SINTA dan adiknya, ALIM, tumbuh dalam lingkungan keluarga yang sangat taat. Sejak kecil, Sinta adalah sosok yang sangat alim, menjunjung tinggi akidah Islam, dan memegang teguh keyakinannya. Dunia yang ia pahami—dunia yang damai dan dipenuhi janji surgawi—hancur berkeping-keping pada satu sore kelam.
Orang tua mereka, Adam dan Lela, tewas dalam sebuah insiden yang dicap sebagai bom bunuh diri. Latar belakang kejadian ini sangat kelam: pelaku bom tersebut mengakhiri hidupnya dan Adam/Lela, sambil meneriakkan kalimat sakral "Allahu Akbar".
Trauma ganda ini—kehilangan orang tua dan kontaminasi kalimat suci dengan tindakan keji—membuat keyakinan Sinta runtuh total. Ia mempertanyakan segala yang pernah ia yakini.
Saat ini, Sinta bekerja sebagai Suster Panti Jompo, berhadapan dengan kematian secara rutin, tetapi tanpa sedikit pun rasa takut pada alam baka. Alim, di sisi lain, kini menjadi Penggali Kubur, dikelilingi oleh kuburan, tetapi tetap teguh memegang sisa-sisa keyakinannya yang diw
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon gilangboalang, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Gubuk dan Bantuan yang Datang
🚪 Hukuman di Gubuk Sunyi
Setelah insiden di terowongan, Sinta tidak mendapat ampun. Paman Hasan, yang merasa nama baiknya sebagai keluarga Adam tercoreng di pesantren, menjatuhkan hukuman yang ketat.
Sinta dipindahkan ke sebuah gubuk kecil yang terletak agak jauh di belakang kompleks pesantren. Gubuk kayu itu, yang biasanya digunakan sebagai gudang atau ruang isolasi ringan, kini menjadi tempat hukumannya.
Ruangan itu pengap, berdebu, dan hanya diterangi oleh satu jendela kecil yang tertutup rapat. Sinta duduk bersila di lantai, menyandarkan punggung ke dinding. Wajahnya keras, sama sekali tidak menyesali perbuatannya, tetapi ia diliputi rasa kesal yang membara.
Beberapa jam berlalu. Senja mulai turun, mewarnai langit dengan warna jingga kelabu. Pintu gubuk terbuka pelan.
Masuklah seorang wanita muda. Ia adalah Ustadzah Lila, salah satu pengajar baru di pesantren. Wajah Ustadzah Lila terlihat lembut dan matanya memancarkan ketenangan, tetapi ia membawa nampan berisi makanan dan minuman.
Ustadzah Lila meletakkan nampan itu di depan Sinta. Ia tidak langsung berbicara, tetapi duduk bersila di seberang Sinta, mempertahankan keheningan yang nyaman.
"Sinta," ujar Ustadzah Lila akhirnya, suaranya halus seperti air mengalir. "Ibu tahu kamu kesal. Dan Ibu tahu, rasa kesal itu berasal dari luka yang sangat dalam, bukan dari kenakalan biasa."
Sinta menatapnya dengan curiga, tidak menjawab.
Ustadzah Lila mengangguk pelan. "Ibu tidak akan mengajarimu tentang siksa kubur atau pahala sekarang. Tapi Ibu ingin kamu tahu satu hal."
Ia menatap lurus ke mata Sinta. "Kita semua di sini menderita, Sinta. Setiap orang punya bebannya sendiri. Ada santri yang yatim, ada yang miskin, ada yang ditinggalkan. Paman dan Bibimu juga menderita, Nak. Menderita karena kehilangan orang yang mereka sayangi, ditambah lagi mereka harus menanggung bebanmu dan Alim."
"Tapi penderitaan itu," lanjut Ustadzah Lila, nadanya kini penuh penekanan, "bukan berarti kita harus jadi pemberontak. Pemberontakanmu hanya akan melukai dirimu sendiri, dan membuat Paman serta Bibimu makin kesulitan menjalankan amanah orang tuamu."
Air muka Sinta melunak sedikit, disentuh oleh kata-kata yang begitu jujur dan tanpa penghakiman.
"Ibu tahu," kata Ustadzah Lila dengan simpati, "bahwa di balik semua kemarahan ini, kamu ingin keluar dari sini. Kamu ingin membuktikan, bahwa ada kebenaran lain di luar tembok pesantren ini. Bahwa kamu ingin mencari jawaban, bukan hanya menerima janji."
Sinta akhirnya membuka suara, nadanya penuh kepahitan. "Saya cuma mau kejelasan, Ustadzah. Kenapa harus kami yang taat? Kenapa rumah kami dijual? Itu bukan ajaran agama, kan?"
Ustadzah Lila tersenyum tipis. "Mungkin bukan. Tapi Ibu akan bantu kamu mencari kejelasan itu. Ibu tahu kamu cerdas, Sinta. Dan Ibu tidak mau kecerdasanmu terbuang hanya untuk melawan dinding pesantren."
Ustadzah Lila berdiri, menepuk pelan bahu Sinta.
"Makanlah dulu. Nanti malam, ada yang ingin Ibu bicarakan denganmu. Ini bukan soal pelajaran, tapi soal bagaimana kamu bisa mendapatkan apa yang kamu inginkan."
Ia berjalan ke pintu, lalu menoleh. "Nanti malam, kamu siap-siap saja di sini dulu. Jangan keluar, jangan bikin masalah lagi. Setelah isya, Ibu akan panggil si Alim dan kita akan bicara bertiga. Ada hal penting yang harus kalian ketahui tentang Ayah dan Ibumu."
Ustadzah Lila menutup pintu gubuk itu, meninggalkan Sinta yang kini tidak lagi diliputi kemarahan, tetapi oleh harapan baru. Harapan bahwa mungkin, di balik jilbab dan ketaatan yang ia benci, ada seseorang yang tulus ingin membantunya menemukan kebenaran di balik tragedi ledakan dan peringatan "Siksa Kubur" itu.Sinta melepas pelukannya, air matanya tak sempat jatuh, sudah kering oleh adrenalin yang memacu. Ia menatap wajah Ustazah sekali lagi—wajah yang penuh ketenangan namun menyimpan rahasia besar dan risiko.
“Terima kasih, Ustazah,” bisiknya.
“Berlarilah, Nak. Jangan menoleh. Keselamatan kalian yang paling penting,” jawab Ustazah dengan suara nyaris tak terdengar.
Sinta mengangguk, membalikkan badan, dan menyusul Alim serta Adil yang sudah menunggu di mulut terowongan.
Mulut terowongan itu gelap, seperti sebuah robekan di kain malam. Udaranya dingin, berbau tanah basah, dan sedikit amis—bau air yang tergenang di dasar. Adil, yang paling kecil, memegang erat ujung kemeja Alim. Sementara Alim memegang tas ransel berisi bekal dari Ustazah. Sinta berjalan di depan, matanya menyesuaikan diri dengan kegelapan, tangannya meraba dinding batu yang terasa licin dan lembap.
Mereka mulai berlari.
Kaki-kaki kecil Sinta bergerak cepat, mengikuti instingnya untuk menjauhi tempat yang selama ini terasa seperti penjara, meski tertutupi selimut kebaikan palsu. Langkah kaki mereka menghasilkan gema yang memantul, terdengar seperti suara genderang yang mengumumkan pelarian mereka.
Lari.
Lari.
Lari.
Terowongan itu seolah tak berujung. Setiap langkah membawa mereka lebih jauh dari gerbang Nini, tetapi juga lebih dalam ke ketidakpastian. Di suatu tikungan, Sinta berhenti mendadak.
“Sstt!” desisnya.
Alim dan Adil langsung membeku. Kegelapan kini terasa lebih berat, dan keheningan menjadi ancaman.
“Ada suara,” bisik Sinta, menunjuk ke depan.
Bukan gema langkah kaki mereka. Itu adalah suara air menetes yang diikuti oleh dentuman tumpul yang berirama. Duk. Duk. Duk. Seperti seseorang sedang memukul dinding batu dengan alat berat, atau...
“...Orang yang sedang menggali,” bisik Alim, suaranya gemetar. “Mereka mungkin tahu ada jalan keluar di sini.”
Ketakutan menyergap. Jika mereka bertemu dengan penjaga Nini di terowongan ini, tamatlah riwayat mereka. Mereka tidak hanya akan dikembalikan, tetapi mungkin mereka tidak akan pernah melihat Ustazah lagi.
Sinta mengambil keputusan cepat. Ia tahu ada bahaya di depan, tetapi kembali adalah kepastian yang lebih buruk.
“Kita merangkak,” perintah Sinta, menurunkan tubuhnya. “Adil, tetap di belakang Abang Alim. Kita merayap di pinggir dinding.”
Mereka bertiga mulai bergerak di antara genangan air yang dingin. Jantung mereka berdebar kencang, menyaingi suara duk-duk yang semakin keras.
Tiba-tiba, suara dentuman itu berhenti. Terowongan kembali hening, sunyi mencekam. Lalu, dari kejauhan, sebuah cahaya kuning mulai terlihat. Bukan cahaya alami. Itu adalah sinar senter yang bergoyang-goyang, dan diikuti oleh suara batuk kering seorang pria.
Mereka hanya punya waktu sedetik.
“Di sini!” Alim menarik Adil dan Sinta ke ceruk sempit di dinding terowongan, tempat tumpukan batu yang longsor menutupi mereka.
Mereka menahan napas. Bau anyir dan kotoran tanah mengisi hidung mereka.
Cahaya senter itu semakin dekat. Sinta bisa melihat bayangan seorang pria bertubuh besar dengan topi caping, berjalan perlahan sambil membawa cangkul di bahunya. Pria itu tampak lelah dan berjalan sambil bersenandung lirih. Dia berjalan melewati tempat persembunyian mereka, begitu dekat hingga Sinta bisa mendengar napasnya yang berat.
Setelah bayangan itu menghilang di tikungan, Sinta menunggu hingga suara senandung pria itu benar-benar lenyap.
Mereka bangkit, saling pandang. Mata mereka dipenuhi debu, ketegangan, dan janji kebebasan.
“Cepat! Sekarang kita lari sekuatnya,” kata Sinta, suaranya serak.
Mereka berlari lagi, kali ini lebih cepat, mengabaikan nyeri di paru-paru dan otot kaki yang mulai kram. Mereka berlari hingga akhirnya...
Tiba-tiba, udara berubah. Udara di depan tidak lagi dingin dan lembap, melainkan hangat dan beraroma segar. Dan di depan sana, jauh di ujung kegelapan, sebuah lingkaran terang mulai membesar.
Cahaya itu bukan hanya terang—ia menjanjikan kehidupan, ia menjanjikan dunia. Mereka telah mencapai tujuan.
Sinta merasakan energi baru. Dia mencengkeram tangan Alim dan Adil, dan mereka bertiga berlari menyongsong lingkaran cahaya itu.
Di situlah, cahaya. Terang benderang.
Mereka keluar dari terowongan dengan terengah-engah, tubuh mereka limbung. Mereka jatuh di atas tanah yang dipenuhi rumput basah, membiarkan cahaya matahari pagi yang lembut menyentuh wajah mereka.
Mereka berada di sebuah bukit yang sunyi, dikelilingi oleh hutan pinus yang tinggi. Di bawah mereka, terbentang luas pemandangan sebuah desa kecil yang masih diselimuti kabut.
Mereka bebas.