atau bertarung, dan saksikan seluruh duniamu runtuh dalam satu hari. Besok pagi, Raya. Besok pagi, semua orang akan tahu." Karina berbalik, melangkah pergi, menghilang kembali ke dalam bayangan.
Raya berdiri mematung di tengah kegelapan, amplop di tangannya terasa membakar. Kata-kata Karina bergema di telinganya, setiap suku kata adalah palu godam yang menghantam jiwanya. Besok pagi. Dunia akan tahu. Tuduhan-tuduhan mengerikan itu. Publik akan menghakiminya. Media akan memburunya. Dan Langit... Langitnya yang polos akan menjadi korban dari kekejian ini. Ia menjatuhkan diri, memeluk lututnya, berusaha mengatur napas, namun yang keluar hanyalah isakan-isakan putus asa. Ia tahu ia tidak punya pilihan. Karina telah menjebaknya. Dan jebakan itu... baru saja tertutup.