NovelToon NovelToon
ANTARA CINTA DAN DENDAM

ANTARA CINTA DAN DENDAM

Status: tamat
Genre:Mafia / Balas Dendam / Misteri Kasus yang Tak Terpecahkan / Tamat
Popularitas:5.5k
Nilai: 5
Nama Author: my name si phoo

Sania, seorang dokter spesialis forensik, merasakan hancur saat calon suaminya, Adam, seorang aktor terkenal, meninggal misterius sebelum pernikahan mereka. Polisi menyatakan Adam tewas karena jatuh dari apartemen dalam keadaan mabuk, namun Sania tidak percaya. Setelah melakukan otopsi, ia menemukan bukti suntikan narkotika dan bekas operasi di perut Adam. Menyadari ini adalah pembunuhan, Sania menelusuri jejak pelaku hingga menemukan mafia kejam bernama Salvatore. Untuk menghadapi Salvatore, Sania harus mengoperasi wajahnya dan setelah itu ia berpura-pura lemah dan pingsan di depan mobilnya, membuat Salvatore membawanya ke apartemen. Namun lama-kelamaan Salvatore justru jatuh hati pada Sania, tanpa mengetahui kecerdikan dan tekadnya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon my name si phoo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 33

Bima membawa Sania yang lunglai dan tak sadarkan diri.

Ia memasuki mobil melalui pintu belakang, kemudian membaringkan Sania dengan hati-hati di jok belakang, memastikan kepala dan perutnya yang besar terlindungi.

Masuk ke dalam mobil, Papa Erwin segera memeluk putrinya yang kuyu.

Melihat kondisi Sania, tubuhnya bergetar. Dia tidak bisa menahan emosinya lagi.

Papa Erwin menangis sesenggukan, menciumi kening Sania sambil bergumam kata-kata penyesalan dan kasih sayang.

Bima hanya menatap mereka sejenak, wajahnya menunjukkan kombinasi kesedihan yang mendalam dan determinasi yang dingin.

"Aku akan membawanya ke tempat yang aman, Pa," ujar Bima pelan.

Bima melajukan mobilnya meninggalkan area rumah sakit jiwa itu dengan cepat.

Dia tidak menuju jalan raya, melainkan ke arah persembunyian rahasia mereka yang lain, sebuah ruangan isolasi yang sangat aman di bawah tanah, tempat mereka menyimpan perlengkapan medis.

Setelah sampai dan memindahkan Sania dengan bantuan Papa Erwin ke ruang bawah tanah, Bima mulai membersihkan tubuh istrinya dari bau tak sedap dan kotoran. Papa Erwin menyiapkan peralatan medis.

Saat membersihkan Sania, Bima merasakan keanehan di punggung dan pergelangan tangan Sania. Ia menyingkap sedikit pakaian istrinya.

"Apa yang Salvatore lakukan, sayang?" gumam Bima, suaranya tercekat.

Ia melihat bekas siksaan di kulit pucat Sania: lebam berwarna ungu tua di pergelangan tangan yang menandakan ikatan paksa, dan goresan-goresan tipis yang memanjang di punggung bawah.

Bekas-bekas itu belum hilang sepenuhnya, menunjukkan penderitaan yang harus dialami Sania selama berbulan-bulan.

Bima mengambil kotak P3K dan mulai bertindak sebagai paramedis yang terlatih.

Dengan gerakan telaten dan hati-hati, Bima memasang selang infus ke pergelangan tangan Sania untuk memberinya cairan dan nutrisi.

Ia kemudian membersihkan dan mengobati istrinya menggunakan salep antibiotik dan perban steril di area bekas luka dan lebam.

Setiap sentuhan yang diberikan Bima dipenuhi rasa bersalah karena membiarkan Sania menderita sejauh ini.

Ketika Sania terbaring lebih bersih dan tenang di ranjang sederhana, dengan cairan infus menetes perlahan, Bima duduk di sampingnya.

Ia memegang tangan Sania yang dingin dan berjanji akan menjaganya dan membalas dendam untuk penderitaan mereka berdua.

Cahaya redup dari lampu ruangan bawah tanah menyambut Sania keesokan harinya.

Sania perlahan membuka matanya. Ia mengerjap, mencoba memahami lingkungan barunya yang bersih dan sunyi, sangat kontras dengan kamar isolasi yang kotor.

Bima dan Papa Erwin segera mendekat. Wajah mereka penuh harapan dan kelegaan.

"Sania! Sayang, kamu sudah sadar," bisik Bima, meraih tangan Sania yang terpasang infus.

Namun, mata Sania menunjukkan kebingungan. Ia menatap Bima, lalu beralih ke Papa Erwin.

Tidak ada sedikit pun pengakuan atau kehangatan di matanya.

Ia tidak mengenal Bima atau Papa Erwin. Wajah yang pernah sangat ia cintai, kini hanyalah wajah orang asing yang asing dan mencurigakan.

Sania menarik tangannya dari genggaman Bima, gerakannya kaget.

"Siapa kalian? Di mana aku?" tanyanya, suaranya lemah dan parau.

"Aku Bima, Sayang. Suamimu. Ini Papa Erwin, Ayahmu," jawab Bima lembut, berusaha menenangkannya.

Sania menolak informasi itu. Ia mendorong tangan Bima menjauh.

Pikirannya yang terfragmentasi mencari satu-satunya hal yang memberinya rasa aman selama berbulan-bulan di tempat isolasi.

Ia mencari bonekanya guling yang ia peluk dan anggap sebagai anaknya, rahasia, dan satu-satunya teman.

Sania mulai panik ketika ia tidak melihat guling itu.

Ia memutar kepalanya ke kiri dan ke kanan, mencari benda mati itu dengan pandangan liar.

"Di mana dia?! Di mana anakku?! Kalian mengambilnya dariku?!" teriak Sania lemah.

Ketika ia menyadari boneka itu benar-benar tidak ada, benteng mental Sania runtuh kembali.

Ketakutan, trauma, dan kehilangan memicu mekanisme pertahanan terbarunya.

Sania tiba-tiba tertawa terbahak-bahak, tawa yang keras, serak, dan penuh kegilaan yang memilukan.

"Ha ha ha! Kalian pikir kalian bisa mengambilnya dariku? Dia ada di sini!" Sania menunjuk perutnya yang membuncit.

"Dia tidak akan pernah keluar sebelum aku bilang boleh! Kalian semua bodoh! Kalian tidak akan pernah menemukannya!"

Tawa Sania yang histeris dan pengakuan amnesianya membuat Bima dan Papa Erwin terdiam.

Bima menatap istrinya, sadar bahwa Salvador tidak hanya menyiksa tubuh Sania, tetapi juga merenggut kewarasannya.

Trauma psikologis Sania jauh lebih parah daripada luka fisiknya.

Melihat histeria Sania yang kembali memuncak karena mencari "anaknya" (guling), Papa Erwin segera bergerak.

Ia teringat akan masa kecil Sania dan buru-buru mencari di antara barang-barang yang ia simpan.

Papa Erwin menemukan dan mengambil boneka lain milik Sania dulu, sebuah boneka kain tua yang sudah usang tetapi masih utuh.

Ia dengan hati-hati meletakkannya di dekat Sania.

Begitu melihat boneka itu, mata Sania yang liar langsung fokus.

Ia berhenti tertawa, meraih boneka kain itu dengan cepat, dan segera memeluknya erat ke dada.

Perasaan kepemilikan dan rasa aman kembali menyelimutinya.

Sania mulai bergumam kata-kata tidak jelas pada boneka itu, kemudian menggendongnya seperti bayi sungguhan, mengayun-ayunkan tubuhnya perlahan di ranjang.

Ia kembali ke dunianya sendiri, tenang, tetapi terisolasi dari kenyataan.

Bima hanya bisa melihat pemandangan itu dengan mata berkaca-kaca.

Ia berbalik, menatap dinding, berusaha menahan emosinya.

"Apa yang ia lakukan sampai istriku seperti ini," gumam Bima, suaranya serak dan penuh kepedihan yang mendalam.

Ia mengepalkan tangannya, amarahnya pada Salvatore kini mencapai titik didih.

Bima mengambil napas dalam-dalam, berusaha memaksakan dirinya untuk profesional.

Ia tidak bisa hancur sekarang. Sania membutuhkannya.

Ia kembali mendekati Sania. Dengan kelembutan yang luar biasa, Bima meminta Sania tenang dan mengalihkan perhatian Sania ke bonekanya.

Sementara Sania sibuk dengan boneka itu, Bima menyiapkan peralatan medis steril.

"Hanya sebentar, Sayang. Ini agar kau cepat sembuh," bisik Bima.

Dengan hati-hati, ia mengambil darah dari lengan Sania yang satunya, tempat yang tidak terpasang infus.

Bima segera membawa sampel darah itu ke mikroskop dan alat tes cepat yang ada di ruang bawah tanah. Papa Erwin berdiri di belakangnya dengan tegang.

Bima memproses sampel darah dan kemudian menganalisis hasilnya.

Saat data muncul di layar kecil alat tes, wajah Bima yang tadinya fokus berubah total.

Bima membelalakkan matanya dengan ngeri dan tidak percaya.

"Tidak mungkin..." bisik Bima, tangannya gemetar.

"Ada apa, Bim? Ada apa dengan Sania?" tanya Papa Erwin cemas.

Bima menoleh pada Papa Erwin, matanya memancarkan ketakutan yang dingin.

"Dia... Pa," Bima menunjuk hasil tes.

"Salvatore., selain obat penenang dan siksaan, dia juga memberikan sesuatu yang lain pada Sania. Ini obat-obatan untuk menunda kelahiran, Pa. Tapi, dosisnya terlalu tinggi. Dan ada hal yang lebih buruk..."

Bima menelan ludah. "Berdasarkan hasil tes ini, anakku, Salvatore memberinya obat-obatan yang beracun."

Bima ambruk di kursi, kepalanya tertunduk. Ia tahu, setelah semua yang dialami Sania, nyawa bayi mereka dalam bahaya besar karena perlakuan keji Salvatore.

1
kalea rizuky
buat pergi jauh lahh sejauh jauhnya
kalea rizuky
biadap
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!