S2
Ketika dua hati menyatuh, gelombang cinta mengalir menyirami dan menghiasi hati.
Ini adalah kisah Raymond dan Nathania yang menemukan cinta sesungguhnya, setelah dikhianati. Mereka berjuang dan menjaga yang dimiliki dari orang-orang yang hendak memisahkan..
Ikuti kisahnya di Novel ini: "SANG PENJAGA "
Karya ini didedikasikan untuk yang selalu mendukungku berkarya. Tetaplah sehat dan bahagia di mana pun berada. 🙏🏻❤️ U 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sopaatta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25. SP
...~•Happy Reading•~...
Apa yang dikatakan Jacob agar Thania jangan keluar sendiri sebelum dipastikan bahwa anak buah Frans tidak ada lagi di luar, jadi perhatian Raymond. Dia pun ingin memastikan hanya dua anak buah Frans dan sudah ditangkap.
Sambil menunggu kepastian penyelidikan Jacob, Raymond berencana mengamankan Nathania. Karena dia berpikiran sama dengan Jacob dan Samuel, mungkin Frans tidak rela Thania bersamanya.
Sehingga jika Frans tidak bisa menyingkirkan dia, Frans bisa gunakan orang lain untuk menyingkirkan Nathania. Oleh sebab itu, mereka bertiga berdiskusi serius tentang rencana penyelidikan dan penuntutan.
Pembicaraan mereka terhenti saat Didit dan Magda mau pamit pulang. "Didit dan Magda, terima kasih. Nanti Thania hubungi lagi." Ucap Raymond sambil menyalami mereka.
"Siap, Pak Ray. Terima kasih ..." Didit tidak meneruskan. Dia sangat berterima kasih, karena Raymond mau membuka penyelidikan tentang kematian Nike.
Setelah Didit dan Magda pulang, Jacob dan Samuel saling memberi isyarat. "Ternyata sudah malam. Ray, kami pindah ke hotel terdekat. Nanti besok kita ke sini sebelum balik ke Jakarta." Ucap Samuel yang mengerti maksud Jacob.
"Ok, Muel. Tolong tangani. Nanti besok kita bicara." Raymond setuju dengan saran Samuel dan Jacob untuk tinggal di hotel terdekat. Mereka harus bicara lagi untuk mempersiapkan penyelidikan Jacob dan tuntutan yang akan diajukan Samuel mewakili dirinya dan Nathania.
Setelah mengantar Didit dan Magda, Nathania mendekati Raymond yang sedang berpamitan dengan Jacob, Samuel dan Heri. Dia hanya diam mengangguk dan menyalami, sebelum mereka naik ke mobil.
"Kau mau tawari mereka menginap di sini?" Tanya Raymond saat mereka berjalan ke teras rumah. Raymond berpikir demikian, karena Nathania mau bicara dengannya, tapi ditahan.
Nathania tersenyum dan mengangguk. "Iya, Pak. Di dalam ada kamar kosong orang tua saya dan kakak." Nathania mengutarakan yang ada di hatinya saat mengetahui Jacob, Samuel dan Heri pamit mau ke hotel terdekat.
"Tidak usah dipikirkan. Mereka pasti tidak mau tidur di sini, dan saya tidur di paviliun." Raymond sudah kenal kebiasaan kedua sahabatnya.
"Perutku belum pulih, jadi kami tidak bisa tidur bersama. Bisa-bisa besok saya ke rumah sakit, karena kena tendangan salah satu." Raymond berusaha bercanda, agar Nathania bisa tenang dan santai.
Raymond tidak mengatakan kepada Nathania, kalau semua akomodasi Jacob dan Samuel adalah tanggung jawabnya. Dan itu sudah biasa di antara mereka, tanpa perlu dibicarakan.
"Iya, Pak. Saya tidak berpikir ke situ. Pak Ray mau minum sesuatu?" Nathania mengalihkan, perasaan sayangnya yang meluap setelah bisa berdua saja dengan Raymond di teras.
"Tidak usah. Air mineral ini saja. Kita duduk sebentar di sini. Aku mau bicara denganmu." Ucap Raymond sambil menunjuk kursi dan gelas air mineral di atas meja.
Nathania duduk perlahan sambil mengendalikan dan menenangkan detak jantungnya, agar bisa konsentrasi dan fokus pada apa yang akan dikatakan Raymond.
"Mengenai kematian Nike. Mulai sekarang, kau harus berbesar hati untuk menerima apa pun hasil penyelidikan Pak Jacob."
"Kalau memang harus otopsi untuk temukan bukti, mari kita lakukan. Jika Pak Jacob anggap tidak perlu, tidak akan ada penggalian jenazah. Jadi itu jangan jadi beban pikiranmu." Raymond mencoba menguatkan Nathania, agar tidak terguncang jika itu terjadi.
"Iya, Pak. Saya sudah berserah dan berharap kakak peroleh keadilan, jika diperlakukan buruk oleh Frans." Nathania berucap pelan sambil menahan rasa haru.
"Kalau Pak Ray, butuh uang untuk penyelidikan itu, saya punya uang. Eh, maksudnya, kakak ada kasih tinggal uang lumayan banyak. Bisa dipakai untuk keperluan itu." Nathania berkata demikian, karena dia tahu harus membayar pengacara. Dia tidak enak meminta lagi dari Raymond.
"Kau tidak usah pikirkan itu. Yang penting kau sudah tahu dan setuju akan lakukan penyelidikan dan penuntutan dan lainnya." Ucap Raymond, tegas.
"Oh, iya, Pak. Terima kasih." Nathania mengangkat tangan dan menyentuh dadanya dengan ujung jari, sebagai tanda berterima kasih dari hati.
"Ok. Kita kesampingkan kasus kematian Nike dan yang dibicarakan dengan Pak Jacob. Besok kalau masih ada waktu, kita bisa bicarakan lagi." Ucap Raymond setelah melihat Nathania diam menunduk.
"Iya, Pak. Terima kasih." Nathania tetap menunduk dan menautkan jarinya.
"Sekarang, aku mau bicara tentang hubungan kita. Apa kau keberatan, kalau kita menikah secepatnya dan tanpa ada perayaan atau pesta?" Raymond langsung pada niat hatinya.
Nathania refleks mengangkat wajah dan lama melihat Raymond. "Tidak apa-apa, Pak. Saya ikut yang baik menurut Pak Ray."
"Thania, aku bertanya, karena ini menyangkut kita. Kau bisa mengutarakan yang kau inginkan." Raymond mau mendengar pendapat Nathania, agar tidak diangkap maunya sendiri, atau otoriter.
"Begini Pak." Mata Nathania membulat melihat Raymond, karena keceplosan mengatakan dua kata yang suka memancing tawa Raymond.
"Teruskan saja yang mau dikatakan." Raymond menyimpan senyum di hati, agar Nathania bisa fokus pada apa yang mau dikatakan.
"Begini Pak. Karna saya sendiri, tidak membutuhkan persetujuan orang lain untuk acara atau waktunya. Jadi saya ikut yang dibilang Pak Ray. Tapi bagaimana dengan keluarga Pak Ray?" Nathania jadi berani bertanya setelah mengetahui Raymond memberikan kebebasan untuk berpendapat.
"Mengenai keluargaku, sementara kita tidak libatkan. Karna pertimbangan perayaan tadi. Orang tuaku tidak akan biarkan pernikahan tanpa perayaan. Jadi kita menikah secara negara dulu. Setelah tidak terlalu sibuk, aku bicara dengan orang tuaku untuk pemberkatannya."
"Apakah orang tua Pak Ray bisa terima saya?" Nathania menyampaikan yang dipikirkan setelah melihat cincin yang diberikan Raymond. Dia yakin, Raymond bukan orang biasa, dan juga dari keluarga terpandang.
"Kalau yang itu, tidak usah dipikirkan. Orang tuaku selalu mendukung keputusanku." Raymond tidak mau menjelaskan lebih.
"Baik, Pak. Saya ikut yang diatur Pak Ray." Nathania putuskan.
"Kalau begitu, tolong bilang Didit dan Magda siapkan surat-surat sebagai saksi. Kalau saya lihat schedule bisa kapan, akan bicara dengan pengacara Samuel untuk atur pendaftarannya." Raymond langsung memutuskan, karena dia tidak mau Nathania sendiri hadapi Frans dan keluarganya, atau orang suruhannya.
"Iya, Pak. Mas Didit dan Kak Magda sudah pernah urus surat-surat, karena pernah jadi saksi untuk pernikahan Kak Nike."
"Good. Berarti tunggu waktunya dariku." Raymond merasa lega. Dia akan tentukan waktu yang tepat untuk pernikahan mereka. Hatinya sangat lega, Nathania bisa terima niatnya.
"Sandar ke sini..." Raymond menepuk bahunya, agar Nathania terbiasa dengannya. Nathania menatap Raymond dan perlahan menyandarkan kepala dengan hati yang penuh dan hampir meluap, oleh rasa sayang Raymond.
Raymond mengambil tangan Nathania dan menautkan jari mereka. "Hari ini kita sudah maju satu langkah lagi." Bisik Raymond pelan, lalu mencium kepala Nathania dengan sayang.
"Mungkin ke depan langkah yang akan kita jalani tidak semulus sekarang. Tapi apa pun kondisinya, jangan lepaskan tanganku." Bisik Raymond serius, sambil menggenggam erat jemari Nathania.
...~_~...
...~▪︎○♡○▪︎~...
kayakna frans tahu pas di bali terus dia marah sampai dorong nike