Asa terkejut saat membuka matanya semua orang justru memanggilnya dengan nama Zia Anggelina, sosok tokoh jahat dalam sebuah novel best seller yang menjadi trending topik paling di benci seluruh pembaca novel.
Zia kehilangan kasih sayang orang tua serta kekasihnya, semua terjadi setelah adiknya lahir. Zia bukanlah anak kandung, melainkan anak angkat keluarga Leander.
Asa yang menempati raga Zia tidak ingin hal menyedihkan itu terjadi padanya. Dia bertekad untuk melawan alur cerita aslinya, agar bisa mendapat akhir yang bahagia.
Akankah Asa mampu memerankan karakter Zia dan menghindari kematian tragisnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon eka zeya257, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 33
Leon dan Zia berjalan menuju ruang tamu, Zia meminta pembantu di rumahnya untuk menyediakan makanan ringan dan juga minuman untuk mereka berdua. Tak lupa, ia meletakan buket bunga dari Leon di sebelah tangga karena ukurannya yang jumbo, tidak mungkin kalau Zia memasukannya ke dalam kamar.
"Sini duduk sebelah gue, Zi," ujar Leon sumringah.
Namun, Zia tak menggubris. Ia malah duduk di sofa single dengan santai seakan keberadaan Leon tidak terlalu berarti.
"Tadi lo bilang ada hadiah lagi, mana?"
"Bentar lah, gue mau nanya dulu sama lo." Leon menggeser posisi duduknya menjadi lebih dekat dengan Zia. "Lo masih suka sama Arza?"
Zia langsung menjawab, "Nggak."
Leon menatapnya lama, ekspresinya jelas penuh keraguan. "Lo serius? Kayaknya lo ngomongnya cepet banget deh."
Zia menyandarkan punggungnya, wajahnya datar seperti biasa. "Terserah. Lo mau percaya atau enggak, itu sama sekali nggak penting buat gue."
Jawaban itu membuat Leon terdiam sesaat sebelum akhirnya memutar bola matanya, seolah tidak puas tapi juga tidak bisa membantah.
"Kalo enggak, kenapa Arza kayak lagi ngejar-ngejar lo lagi?"
Zia mengangkat ke dua bahunya acuh. "Mana gue tahu, tanya aja sendiri sama orangnya."
Leon menyipitkan mata, jelas tidak puas dengan jawaban itu. Ia mencondongkan tubuhnya lagi, sikap tengilnya muncul kembali.
"Jangan pura-pura bego deh, Zi. Arza ngeliatin lo dari jauh aja gue bisa liat. Dia tuh masih suka sama lo."
Zia memutar bola mata. "Dan itu masalah dia, bukan masalah gue."
"Ya tapi lo tunangan gue, wajar dong gue nanya."
"Leon, lo nanya buat apa sih? Lo cemburu?" Tanya Zia.
Siapa sangka, Leon langsung mengangguk. "Iya, gue cemburu dan nggak suka tunangan gue di embat orang lain."
Zia mendengus sebal. "Siapa juga yang mau sama Arza? Lagian kalo gue bilang enggak suka, lo tetap nggak percaya. Kalo gue bilang iya, lo pasti makin ribut. Jadi mau lo apa?" Zia menatapnya lurus, nada suaranya tetap tenang namun tajam.
Leon membuka mulut hendak bicara, tapi berhenti. Ia mengernyit, lalu mendekat sedikit lagi, menatap Zia lekat-lekat seakan mencoba membaca isi dadanya.
"Zi, gue cuma… pengin lo jujur sama gue," katanya pelan, tapi tetap dengan gaya pede khasnya.
"Gue udah jujur," balas Zia tanpa ragu. "Lo aja yang suka ngeyel."
Ada jeda hening sejenak. Pelayan datang membawa minuman dan piring kecil berisi kue-kue. Zia mengucapkan terima kasih singkat, sementara Leon masih menatapnya seolah belum selesai.
Begitu pelayan pergi, Leon kembali bicara.
"Ya udah. Tapi kalo Arza macem-macem, gue yang turun tangan," ujarnya sambil menyandarkan diri ke sofa, tangan terlipat dengan percaya diri.
Zia hanya menghela napas. "Suka-suka lo aja, Leon."
Leon menoleh cepat. "Eh, jangan gitu dong. Lo ngomongnya kayak gue cuma numpang hidup di sini."
"Gue cuma bilang terserah. Itu bukan berarti gue peduli lo mau ngapain."
Leon terdiam sebentar, lalu tiba-tiba tersenyum miring senyum yang biasanya bikin banyak cewek meleleh, tapi bagi Zia justru bikin gemas… dan kesal.
"Zi, lo tuh lucu banget kalo lagi jutek."
Zia meliriknya datar. "Gue nggak lucu. Gue serius."
Leon malah tertawa kecil. "Justru itu yang bikin gue makin suka."
Zia mendesis pelan, wajahnya merona tanpa ia sadari. Sebagian karena malu, sebagian lagi karena jengkel luar biasa.
"Gue mau liat hadiah lo yang lain?" tanyanya untuk mengalihkan.
"Oke, gue juga mau liat ekspresi lo waktu nerimanya."
Zia hanya bisa menghela napas keras, sudah siap dengan kejengkelan berikutnya.
Leon mendengus pelan, seperti sedang menimbang sesuatu. Ruang tamu terasa lebih hening dari seharusnya, hanya terdengar denting halus piring dari arah dapur saat pembantu menyiapkan snack. Zia meraih bantal kecil di sampingnya, memeluknya santai, tatapannya tetap datar.
"Gue bilang tadi ada hadiah, kan?" suara Leon turun satu oktaf, terdengar seperti seseorang yang sedang merencanakan sesuatu.
Zia mengeryit. "Iya, makanya gue nanya. Hadiah ap—"
Belum sempat ia menyelesaikan kalimatnya, Leon tiba-tiba mencondongkan tubuh. Gerakannya cepat, terlalu cepat untuk Zia antisipasi.
Cup.
Sebuah kecupan mendarat tepat di pipi Zia.
Zia membeku.
Otaknya seketika blank, tubuhnya seakan kehilangan fungsi selama beberapa detik. Bahkan bantal yang tadi ia peluk jatuh begitu saja ke pangkuan. Matanya terbelalak lebar, pipinya panas dalam hitungan sepersekian detik.
Leon mundur pelan sambil menyeringai puas, dagunya naik sedikit seperti seseorang yang baru saja memenangkan pertarungan kecil.
"Itu," katanya santai sambil bersandar ke sofa, tangan disilangkan di dada, "hadiah yang gue maksud."
Zia membuka mulut, tapi tidak ada suara yang keluar. Jantungnya berdetak begitu keras sampai ia bisa mendengarnya sendiri.
Leon terkekeh kecil, jelas menikmati reaksi itu. "Kok diem? Shock, ya?"
Zia akhirnya berhasil pulih sedikit. Alisnya naik, namun pipinya tetap memerah, membocorkan hal yang ingin ia sembunyikan. "Leon… lo… apaan sih?!"
"Gue mah cuma ngasih hadiah. Lo yang minta tadi."
"Gue–eh, gue itu—" Zia menggigit bibir, kebingungan sendiri karena lidahnya sampai terpeleset. "Gue maksudnya hadiah yang beneran!"
Leon mengangkat alis dengan gaya sok polos. "Lah, itu beneran, Zi. Hadiah spesial tunangan lo."
Zia menatapnya tajam, tapi sayangnya pipi merah muda yang belum pudar membuat ancaman itu kehilangan wibawa.
Leon malah terkekeh lagi sambil mencondongkan badan, suaranya rendah dan penuh kepercayaan diri. "Tenang aja, kalau lo mau hadiah tambahan, gue masih punya banyak stok."
***
Sebuah gedung besar yang berada di salah satu bangunan hotel berbintang sudah dipenuhi oleh dekorasi mewah yang didominasi oleh warna putih. Terlihat tamu-tamu undangan juga sudah mulai berdatangan mengisi gedung ini. Pesta ini hanya dihadiri untuk kaum borjuis dan sekali lihat penampilannya kita bisa tahu bahwa mereka dari kalangan atas dan bukan orang-orang sembarangan.
"Gabriella, kamu ingat pesan Mama tadi siang, kan?"
Gaby kemudian mengangguk samar. "Aku pasti akan lakukan yang terbaik, Mama tenang aja."
Amanda memakai gaun berwarna putih yang sangat elegan dan terlihat cantik di usianya yang sudah tidak muda lagi.
"Mama percaya sama kamu. Ini kesempatan kita dan sepertinya dia juga tidak akan datang."
Sebuah senyuman lembut terbit di wajah cantik gadis itu, pandangan matanya lurus memperhatikan tamu undangan yang tengah menikmati berbagai hidangan pesta.
"Hm, aku nggak akan melewatkan kesempatan ini," katanya tanpa mengubah ekspresi wajahnya.
Gabriella sangat cantik, tidak ada yang bisa membantah itu. Apalagi malam ini ia memakai white fairy dress elegant off shoulder dengan rambut lurus yang digerai indah kemudian sedikit sentuhan aksesori jepitan rambut kupu-kupu yang menghiasi rambutnya.
Semua itu memberi kesan anggun dan lembut di saat bersamaan. Siapa pun yang melihat Gaby saat ini tentu saja dapat merasakan aura protagonis yang menguar sangat kuat pada diri gadis itu.
"Mereka sudah datang," bisik Amanda pelan.
Ibu dan anak itu menatap Damian yang datang dari arah pintu, masuk dengan seorang pria paruh baya yang berjalan di sampingnya. Pria itu memiliki postur tubuh sedikit bungkuk mungkin karena faktor usia yang sudah renta, dan ia juga menggunakan tongkat ketika berjalan untuk membantu langkahnya.
"Mas," Amanda menyapa suaminya, kemudian ia melangkah mendekati ayah mertuanya. "Ayah apa kabar? Sudah lama sekali Ayah nggak main ke rumah."
Amanda tersenyum cerah dan ingin memeluk ayah mertuanya sebagai bentuk sapaan, tetapi Ayah mertuanya itu malah memperlambat langkahnya, seolah menolak sapaan itu.
Amanda berusaha mempertahankan senyumnya meskipun mendapatkan penolakan halus tersebut. Damian melihat istrinya yang sudah sering kali diperlakukan seperti itu oleh ayahnya.
Selama pernikahan mereka, Ayah Damian sangat tidak menyukai istrinya dan sampai sekarang sepertinya tidak merestui pernikahan mereka.
Damian menghela napas, melihat wajah datar ayahnya. "Yah, nggak seharusnya Ayah kayak gitu."
"Mas, nggak apa-apa," Amanda menggeleng pelan. "Ayah, terima kasih banyak sudah meluangkan waktu untuk hadir di pesta ini, kami sangat senang," ucapnya dengan tulus.
Frans, ayah Damian hanya mendengus samar. "Ini pesta perayaan salah satu perusahaan saya, tentu saja saya datang," sahutnya tanpa sedikit pun menoleh pada menantunya.
Tubuh Amanda langsung membeku seketika.
Frans mengedarkan pandangan pada seisi ruangan hingga akhirnya berhenti pada Damian.
"Di mana cucuku?" tanya Frans dingin.