Istriku! Oon!?.
Eric Alaric Wiguna , seorang Mafia & CEO perfeksionis, mendapati hidupnya jungkir balik setelah menikahi Mini.
Mini Chacha Pramesti adalah definisi bencana berjalan: ceroboh, pelupa, dan selalu sukses membuat Eric naik darah—mulai dari masakan gosong hingga kekacauan rumah tangga yang tak terduga.
Bagi Eric, Mini itu oon tingkat dewa.
Namun, di balik ke-oon-annya, Mini punya hati yang tulus dan hangat. Mampukah Eric bertahan dengan istrinya yang super oon ini?
Atau justru kekonyolan Mini yang akan menjadi bumbu terlezat dalam pernikahan kaku mereka?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon simeeee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 10: Sang Penjaga Dinding dan Kesepakatan di Kegelapan
Selamat Membaca 👇
Lubang tangga spiral yang baru terbuka di lantai gereja itu mengeluarkan bau apek yang pekat, bau tanah lembap, dan keputusasaan.
Suara Kakek Pranoto—serak dan lemah—bergema dari kegelapan.
“Kakek Pranoto masih hidup?” Mini Chacha Pramesti berbisik, kagetnya melebihi saat dia hampir ditembak di Milan.
Eric Alaric Wiguna segera menarik Mini menjauh dari lubang tangga, menariknya ke balik pilar batu tebal. Wajah Eric seputih marmer di lantai gereja.
“Ini jebakan, Mini! Kakek Pranoto diyakini sudah mati selama dua tahun! Ini pasti ulah Valerius! Mereka tahu cincin itu akan membawa kita ke sini!” Eric berbisik, mengeluarkan pistol berperedam suara yang ia sembunyikan di balik pinggangnya. Itu adalah Shadow Fang, pistol yang sangat ia andalkan.
“Tapi… suaranya memanggil namaku,” kata Mini, mencengkeram lengan Eric. Kode Emosi Valerius bekerja, tetapi Eric menahan ketenangannya.
“Aku tahu, tapi ini terlalu berisiko. Kalau Kakekmu masih hidup, mengapa Klan Conti menyembunyikannya? Kenapa ia tidak ditempatkan di tempat yang lebih aman?” Eric berargumen, matanya meneliti bayangan di sekitar mereka.
Mini melihat ke bawah, ke arah tangga itu.
Walaupun takut, ada dorongan kuat untuk menolong, didorong oleh Naluri Kekacauan Mini yang selalu bertindak sebelum berpikir.
Mini tahu dia harus melakukan sesuatu sebelum penjaga kastil mendengar suara gemuruh dari pintu rahasia yang terbuka.
“Kita tidak punya waktu, Eric. Kalau itu jebakan, kita harus menghadapinya bersama. Kalau itu benar Kakek Pranoto, kita harus menyelamatkannya. Dia yang membuat wasiat ini!” Mini mendesak.
Eric menghela napas panjang, kekalahan tampak jelas di wajahnya. Dia menyadari, sejak bertemu Mini, hidupnya telah berubah dari kalkulasi presisi menjadi taruhan impulsif. Dan anehnya, dia mengikuti.
“Baik,” Eric mengalah. “Marco sudah disiagakan di pos luar, tapi kita hanya berdua. Mini, kau harus berjalan di belakangku. Jangan sentuh apa pun. Jangan berbicara dengan siapa pun, termasuk Kakekmu. Aku yang akan bicara.”
Mereka menuruni tangga batu yang dingin. Udara semakin pengap dan lembap. Mereka tiba di dasar, memasuki lorong batu yang sempit dan panjang. Di ujung lorong, terdapat sebuah jeruji besi tetebal yang dipasang di dinding batu.
Di dalam sel gelap itu, duduklah seorang pria tua, kurus, dengan janggut putih panjang dan mata yang lelah. Dia mengenakan pakaian lusuh. Itu memang Kakek Pranoto.
“Mini… Eric…” Kakek Pranoto menyambut mereka dengan suara parau. Air mata mengalir di pipinya.
“Kakek Pranoto,” Eric berbicara formal, pistolnya masih siaga di tangan. “Jelaskan. Bagaimana Anda bisa di sini? Klan Conti mengumumkan kematian Anda dua tahun lalu.”
Kakek Pranoto tertawa getir. “Kematianku adalah kesepakatan dengan Nenek Alessandra. Dia butuh asetku dan ingin mengendalikan darah Valerius melalui perjodohan. Dia tahu cucuku—kau, Mini—adalah keturunan terakhir yang
memegang chiaro (kode) Ruang Kaca.”
Eric menurunkan pistolnya sedikit, sedikit percaya. “Jadi, kau membiarkan dirimu dipenjara dan membuat wasiat konyol itu hanya untuk mendapatkan Mini ke sini?”
“Aku harus melakukannya! Ruang Kaca… Eric, di sana bukan hanya rahasia Conti. Di sana ada bukti pengkhianatan terbesar yang akan menghancurkan klan Conti dari dalam. Nenekmu menyembunyikannya dari semua orang, termasuk Ayahmu,” Kakek Pranoto menunjuk ke dinding dengan tangan gemetar.
“Ruang Kaca harus dibuka dengan Kunci Ganda—Cincin dan Sumpah Valerius—agar rahasia itu jatuh ke tanganmu dan Mini. Aku tidak bisa membiarkan Nenek Alessandra menang.”
Mini, yang mendengarkan dengan serius, tiba-tiba melihat sesuatu di sudut sel Kakek Pranoto. Sebuah ember tua yang terbalik.
Mini mendekati jeruji besi, menunjuk ke ember. “Kakek Pranoto, kenapa ember itu terbalik? Apakah itu kode rahasia Valerius juga?”
Kakek Pranoto dan Eric menatap ember itu dengan bingung. Eric merasa malu setengah mati karena calon istrinya menanyakan soal ember di momen ini.
Kakek Pranoto tersenyum kecil. “Itu… untuk duduk, Mini. Sudah dua tahun Kakek di sini.”
Mini merasa lega. “Oh! Kalau begitu, Kakek tidak kedinginan? Mau aku carikan selimut dari kamar Eric?”
Eric segera menarik Mini menjauh. “Mini! Fokus! Kakekmu sedang menjelaskan rencana rahasia klannya!”
Namun, Kakek Pranoto malah tertawa pelan.
“Tidak apa-apa, Eric. Cucuku memang spesial. Dengarkan, Eric. Mini adalah Signora Valerius, dia memegang kuncinya. Jika kau ingin menyelamatkan klanmu dari kehancuran, kau harus bersumpah untuk melindunginya, dan bersumpah untuk menghancurkan apa pun yang ada di Ruang Kaca yang bisa merusak Conti.”
Kakek Pranoto mendesak Eric. "Aku butuh sumpahmu. Sumpah Fede e Fuoco (Iman dan Api). Demi klan Conti yang lebih bersih."
Mini memandang Eric. Eric menatap mata Mini, merasakan Kode Emosi Valerius yang menenangkannya, membantunya mengambil keputusan. Eric menyadari, tidak ada jalan kembali.
Eric meletakkan pistolnya di tanah, lalu berlutut di depan jeruji besi Kakek Pranoto.
“Saya, Eric Alaric Wiguna, bersumpah di hadapan darah Valerius. Saya bersumpah Fede e Fuoco. Saya akan melindungi Mini Chacha Pramesti dan saya akan menghancurkan semua kebohongan yang disembunyikan Nenek Alessandra. Saya akan membersihkan klan Conti,” ucap Eric dengan suara berat dan penuh sumpah.
Tepat saat sumpah itu selesai, Eric merasakan getaran kuat. Bukan getaran pintu, melainkan getaran tanah.
DOR!
DOR!
DOR!
Suara tembakan senapan mesin otomatis, kemungkinan besar Beretta M1938 yang legendaris klan Conti, terdengar dari lantai atas.
“Mereka tahu!” seru Kakek Pranoto. “Nenek Alessandra mengirim penjaga! Kalian harus lari ke Ruang Kaca! Mini, kunci di sana adalah kunci pertamamu!”
Eric bangkit cepat, mengambil kembali pistolnya. “Kita tidak bisa meninggalkanmu!”
“Pergi! Mini, kunci pertamamu adalah gelangmu! Gunakan Naluri Kekacauan-mu! Selamatkan dirimu, selamatkan Eric!” teriak Kakek Pranoto.
Eric mencengkeram tangan Mini. “Kita ke Ruang Kaca!”
Mereka berlari kembali menyusuri lorong sempit. Suara tembakan semakin keras, semakin dekat. Eric tahu para penjaga akan segera tiba di gereja dan menemukan pintu rahasia itu terbuka. Eric harus membuka Ruang Kaca di mana pun ia berada, atau mereka akan terkunci di antara klan Conti dan Klan Valerius.
Eric dan Mini berlari menaiki tangga. Tiba-tiba, Eric berhenti. Dinding batu tebal di depan mereka mulai retak karena hantaman peluru.
“Mini, sentuh dinding ini!” Eric berteriak. “Gunakan Naluri Kekacauanmu! Cari jalan keluar lain!”
Mini menekan kedua tangannya ke dinding batu. Ia menutup mata, mencoba fokus pada sensasi Seguro dan gelangnya. Mini merasakan getaran yang aneh, dan tiba-tiba, sebuah pikiran aneh muncul: Dinding ini tidak kokoh di tengah.
Mini menarik tangan Eric, lalu menendang dinding itu sekuat tenaga di bagian tengah yang ia rasakan aneh.
DUAR!
Batu itu tidak roboh. Tetapi, tembakan yang tadinya menghantam keras ke dinding yang sama, kini malah terpantul kembali, menghantam area lain di lorong, menyebabkan suara ledakan yang mengagetkan para penjaga yang baru tiba.
Mini tidak merusak dinding, dia hanya menciptakan titik pantul yang aneh untuk peluru!
Mini dan Eric berlari menerobos asap dan reruntuhan kecil. Mereka harus segera menemukan Ruang Kaca sebelum Nenek Alessandra tiba.
BERSAMBUNG.
contohnya:
"Lari! Jangan diam saja!"
"Dan, kenapa istrimu lama sekali?!"
Begitulah yang di ucapkan konsen padaku.
jadi mudah dipahami kan?