Eleanor tak pernah membayangkan akan bertemu Nicholas lagi, mantan suami yang bercerai darinya tujuh belas tahun silam. Semua berawal dari pesta rekan kerja yang ia datangi demi menemani sahabat kecilnya, William. Malam yang mestinya biasa berubah kacau saat tatapannya bertemu dengan Nicholas, lelaki yang dulu pernah ia cintai habis-habisan sekaligus orang yang paling ia hindari saat ini. Pagi hari setelah pesta, Eleanor menemukan dirinya terbangun tanpa pakaian di samping Nicholas. Pertemuan malam itu membawa hubungan baru dalam hidup keduanya. Apalagi setelah Nicholas dikejutkan dengan keberadaan remaja berusia enam belas tahun di rumah Eleanor.
Bagaimana takdir akan membawa hubungan mantan suami istri itu kembali? Atau justru Eleanor akan menemukan cinta yang baru dari seorang berondong yang sudah lama mengejar cintanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demar, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Nicholas POV - Luka Masa Lalu
Nicholas mendongak, menatap wajah Eleanor yang penuh luka dan air mata. Untuk sesaat, tatapan itu membuat dadanya sesak. Hanya sesaat sebelum bayangan masa lalu tiba-tiba melintas di benaknya; malam-malam penuh amarah, kesepian, dan satu gambar yang menempel di kepala seperti duri yang tak bisa dicabut.
Tangannya mengepal, rahangnya mengeras. Perlahan, amarah dan kekecewaan yang selama ini terkubur mulai naik ke permukaan.
Ia bangkit berdiri, suaranya parau tapi sarat tekanan, “Tidak usah sok suci, Lea.” Matanya menatap tajam, nyaris membakar. “Apa bedanya kau denganku, hah? Kau menghianati aku… dan aku melakukan hal yang sama untuk membalasmu! Bukankah kita impas sekarang?!”
Eleanor tertegun, matanya bergetar. “Apa maksudmu?” suaranya nyaris tidak keluar.
Nicholas mendekatkan wajahnya, amarahnya kini mendidih. “Jangan pura-pura polos! Faktanya kau berselingkuh dengan Axel di belakangku, Lea!” Suara itu bergetar di antara dinding. “Kau bersenang-senang dengannya, sementara aku bekerja keras mempertahankan perekonomian keluarga kecil kita! Dan Elio…” Suaranya merendah, dingin dan menusuk. “Apa Elio benar-benar anakku? Bisa saja waktu itu kau…”
PLAK!
Suara tamparan keras menggema memotong kalimat itu. Kepala Nicholas sedikit terpelanting ke samping, rahangnya mengeras menahan sakit. Bekas merah mulai muncul di pipinya.
Eleanor terngah, bahunya naik turun cepat menahan emosi. Air mata jatuh deras di wajahnya, tapi suaranya kali ini menggema, pecah antara amarah dan keputusasaan.
“Kau menuduhku selingkuh, Nic?!” ia tersedu. “Saat waktu itu duniaku hanya kau… kau, dan kau! Aku tidak punya siapa pun selain kau! Tidak pernah keluar rumah selain bersamamu! Bagaimana bisa kau tega menuduhku melakukan hal murahan seperti itu, Nic?!”
Eleanor menatapnya dengan air mata bercampur amarah yang mematikan. Suasana di antara mereka membeku, satu detik yang terasa seperti menghancurkan bertahun-tahun luka yang belum sembuh. Nicholas tak menjawab. Ia hanya terdiam dengan napas berat, masih merasakan panas di pipinya, bayangan masa lalu yang ia sebut “fakta” kini mulai muncul kembali satu per satu.
Jakarta, 17 tahun lalu.
Usianya baru dua puluh enam tahun. Saat itu Nicholas hanyalah staf muda di departemen keuangan sebuah perusahaan properti. Hidupnya sederhana, tapi cukup. Gaji bulanan mereka pas-pasan, rumah kecil di pinggiran kota itu pun masih dicicil. Namun di mata Nicholas, semua lelah terasa ringan karena ada satu hal yang selalu menenangkannya, Eleanor.
Malam itu ia masih di kantor ketika sebagian besar rekan sudah pulang. Lampu neon di atas meja berpendar redup, menyorot tumpukan berkas yang hampir selesai. Ia menyelesaikan lembar terakhir laporan keuangan lalu menghela napas lega. Matanya menatap jam di dinding, hampir jam sepuluh malam. Lea pasti sudah menungguku di meja makan, batinnya tersenyum kecil.
Saat ia akan beranjak, ketukan pintu terdengar. Satpam masuk, dan menyerahkan sebuah amplop cokelat tebal. “Untuk Pak Nicholas Armand,” katanya.
Nicholas sempat mengerutkan kening, tidak ada nama pengirim. Ia membuka amplop itu perlahan, beberapa lembar foto ada di dalamnya.
Foto pertama, ia hanya menatap bingung.
Foto kedua, jantungnya mulai berdegup keras.
Dan di foto ketiga, darahnya seperti berhenti mengalir.
Eleanor.
Lea-nya tersenyum di foto itu, bersama seorang… pria asing. Lengan pria itu melingkar ringan di bahu Eleanor seolah sudah terbiasa. Ada satu foto lain sepertinya di lobi hotel, pria itu membukakan pintu untuknya. Di foto terakhir, mereka tertawa seperti pasangan pada umumnya.
Tangan Nicholas gemetar, ia menatap foto-foto itu lama. Tidak mungkin, Lea mencintaiku. Lea-nya bukan tipe wanita yang seperti itu. Ia tertawa getir, mencoba menyangkal. “Pasti ini salah paham,” gumamnya sendiri. Tapi semakin lama ia menatap, semakin sulit otaknya menolak gambar di depan mata.
Nicholas pulang ke rumah mereka dengan kepala penuh bayangan. Saat membuka pintu rumah, aroma masakan menyambutnya. Eleanor keluar dari dapur sambil tersenyum, senyum yang sama yang selalu ia rindukan. Senyum yang membuatnya jatuh cinta berkali-kali.
“Sudah pulang? Aku buatkan sup ayam kesukaanmu,” katanya lembut. Eleanor tidak menyadari apa pun, tetap sibuk menata meja, berbicara tentang hari-harinya di rumah dengan semangat seperti biasanya.
Nicholas menatapnya lama, lekat. Senyumnya masih sama, tatapannya masih sama. Tapi sesuatu di dalam diri Nicholas mulai retak. Walau begitu ia masih menjawab lembut malam itu, masih makan masakannya, masih berusaha bertingkah normal. Tapi setelah Eleanor tertidur, Nicholas duduk di di kepala ranjang sendirian. Menatap wajah istrinya di foto lalu wajah yang tertidur di sebelahnya, dua dunia yang sama tapi terasa begitu asing.
Diam-diam, ia mulai mencari tahu siapa pria dalam foto itu. Ia menyelidiki lewat koneksi kecilnya di kantor, bahkan menyewa orang dengan sisa tabungan yang sebenarnya ia siapkan untuk kejutan ulang tahun pernikahan ketiga mereka. Seharusnya dua minggu yang lalu ia sudah membelikan cincin baru, mengajaknya makan malam di restoran kecil tempat mereka pertama kali bertemu.
Butuh hampir satu minggu penuh bagi Nicholas untuk mendapatkan alamat itu.
Nama yang tertulis di kertas kecil di tangannya begitu sederhana tapi terasa seperti kutukan, Axel Pariama.
Udara pagi itu masih dingin dan lembap. Dengan pakaian kerja yang rapi, Nicholas berangkat lebih cepat dari biasanya. Ia sudah mengirim surat izin cuti ke kantor sejak semalam. Eleanor berdiri di depan pintu dengan senyum yang sama seperti pagi sebelumnya; lembut, tulus, membuat dada Nicholas sesak antara cinta dan rasa tidak percaya.
“Jangan lupa makan siang, ya. Aku masak tumis kesukaanmu.”
Kotak bekal di tangan Eleanor ia terima tanpa kata. Jemarinya sempat menyentuh tangan istrinya, seperti sengatan listrik dan spontan segera ia tarik kembali.
Jantungnya berdetak cepat, hampir tak beraturan saat ia menaiki motornya. Ia tidak tahu apakah sedang menuju ke kebenaran atau ke kehancuran dirinya sendiri. Senyum Eleanor masih terbayang di pikirannya sepanjang perjalanan. Tapi bagi Nicholas, senyum itu kini terasa seperti teka-teki kejam yang tak bisa ia pecahkan.
Ia tiba di depan sebuah apartemen mewah di pusat kota, berbeda jauh dari lingkungan tempat mereka tinggal. Pagar tinggi, resepsionis rapi dan aroma mahal menyambutnya di lobi. Dunia yang tidak pernah bisa ia berikan pada Eleanor.
Tangannya menggenggam alamat itu erat, menahan gemetar. Lantai tujuh, Unit 707, Axel Pariama.
Begitu pintu lift terbuka, Nicholas melangkah cepat. Dan ketika pintu apartemen itu dibuka, sosok pria jangkung berambut ikal dan berpenampilan rapi berdiri di depannya.
“Ya?” tanya pria itu dengan nada datar.
“Axel Pariama?” suara Nicholas terdengar serak, menahan sesuatu yang belum ia pahami.
Axel memandangi Nicholas sejenak, lalu tersenyum tipis. “Kau Nicholas, suami Eleanor, bukan?”
Detik itu, udara di dada Nicholas terasa berhenti beroperasi.
kesian banget 😭
Zao Ming yg mana?🤔