"hana maaf, rupanya riko hatinya belum tetap, jadi kami disini akan membatalkan pertunangan kamu.. dan kami akan memilih Sinta adik kamu sebagai pengganti kamu" ucap heri dengan nada yang berat
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon santi damayanti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33 pernikahan Riko 2
"S… Sinta, ini apa?" Riko menatap tunangannya dengan wajah pucat, keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.
"Ini semua warga kampungku," jawab Sinta pelan, suaranya terdengar terkejut namun tetap acuh, seolah situasi kacau itu bukan masalah besar.
Riko memandang tak percaya. Ratusan orang berhamburan masuk ke ballroom, berebut kursi yang jumlahnya hanya 400. Siti, yang ikut mengatur, tampak panik menghitung ulang. "Sekarang hampir 800 orang! Itu pun belum termasuk anak-anak!" serunya.
Anak-anak kecil berlari-lari, sebagian memperebutkan bunga melati dari hiasan jalan pelaminan. Beberapa tamu bahkan mencabut tanaman hias dalam pot untuk dijadikan oleh-oleh. Petugas hotel kalang kabut berusaha menertibkan, tapi kewalahan menghadapi kerumunan yang berisik dan tak terkendali.
Yang membuat keadaan makin pelik, mereka semua memegang undangan resmi. Artinya pihak hotel tidak bisa sembarangan mengusir.
Sinta menggertakkan gigi, kesal. Ia menoleh tajam ke arah ibunya. "Ibu, tolong kendalikan orang-orang yang Ibu bawa!"
Mirna justru tampak santai. Ia mengambil mikrofon dari panggung, lalu berseru lantang. "Bu-ibu, tolong kendalikan anak-anaknya! Acara akad mau dimulai. Setelah akad, kita semua bisa makan sepuasnya. Tapi kalau tidak diam, maka tidak ada makan!"
Suasana sontak riuh. Sebagian tertawa, sebagian bersorak mendengar kata "makan sepuasnya."
Deg! Jantung Riko serasa mau copot. Kata-kata ibunya Sinta bagaikan palu godam menghantam kepalanya. Makan sepuasnya?
Riko menutup wajah dengan kedua tangan, napasnya memburu. Ia sudah memperhitungkan biaya tambahan untuk seratus tamu ekstra. Tapi ini? Delapan ratus orang!
Kepalanya berdenyut. Rasanya ia ingin mencekik ibu mertuanya saat itu juga.
Akad nikah dimulai. Semua tamu mulai tenang, meski bisik-bisik masih terdengar di sudut ruangan. Penghulu duduk di depan, memandang Riko dengan serius.
“Baik, kita mulai. Saudara Riko bin Heri, apakah Anda siap mengucapkan ijab kabul?”
Riko menelan ludah, tangannya gemetar. Matanya melirik sekilas ke arah para tamu yang masih berdesakan. Bayangan 800 porsi makan terus menari di kepalanya.
“Baik, saya… eh…” Riko terdiam.
“Ulangi, jangan gugup,” ujar penghulu sabar.
“Baik. Saya Riko bin Heri menikahkan… menikahi… aduh, bagaimana tadi?” Riko mengacak rambutnya sendiri.
Sinta menutup wajah dengan veil, menahan malu. Suara cekikikan mulai terdengar dari tamu kampung.
“Ulang lagi!” tegas penghulu.
Riko menarik napas panjang. “Saya Riko bin Heri, menikahi Sinta binti Heri—eh, maksudnya Handoko—dengan…”
“STOP! Bukan binti Heri, tapi Handoko. Fokus!” Penghulu menghela napas.
Riko semakin pucat. Jantungnya berdetak kencang, kepalanya pusing membayangkan biaya katering.
Percobaan ketiga, keempat, tetap berantakan. Lidahnya kaku, kalimat terbalik-balik, bahkan sempat menyebut nama Hana tanpa sadar. Seluruh ruangan sontak heboh.
“Ya Allah, ini bagaimana calon menantuku,” desah Handoko, ayah Sinta, menahan malu.
Mirna malah nyeletuk lewat mikrofon, “Maklumlah, masih grogi, nanti habis akad kita langsung makan sepuasnya ya!”
“MAKAN LAGI!” jerit Riko dalam hati, hampir pingsan.
Akhirnya di percobaan kelima, dengan wajah penuh keringat, suara tercekat, Riko berhasil menyelesaikan lafaz ijab kabul dengan benar.
“SAH!” seru para saksi serentak.
Sorak-sorai memenuhi ballroom, seolah mereka menonton pertandingan bola.
Namun Riko hanya bisa menunduk, matanya kosong. Yang dia lihat bukan wajah cantik Sinta, melainkan angka-angka biaya yang terus membengkak
Begitu akad dinyatakan sah, pelayan hotel membuka tirai buffet. Aroma rendang, sate, dan nasi kebuli langsung memenuhi ballroom. Seketika itu juga, ratusan tamu menyerbu meja hidangan seperti gelombang pasang.
Dalam hitungan menit, piring-piring kosong menumpuk. Nasi habis, sate tinggal tusuknya, bahkan kue pengantin sudah ada yang dicolek anak-anak. Banyak tamu yang baru sampai hanya bisa memandangi meja kosong.
“Ini bagaimana, makanan sudah habis!” teriak salah satu tamu kampung, protes keras.
Sinta yang masih duduk di pelaminan langsung berdiri, wajahnya merah padam. Ia menoleh ke Riko.
“Bang, gimana ini? Tamu kita belum semua kebagian! Cepat tambah makanan, nanti kita dipermalukan!”
Riko tertegun, keringat dingin mengucur deras. “Tambah makanan? Kamu pikir ini warteg? Aku sudah tekor, Sin!”
“Pokoknya tambah! Aku nggak mau pernikahan ini jadi bahan gosip kampung!” bentak Sinta, matanya melotot.
Riko merasa dadanya sesak, hampir pingsan. “Aku… aku keluar dulu,” katanya lirih sambil berjalan gontai meninggalkan ballroom.
Di luar, ia segera mencari ayahnya. “Pak, tolong bantu aku, ini makanan habis, mereka ribut.”
Namun Heri hanya mengisap rokoknya dengan santai. “Biarin aja. Main ke hotel udah untung, kenapa harus dikasih makan? Dari dulu bapak bilang, nikah itu di kampung aja, sederhana tapi meriah. Bapak sudah siapin uang buat manggil artis dangdut, bukan buat catering hotel.”
Riko menatap ayahnya dengan mata merah, hampir putus asa. “Pak… aku bisa gila kalau begini terus.”
Heri menepuk bahunya pelan. “Ya itu akibatnya kalau nurut sama gengsi orang. Sekarang tanggung sendiri.”
Riko menunduk lemas. Di kepalanya, suara tamu yang ricuh bercampur dengan suara Sinta yang terus menuntut. Dunia serasa berputar, membuatnya ingin lari sejauh mungkin dari pesta itu.
Kalau seperti ini, hanya satu nama yang terlintas dalam pikiran Riko.
“Ya benar… Hana. Hana pasti bisa mengatasi ini semua,” gumamnya.
Dengan tangan gemetar, ia meraih ponselnya dan mencoba menelpon Hana. Sayang, panggilannya tak kunjung tersambung. Mungkin nomornya memang sudah diblokir.
Saat ia masih menatap layar ponsel dengan harapan kosong, tiba-tiba sebuah mobil Rubicon berhenti di depan hotel. Para petugas segera berbaris menyambut dengan penuh hormat.
Turun seorang perempuan berpenampilan anggun: rok selutut, atasan sopan, kulit putih bersih. Ia berjalan bersama seorang pria berjas hitam rapi menuju ruangan VIP.
“Hana…” gumam Riko kaget.
Ia sontak berlari, melihat penyelamatnya datang. “Hana, tolong aku,” pinta Riko dengan suara memelas.
Hana hanya menoleh sekilas tanpa menjawab. Dalam hatinya, masih ada luka lama: laporan yang belum sempat ia ajukan tentang pelecehan Riko. Dan kini lelaki itu justru datang memohon bantuan.
“Hana… orang tua Sinta membawa satu kampung ke pernikahanku. Tolong aku, Hana,” Riko terus memohon.
“Bukan urusanku,” jawab Hana dingin, melangkah lagi.
“Bang Riko!” teriak Sinta dari belakang. Ia berjalan sambil menahan gaun pengantin yang panjang.
Riko menoleh, namun segera kembali menatap Hana.
“Oh… Kak Hana rupanya. Masih saja cemburu, ya? Mau mengacau di pesta pernikahanku?” serang Sinta dengan nada tajam.
Hana hanya menatap sebentar, lalu berbalik. Dua security dengan sigap mengawal langkahnya menuju ruangan VIP.
Riko panik. Ia kembali berlari mengejar, namun langkahnya tertahan ketika seorang pria bersafari menghadang.
“Maaf, Nyonya Hana adalah tamu kehormatan hotel ini. Mohon jaga kesopanan Anda.”
Riko tertegun. Bibirnya bergetar. “Apa… Hana tamu kehormatan di hotel ini? Bukankah seminggu yang lalu dia masih jadi gembel? Aku yang akan menolongnya dari jalanan! Tapi sekarang… kok bisa dia diperlakukan seperti ini?” gumamnya, bingung setengah gila.
Mungkin bagi Riko dengan memaksa hana adalah dalam upaya menolong hana
“Bang, kenapa masih saja mengejar Kak Hana?” suara Sinta tiba-tiba terdengar, getir bercampur kesal. Ia berjalan mendekat dengan gaun pengantinnya yang mewah, tapi wajahnya jelas penuh amarah. “Masih suka, ya? Jangan bilang kau masih mengharapkannya!”
Riko menoleh dengan wajah putus asa. “Kamu pikir aku mengejarnya karena suka? Tidak, Sinta. Aku hanya… aku hanya butuh bantuan. Kamu tidak lihat sendiri keadaan ini? Ibu kamu itu—ya ampun—dia bawa satu kampung ke hotel! Semua berantakan. Aku pusing, Sinta. Aku hampir gila.”
secepatnya pasti terkuak dan Andri gak jadi sama Hana deh 😅😅