Shen Wuyan lahir dengan ribuan wajah di dalam jiwanya, masing-masing menyimpan ingatan, kekuatan, dan dosa. Dunia mengejarnya, menyebutnya iblis yang harus dihancurkan — tapi Wuyan punya rahasia yang lebih gelap: ia tidak hanya satu entitas, melainkan ribuan jiwa yang terperangkap dalam satu tubuh.
Jika ia menolak salah satu wajah, sisi itu bisa memberontak dan mencabik jiwanya dari dalam. Tapi jika ia menerima semuanya … ia bisa menjadi musuh terbesar dunia.
Kini Wuyan harus bertarung bukan hanya untuk hidupnya, tapi untuk mendamaikan semua sisi dirinya yang paling menakutkan — sebelum wajah-wajah itu membunuhnya dari dalam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Demon Heart Sage, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29 — Ritual Laut Tanpa Dasar
Kabut di lembah itu belum juga menipis sejak malam sebelumnya. Shen Wuyan berjalan tanpa arah pasti, hanya mengikuti desiran samar di antara kabut, seperti napas panjang yang datang dari perut bumi. Langkahnya berat, tapi tenang. Setiap jejak yang ia tinggalkan di tanah lembah segera tertutup kabut perak yang mengalir seperti air hidup.
Ia berhenti di depan batu-batu raksasa yang membentuk lingkaran alami. Di tengahnya, sesuatu berkilau samar—sebuah altar batu, sebagian tertutup akar-akar kering dan lumut hitam. Udara di sekelilingnya tidak bergerak. Bahkan suara jantungnya sendiri terasa jauh.
Bayangan yang selalu mengikutinya berdiri di sisi kanan, nyaris tak bersuara.
“Tempat ini... bukan buatan tangan manusia,” ucap Wuyan pelan.
Bayangan tidak menjawab. Ia hanya memandangi altar itu lama, seolah sedang menimbang sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Langkah Wuyan berderak di antara kerikil lembah. Ketika ia mendekat, cahaya redup di atas altar mulai menampakkan bentuknya—sebuah kolam bundar kecil, tak lebih dari dua meter diameternya, dipenuhi cairan berwarna perak yang memantulkan cahaya bulan. Permukaannya bergetar lembut, tapi tidak menetes, seolah logam itu hidup dan bernapas.
“Apa ini?” tanyanya, suaranya terdengar kecil, hampir seperti gumaman.
Bayangan menggerakkan kepalanya sedikit. “Altar Laut Tanpa Dasar.”
“Laut?” Wuyan mengerutkan alis. “Di tempat seterasing ini?”
“Bukan laut seperti yang kau tahu,” jawab bayangan dengan nada datar. “Ini adalah laut di dalam dirimu. Siapa pun yang menatapnya terlalu dalam, akan menemukan apa yang selama ini ia sembunyikan.”
Wuyan terdiam. Matanya memandangi permukaan cairan perak itu lama. Tidak ada pantulan batu, tidak ada bayangan tubuhnya. Bahkan kabut di sekitarnya tidak tercermin. Hanya kedalaman tak berujung yang gelap dan berkilau di saat bersamaan.
“Kenapa tidak memantulkan apa pun?”
“Karena ia hanya mengenali jiwa,” bisik bayangan. “Bukan dunia di sekitarnya.”
Ia berjongkok. Jari-jarinya hampir menyentuh permukaan logam itu, tapi udara di atasnya terasa tebal, seolah ada lapisan tak terlihat yang menahan. Begitu dekat, ia bisa merasakan suhu yang aneh—dingin tapi lembap, seperti kulit makhluk yang baru bangun dari tidur panjang.
Sebuah suara samar datang dari bawah permukaan: dengungan rendah, nyaris seperti gumaman doa yang diulang tanpa henti.
Wuyan menelan ludahnya. “Apakah ini… hidup?”
Bayangan tidak menjawab kali ini. Ia hanya menatap lurus ke kolam, lalu perlahan mundur satu langkah.
Wuyan menatap pantulan gelap itu lebih lama. Ia tidak melihat dirinya, hanya kegelapan yang bergerak seperti arus bawah laut. Semakin lama ia menatap, semakin dalam rasanya, seolah matanya sendiri ditarik masuk ke dalam pusaran yang tak punya ujung.
Sebuah kilasan tiba-tiba muncul.
Wajahnya sendiri. Tapi matanya merah, bibirnya bergetar, dan di pipinya ada bekas luka yang tak pernah ia miliki. Sekilas saja, namun cukup untuk membuat dadanya berdebar keras.
Ia terlonjak mundur, tapi refleksi itu tidak hilang. Justru semakin jelas. Di samping wajah itu, muncul wajah lain—serupa tapi tidak sama. Wajah yang tertawa kecil, satu lagi menangis tanpa suara, satu lagi menatap kosong dengan mata seputih susu.
Cairan itu beriak tanpa angin.
Wuyan berbisik, “Apa mereka… aku?”
Bayangan menatapnya, matanya dingin dan berat. “Itu semua adalah dirimu yang kau buang.”
Suara itu bergema di lembah, padahal bibir bayangan tidak bergerak. Wuyan merasakan tekanan aneh di dadanya, seolah udara menjadi padat dan menyusup ke dalam paru-parunya. Ia menatap cermin cair itu lagi. Wajah-wajah di permukaan mulai berbicara tanpa suara. Mulut mereka bergerak serempak, seolah ingin mengatakan sesuatu.
Tapi yang terdengar hanyalah getaran halus—dengungan yang tiba-tiba berubah menjadi seruan serempak di dalam kepalanya:
“Kami adalah yang kau tolak.”
Dunia di sekelilingnya seketika menjadi redup. Kabut berhenti bergerak. Aliran udara terhenti.
Hanya suara itu yang memenuhi kesadarannya.
Wuyan mencoba mundur, tapi tanah di bawah kakinya seperti menolak langkahnya. Permukaan cairan itu berdenyut pelan, setiap denyutan seirama dengan detak jantungnya. Ia menatap ke bawah, dan kali ini wajah-wajah itu mulai berubah—setiap mata di permukaan menatap langsung ke arahnya, seolah mereka tahu ia tak bisa berpaling.
Bayangan bersuara lebih tajam dari sebelumnya. “Jangan lanjutkan, Wuyan. Laut itu bukan untukmu.”
“Kenapa?”
“Karena ia memakan mereka yang menatap terlalu lama. Ia bukan sekadar cermin. Ia jalan pulang bagi jiwa-jiwa yang hilang.”
Tapi Wuyan tidak bergerak. Ada sesuatu dalam pandangan wajah-wajah itu yang menahannya. Salah satu dari mereka menatap lembut, matanya basah, seolah mengenal setiap luka yang pernah ia sembunyikan.
“Aku ingin tahu,” katanya perlahan. “Apa yang sebenarnya hilang dariku.”
Bayangan menatapnya dengan pandangan sulit dijelaskan—antara kasihan dan pasrah.
“Kalau begitu,” katanya dingin, “jangan berharap bisa kembali sebagai dirimu yang sama.”
Cairan perak itu bergetar. Dari kedalamannya, riak halus membentuk pola melingkar, seperti tarikan pusaran kecil yang tumbuh semakin kuat. Wuyan menatapnya tanpa berkedip. Di dalam kilauan itu, ia melihat potongan masa lalunya—bayangan seorang anak kecil duduk sendirian di bawah hujan, wajah ibunya yang perlahan memudar, dan dirinya sendiri berdiri di depan cermin pecah di ruang latihan sekte, memandangi pantulan yang terbelah dua.
Ia mendengar bisikan lain. Suara yang sangat pelan, namun dekat sekali di telinganya.
“Kau sudah lama mencari kami.”
Lutut Wuyan goyah. Ia nyaris jatuh, tapi tangannya terulur ke arah permukaan itu, dan saat jari-jarinya menyentuh cairan perak, waktu seolah berhenti.
Dingin. Sunyi. Dan dalam sekejap, dunia di sekelilingnya lenyap.
Hanya ada dirinya dan pantulan yang menatap balik—ratusan wajah, dengan emosi yang tak bisa ia pahami. Ada yang penuh kebencian, ada yang putus asa, ada yang tersenyum lembut dengan mata kosong. Semuanya menatapnya, menunggu sesuatu yang belum ia ucapkan.
Ia mendengar suaranya sendiri, datang dari banyak arah sekaligus.
“Aku ingin kembali.”
“Aku ingin hidup.”
“Aku ingin diingat.”
“Aku ingin dihapus.”
Semua kata itu bergulung menjadi gema tunggal di pikirannya.
Cermin berdenyut lagi, kali ini lebih kuat.
Bayangan berteriak dari belakang, “Wuyan! Lepaskan!”
Tapi tangan Wuyan sudah menembus permukaan logam itu hingga ke pergelangan. Ia mencoba menariknya, tapi cairan itu menempel, menolak lepas.
Udara bergetar. Suara lembah lenyap sama sekali. Hanya gema napasnya yang tersisa—dan dengung dari ratusan suara di dalam laut perak yang kini perlahan membuka mata mereka bersamaan.
Satu wajah bergerak paling depan, dengan mata hitam pekat dan senyum tak manusiawi. Ia membuka mulut, dan untuk pertama kalinya, suara itu terdengar jelas.
“Selamat datang kembali, Shen Wuyan.”
***
Wuyan terjatuh ke dalam cairan itu tanpa sempat menjerit. Ia tidak merasa tenggelam, tapi tidak pula mengapung—tubuhnya seolah melayang di antara dua lapisan dunia. Warna di sekitarnya memudar, berubah menjadi abu-abu perak yang tak memiliki arah. Tak ada atas, tak ada bawah, hanya pusaran samar yang berdenyut pelan seperti napas raksasa.
Ia membuka matanya, tapi yang dilihatnya hanyalah ribuan wajah yang sama: wajahnya sendiri. Mereka bergerak di sekitar, menatapnya dengan mata yang berbeda-beda—marah, hampa, menangis, tertawa. Setiap wajah berbisik dalam bahasa yang tidak bisa ia pahami, tapi semuanya terasa akrab, seperti gema dari pikirannya sendiri.
Bayangan suaranya muncul di kejauhan. “Kau sudah melangkah terlalu dalam, Wuyan.”
Wuyan menoleh, tapi tidak melihat apa pun selain bentuk hitam yang perlahan memudar di balik kabut cair itu.
“Apa ini dunia bawah jiwaku?”
“Ini bukan dunia. Ini laut yang menampung semua wajah yang pernah kau tolak. Laut yang tak memiliki dasar, karena tak ada akhir bagi penolakan manusia terhadap dirinya sendiri.”
Suara itu tidak terdengar seperti bayangan. Ia lebih tua, lebih berat. Ada nada pasrah di dalamnya.
Wuyan mencoba bergerak, tapi setiap gerakannya justru menarik arus di sekitarnya, membuat wajah-wajah itu semakin dekat. Mereka tidak menyerang, tapi kehadiran mereka menekan napasnya, seperti udara yang padat oleh ingatan yang menolak dilupakan.
Salah satu wajah menatapnya dari jarak sangat dekat—wajah muda dengan mata penuh ketakutan.
“Aku yang memohon agar kau berhenti melawan waktu itu,” katanya pelan.
Wuyan bergumam, “Pertarungan di gerbang sekte…”
Wajah itu tersenyum pahit. “Kau memilih untuk tidak mengingat. Jadi aku tinggal di sini.”
Sebelum Wuyan sempat menjawab, wajah lain muncul di sisi kirinya, mata merah menyala seperti bara.
“Aku yang menikmati darah pertama yang kau tumpahkan.”
Lalu wajah lain di kanan: “Aku yang menyesali setiap napas yang masih kau ambil.”
Semua berbicara bersamaan, suara mereka menumpuk menjadi dengungan panjang yang menusuk kepala.
Wuyan menutup telinganya, tapi suaranya justru terdengar dari dalam.
Bayangan di kejauhan hanya berkata pelan, “Inilah ritual yang sebenarnya. Bukan pemanggilan, bukan doa. Ini adalah pengakuan.”
Wuyan berlutut di antara arus perak itu.
“Kalau ini memang pengakuan, maka aku mengaku. Aku telah menolak kalian semua. Aku takut melihat apa yang aku simpan di balik setiap keputusan.”
Wajah-wajah itu berhenti berputar.
Satu demi satu, mereka mendekat, menempel di kulitnya, menembus seperti kabut dingin.
Dada Wuyan terasa sesak. Ia bisa merasakan sesuatu yang berat menekan dari dalam, seolah ribuan emosi yang dulu ia kubur kini menuntut tempatnya kembali.
“Apakah ini artinya aku akan lenyap?” tanyanya dengan suara hampir tak terdengar.
Suara tanpa wujud menjawab lembut, “Tidak lenyap. Hanya utuh.”
Ia menatap ke atas, ke arah cahaya samar di permukaan laut cair itu. Di atas sana, bentuk bayangan terlihat berdiri di altar, menatap ke bawah dengan mata kosong.
Bayangan itu—dirinya sendiri yang tertinggal di dunia luar.
“Kalau aku kembali, apakah dia masih aku?” gumamnya.
Suara di sekitar menjawab bersamaan, “Itu tergantung pada wajah mana yang kau bawa pulang.”
Tiba-tiba, sesuatu bergerak di bawahnya.
Gelombang besar muncul dari kedalaman, lebih pekat dan hitam daripada cairan perak lainnya. Dari pusaran itu muncul satu wajah berbeda—bukan perak, tapi gelap sempurna, seperti bayangan yang kehilangan cahaya.
Ia tidak memiliki mata, tidak memiliki mulut. Tapi dari keheningannya, Wuyan bisa merasakan tarikan kuat, dingin, seperti kehampaan yang ingin menelan segalanya.
“Apa kau…?” Wuyan tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya.
Suara yang muncul tidak berasal dari luar, tapi dari dalam dadanya sendiri.
“Aku kekosonganmu.”
Wajah itu bergerak, mendekat perlahan.
“Semua manusia punya batas. Ketika kau menerima setiap wajahmu, akan tersisa satu ruang kosong. Aku adalah ruang itu.”
Wuyan mencoba mundur, tapi arus laut menahannya.
“Kenapa aku takut padamu?”
“Karena aku tidak punya suara. Karena aku adalah saat kau berhenti menjadi siapa pun.”
Seketika permukaan laut bergetar keras. Wajah-wajah perak lainnya tampak menjerit tanpa suara, seolah menolak kehadiran yang satu itu. Bayangan di atas altar berteriak, tapi suaranya tertelan jarak.
Wuyan menatap wajah gelap itu, dan untuk pertama kalinya ia merasa tenang. Tidak ada ancaman, tidak ada rasa bersalah—hanya kehampaan murni.
Ia mengulurkan tangan. “Kalau kau bagian dariku, maka aku akan mengenalmu.”
Wajah tanpa mata itu berhenti sesaat, lalu meraih tangannya.
Begitu kulit mereka bersentuhan, seluruh laut berubah.
Cahaya perak meledak ke segala arah. Wajah-wajah lain memudar, larut menjadi serpihan cahaya yang terisap ke dalam tubuhnya. Wuyan berteriak tanpa suara, tubuhnya bergetar, dadanya terbakar. Ia bisa merasakan setiap emosi, setiap masa lalu, setiap ketakutan, semuanya menembus tulangnya.
Bayangan di atas altar jatuh berlutut, memandangi laut yang kini bersinar seperti cermin raksasa.
Dari dalam cairan itu, perlahan, sosok Wuyan muncul kembali—tapi kali ini berbeda. Matanya memantulkan warna abu-abu, dan di dalam pupilnya terdapat kilatan halus seperti riak air.
Ia berdiri di atas permukaan yang memantul lembut, langkahnya tidak menimbulkan suara.
Bayangan yang tersisa menatapnya dengan ngeri. “Apa yang kau lakukan, Wuyan?”
Ia menatap lurus. “Aku hanya melihat sampai dasar.”
Suara gemuruh pelan terdengar, seperti napas lembah yang panjang. Permukaan altar mulai menutup, perlahan berubah menjadi batu padat tanpa jejak cairan perak. Kabut di sekeliling kembali bergerak, tapi kini lebih tenang, seperti air setelah badai.
Wuyan memandang tangannya sendiri—di balik kulitnya tampak kilau samar, seperti logam yang hidup.
“Aku bisa mendengar mereka semua,” katanya pelan.
“Siapa?”
“Wajah-wajahku.”
Bayangan mendekat, tapi langkahnya goyah. “Itu bukan anugerah. Itu kutukan.”
“Tidak,” jawab Wuyan dengan suara datar. “Itu keutuhan.”
Ia berjalan meninggalkan altar. Setiap langkahnya menimbulkan riak samar di udara, seolah dunia menyesuaikan diri dengan keberadaannya yang baru. Dari kejauhan, terdengar gema yang datang dari lembah, suara seribu bisikan yang kini menyatu menjadi satu kalimat:
“Selamat datang di Laut Tanpa Dasar.”
Wuyan berhenti, menoleh sekali ke belakang. Permukaan altar kini benar-benar membeku, hanya menyisakan pantulan bulan di atasnya. Tapi di balik pantulan itu, sangat samar, ia masih bisa melihat sesuatu bergerak—sebuah bayangan gelap yang menatap balik ke arahnya dari kedalaman.
Ia tahu apa itu.
Ia tahu bahwa lautan itu belum selesai dengannya.
Namun untuk saat ini, ia melangkah pergi, membawa keheningan yang baru menempel di jiwanya.
Dan di kejauhan, suara lembah kembali berbisik, lembut tapi mengancam:
“Kini kau tahu berapa banyak dirimu yang harus tenggelam agar satu bisa hidup.”