Empat tahun lalu, Aira Nadiya mengalami malam paling kacau dalam hidupnya—malam yang membuatnya kehilangan arah, tapi juga memberi dirinya sesuatu yang paling berharga: seorang anak laki-laki bernama Arvan.
Ia tidak pernah memperlihatkan siapa ayah anak itu. Tidak ada foto, tidak ada nama, tidak ada cerita. Satu-satunya petunjuk hanya potongan ingatan samar tentang pria misterius dengan suara rendah dan mata gelap yang menatapnya seolah ingin menelan seluruh dunia.
Aira mengira itu hanya masa lalu yang terkubur.
Sampai suatu hari, karena utang ayahnya, ia dipaksa menikah dengan Dion Arganata, CEO muda yang terkenal dingin dan tidak punya empati. Lelaki yang seluruh hidupnya diatur oleh bisnis dan warisan. Lelaki yang membenci kebohongan lebih dari apa pun.
Dan Aira bahkan tidak tahu…
Dion adalah pria dari malam itu.
Ayah dari anaknya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon S. N. Aida, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 14 — Antara Benci dan Hasrat
Dion menunggu di kamar tidurnya, yang kini terasa lebih seperti medan perang daripada tempat istirahat. Dia tidak lagi mengenakan jubah tidur, hanya celana sutra yang longgar. Rambutnya basah, menunjukkan bahwa dia baru saja mandi, sebuah upaya sia-sia untuk mencuci bersih amarah yang mendidih di dalam dirinya.
Aira masuk. Dia mengenakan nightgown paling sederhana yang ia miliki, tidak lagi peduli dengan tuntutan estetika Dion. Wajahnya pucat, tetapi matanya memancarkan perlawanan yang dingin dan putus asa.
Aira berjalan ke tengah ruangan, tidak berlutut, tidak memohon. Dia berdiri tegak, siap menerima pukulan.
“Kau tahu mengapa kau di sini,” kata Dion, suaranya rendah dan sarat ancaman. Dia tidak perlu berteriak. Kekuatan di balik suaranya sudah cukup untuk menghancurkan.
“Saya tahu,” balas Aira, suaranya bergetar. “Anda sudah tahu kebenarannya. Arvan… dia adalah putra Anda.”
Pengakuan itu, yang akhirnya diucapkan dengan lantang, menggantung di udara seperti hukuman mati.
Dion mengepalkan tangannya. “Putraku,” ulangnya, kata itu terdengar asing dan sangat menyakitkan. “Kau berani menyembunyikan pewaris Arganata dariku selama empat tahun. Kau membiarkanku hidup dalam kebodohan, sementara kau menuntut uang dariku untuk menikahimu. Kau membuatku membayar untuk memiliki istri kontrak, padahal yang kau bawa adalah benihku.”
Dion melangkah mendekat, matanya membara. “Kenapa, Aira? Kenapa kau merampas hakku? Kenapa kau membuatku harus menyelidiki anakku sendiri seperti penjahat?”
Aira mundur selangkah, tetapi ia menemukan keberanian yang tersisa.
“Anda yang merampasnya, Tuan Arganata!” seru Aira, air matanya kini mengalir deras, namun suaranya tegas. “Anda pikir siapa diri Anda? Anda lupa? Anda mabuk. Anda menggunakan saya sebagai pelarian satu malam. Anda tidak pernah bertanya nama saya. Anda tidak pernah melihat saya lagi setelah pagi itu. Anda bahkan tidak tahu saya hamil!”
“Itu adalah kesalahan satu malam!” balas Dion, suaranya meninggi. “Kau seharusnya memberitahuku! Aku akan memberimu uang, aku akan membiayai anak itu!”
“Uang?” Aira tertawa sinis, tawa yang menyakitkan. “Itu yang selalu Anda pikirkan? Ya, Anda akan memberiku uang. Anda akan membungkam saya dengan cek besar. Dan Arvan akan tahu Ayahnya adalah pria kaya yang membayar Ibunya untuk diam. Saya tidak mau itu! Saya tidak mau dia tumbuh sebagai anak yang dibeli!”
Aira menunjuk ke dirinya sendiri. “Saya melindungi Arvan dari nama Arganata, dari dunia kotor ini! Dunia di mana Anda hanya melihat kami sebagai aset dan pengeluaran! Saya berbohong untuk memastikan dia mendapatkan Ibunya yang utuh, dan Anda… Anda hanya akan mengacaukan semuanya!”
Konfrontasi ini meledak menjadi kemarahan murni. Dion merasa tertohok oleh kata-kata Aira. Dia marah karena Aira benar, tetapi dia juga marah karena Aira mengambil keputusan itu tanpa hak.
“Kau tidak punya hak untuk memutuskan itu!” bentak Dion. “Dia adalah pewarisku! Dia adalah darahku! Dan kau, kau adalah wanita yang selalu berbohong, yang menggunakan kelemahanmu untuk memerasku!”
“Memeras?” Aira menggeleng, putus asa. “Jika saya ingin memeras Anda, saya akan melakukannya empat tahun lalu! Saya akan menuntut nama keluarga, bukan menjual diri saya dalam kontrak bodoh ini! Saya melakukan ini untuk utang Ayah saya, untuk melunasi tanggung jawab saya, agar saya bisa kembali dan membesarkan Arvan dengan damai!”
Dion tidak bisa lagi menahan diri. Ia merasa dirinya terkoyak antara kemarahan karena pengkhianatan Aira dan hasrat yang tak tertahankan untuk menghukumnya, untuk mengklaim kepemilikan mutlak.
Dion menerjang. Bukan dengan kekerasan, melainkan dengan urgensi yang brutal.
“Kau selalu menyembunyikan dirimu dariku, Aira,” desis Dion. “Kau menyembunyikan putramu, kau menyembunyikan hatimu. Tapi malam ini, kau tidak akan menyembunyikan apa-apa lagi!”
Dion menarik Aira, tangannya mencengkeram lengan Aira dengan kuat. Aira membalas, mendorongnya, berteriak.
“Lepaskan saya, Dion! Saya membenci Anda!”
“Benci aku!” Dion menarik Aira ke pangkuannya, memaksa Aira duduk di pahanya. Napas mereka menyatu, panas dan cepat. “Benci aku! Tapi kau akan meresponsku, Aira. Kau selalu meresponsku!”
Dion menahan kedua tangan Aira, menguncinya di punggung Aira. Tubuh Aira gemetar, dipenuhi amarah dan ketakutan, tetapi ia tidak bisa mengabaikan kedekatan fisik ini.
Dion mencium Aira. Ciuman itu adalah manifestasi dari semua kemarahan, frustrasi, dan hasrat yang terpendam. Itu adalah ciuman dominasi, ciuman yang menuntut kepemilikan, ciuman yang berupaya menghapus semua kebohongan di antara mereka.
Aira melawan pada awalnya, memukul dada Dion, mencoba menarik dirinya. Tetapi, sensasi yang membanjiri tubuhnya, memori dari malam-malam hukuman mereka, dan gairah yang ia sembunyikan dalam dirinya sendiri perlahan mengalahkannya. Bibir Aira melembut, perlawanannya berubah menjadi respon yang putus asa.
Dion merasakan kemenangan. Ia merasakan Aira menyerah, gairah mereka berdua meledak. Tangan Dion mulai menjelajahi punggung Aira, menyentuh kulit yang lembut, berusaha mengklaim apa yang menjadi miliknya.
Saat momen itu memuncak, Aira tersentak.
Di tengah keintiman yang kacau itu, Aira melihat Arvan. Bukan secara fisik, tetapi gambaran wajah polos putranya, janji yang ia buat untuk melindungi Arvan, tiba-tiba muncul di benaknya.
Ini adalah hukuman, bukan cinta.
Aira menarik dirinya dengan kekuatan yang tiba-tiba. Ia melepaskan diri dari Dion.
“Tidak!” teriak Aira, terengah-engah. Ia melompat dari pangkuan Dion, menjauh sejauh mungkin.
Dion, yang terkejut oleh penolakan yang tiba-tiba itu, terdiam. Matanya penuh kebingungan, amarah, dan kekecewaan.
“Beraninya kau?” desis Dion. “Kau pikir dengan mengakui kebohongan, kau bisa menghentikan ini? Kau berutang padaku, Aira! Kau berutang padaku empat tahun!”
Aira menyilangkan tangan di depan dadanya, melindungi dirinya. Air matanya mengalir, tetapi kali ini, itu adalah air mata kekuatan.
“Saya berutang pada Anda, ya,” kata Aira, suaranya dipenuhi kebencian. “Tapi saya tidak berutang pada Anda tubuh saya! Ini adalah hukuman. Dan Anda sudah mendapatkan hukuman Anda. Anda sudah tahu Arvan adalah putra Anda. Itu adalah hukuman terberat bagi Anda!”
“Hukuman?” Dion tertawa sinis, bangkit. “Hukuman terberat adalah membuatmu membayar sisa kontrak ini! Kau akan memberiku apa yang aku inginkan, kapan pun aku mau! Kau milikku!”
“Saya bukan milik Anda!” Aira membalas. “Saya adalah Ibu dari putra Anda! Dan saya tidak akan membiarkan Anda merendahkan diri saya lagi! Anda bisa mengambil Arvan, Anda bisa mengambil uang itu, tetapi Anda tidak bisa mengambil kehormatan saya lagi!”
Dion berdiri membeku. Kata-kata Aira menghantamnya lebih keras daripada pukulan fisik. Kehormatan. Sesuatu yang telah ia injak-injak dengan mengklaim Aira sebagai 'aset' dan menuntut keintiman sebagai 'hukuman.'
Dion mundur selangkah, rasa frustrasi dan hasrat yang tak terpenuhi membanjirinya. Dia ingin menghukum Aira, tetapi dia juga ingin Aira menyerah padanya secara sukarela.
“Pergi,” kata Dion, akhirnya, suaranya serak dan putus asa. “Keluar dari kamarku!”
Aira tidak menunggu dua kali. Dia berbalik dan berlari. Dia berlari kembali ke kamarnya, mengunci pintu, dan ambruk di lantai, terengah-engah.
Dion berdiri sendirian di kamar yang kacau. Bantal terlempar, keintiman yang brutal telah hancur. Ia tidak mendapatkan apa yang ia inginkan.
Penolakan Aira di tengah gairah mereka, penolakan yang didasarkan pada keinginan Aira untuk melindungi harga dirinya, adalah hal yang paling menghancurkan bagi Dion. Ia tidak hanya frustrasi; ia kini terobsesi.
Ia harus memiliki Aira sepenuhnya. Ia harus menghancurkan tembok perlawanan Aira, tidak hanya untuk memenangkan perang, tetapi juga untuk mendapatkan hati yang telah ia ciptakan benihnya.
Dion melangkah ke kamar mandi, mengutuk dirinya sendiri karena telah membiarkan Aira lolos.
semoga cepet up lagi