Di sebuah kota di negara maju, hiduplah seorang play boy stadium akhir yang menikahi empat wanita dalam kurun waktu satu tahun. Dalam hidupnya hanya ada slogan hidup empat sehat lima sempurna dan wanita.
Kebiasaan buruk ini justru mendapatkan dukungan penuh dari kedua orang tuanya dan keluar besarnya, hingga suatu saat ia berencana untuk menikahi seorang gadis barbar dari kota tetangga, kebiasaan buruknya itu pun mendapatkan banyak cekaman dari gadis tersebut.
Akankah gadis itu berhasil dinikahi oleh play boy tingkat dewa ini? Ayo.... baca kelanjutan ceritanya.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Askararia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33
Erlina berjalan menaiki anak tangga dengan wajah kesal, dibelakangnya ada Laura yang berjalan pelan menaiki tangga dengan kakinya yang mulai membengkak, matanya lelah menahan ngantuk sementara dengan santai duduk bermain ponsel dibawah sana bersama ayah mertuanya.
Tepat ditengah anak tangga, Putri muncul dari pintu sembari membawa sebuah koper berukuran besar ditangannya.
"Hai!" Sapanya.
Laura, Erlina, Agus dan Austin menoleh bersamaan pada gadis itu, Putri melenggang ke dalam rumah sambil melambaikan tangannya seperti seorang model.
"Siapa dia, Ma?" Tanya Laura pada Erlina.
"Dia teman masa kecil Austin, selama ini dia tinggal di luar negeri, dia pulang saat kamu datang kerumah ini membawa kabar kehamilan mu!" Jawab Erlina ketus.
Laura menatap tajam pada Putri, sebaliknya, Putri memutar bola matanya dengan malas, tak memperdulikan keberadaan Laura di rumah itu.
"Put, untuk apa koper itu?" Tanya Agus.
"Putri mau tinggal disini, Tante yang suruh!" Jawab Putri.
Tentu Laura kesal, ia menaikkan sudut hidungnya lantaran ibu mertuanya mengundang orang lain kedalam rumah itu, yang mana orang tersebut merupakan teman masa kecil suaminya. Laura beranjak lebih cepat menaiki anak tangga dan melewati ibu mertuanya begitu saja.
"Kamarnya yang ditengah, kamar yang paling ujung mau ditempati sama Putri!" Ucap Erlina.
Lagi dan lagi Laura mendengus kesal, ia membuka ketiga pintu kamar itu dan membandingkannya, Erlina yang mulai kesal pada Laura tak ingin berlama-lama bersamanya di lantai dua.
"Putri, cepat naik, biarkan Austin yang membawa koper mu!"
"Hah? Kok Austin, Mah? Kan ada pembantu, ada tukang kebun juga, kenapa harus aku? Kakiku sakit, Put, kamu naik sendiri aja!"
"Austin, cepat bawa kopernya, jangan banyak alasan!" Titah Erlina lagi.
Austin hanya menurut, ia menyeret kakinya yang bengkak beserta koper milik Putri menaiki tangga, Laura masih berdiri diambang pintu kamar kedua yang terdekat dari tangga.
"Ma, aku mau tidur sendiri!" Ucap Laura.
"Kamu tidur sama Austin aja, nggak ada kamar kosong disini!"
"Kamar yang satu ini, bukannya kamar ini kosong?" Tanya Laura menunjuk kamar di sebelahnya sedangkan Putri terus berjalan melewatinya tanpa rasa canggung sedikitpun.
"Huuuufff!"
"Laura, kalau kamu mau tinggal sendiri, kenapa kamu tidak tinggal saja di rumah yang sudah saya berikan? Ingat, ya, kamu boleh tinggal dirumah ini hanya sampai kamu melahirkan anak di perut mu, setelah itu cerai dengan anak saya dan angkat kaki dari sini!"
Laura terkejut bukan main.
"Apa?"
"Maksud Mama apa?" Tanya Laura tak terima diperlakukan seperti oleh kasar oleh ibu mertuanya, ia menoleh pada suaminya yang hanya diam menatapnya tajam.
"Austin! Apa-apaan ini? Kamu mau menceraikan aku, Ibu dari anak-anakmu demi wanita ini? Demi dia?" Jerit Laura kesal yang tak dapat menahan air matanya, wajahnya memerah basah, telunjuknya condong kearah Putri.
"Upsss, sepertinya kakak ipar salah paham dengan ku, aku dan Austin sudah seperti saudara, aku bahkan memanggilnya Kakak, sesekali. Lagipula kehadiranku di rumah ini bukan tanpa alasan, aku.... "
"Iya, bukan tanpa alasan dan alasannya itu adalah kamu akan menikah dengannya setelah kami bercerai? Iya?"
"Laura!" Ucap Austin cepat, ia tak ingin Laura kembali melanjutkan perkataannya terlebih saat istrinya tersebut mulai berbicara dengan nada tinggi.
Erlina segera menarik koper milik Putri dan membawa gadis itu ikut serta ke kamar paling ujung, ia tersenyum pada Putri lalu menutup pintu kamar tersebut setelah gadis itu membawa kopernya kedalam.
"Kamar ini akan digunakan oleh Nadia!" Ucap Erlina menunjuk kamar pertama, tepat disamping kamar Austin dan Laura.
"Apa? Nadia?" Tanya Laura menaikkan kedua alisnya.
"Kenapa? Kamu begitu terkejut, bukannya kamu dan Nadia berteman dekat? Saya rasa kalian akan lebih dekat lagi nantinya!"
"Maaaa!"
"Sudah cukuppp, Ma, Laura, sudah.... , malu didengar sama pembantu. Ayo masukkkk!" Bentak Austin yang pada akhirnya menarik tangan Laura memasuki kamar.
"Heummmm, jadi gundik kok takut diselingkuhi!" Batin Erlina kesal, segera berjalan menuruni anak tangga sementara anak dan menantunya masih berdebat didalam kamar.
"Bagus, sebentar lagi mereka akan bercerai. Ini kesempatan ku untuk mencuri hati Tante Erlina dan Om Agus, aku hanya ingin menjadi istri orang terkaya di kota ini. Mau jadi pelakor pun tidak masalah bagiku, ini namanya bertahan hidup!" Ucap Putri yang tidak tahu malu.
Putri mulai menyusun barang-barang miliknya kedalam lemari dan beberapa meja kecil sebagian tempat penyimpanan alat make up dan skincare miliknya. Dari balik tembok tak kedap suara itu mendengar perdebatan Laura dan Austin.
"Sayang, Mama hanya bercanda. Lagipula Putri itu sudah aku anggap adik sendiri, dan untuk Nadia, aku bahkan tidak tahu apa kami masih berpacaran atau tidak!" Ucap Austin mencoba menenangkan istrinya yang uring-uringan.
"Omong kosong, Austin. Kalau kamu sudah menikah seharusnya hubungan mu dan Nadia sudah berakhir, jadi untuk apa kamu bicara seperti itu?"
"Lalu kamu mau aku bicara bagaimana? Kamu tahu sendiri kalau aku sangat mencintai Nadia dan.... "
"Itu obsesi, Austin. Bukan cinta, cinta itu ketika kamu merasakan nafsu didekat lawan jenismu, seperti yang terjadi antara aku dan kamu, bukan seperti kamu dan Nadia, sudah pacaran dua tahun tapi belum pernah berhubungan badan!"
"Haaaaaa?" Gumam Laura dari kamarnya, ia menutup mulutnya dengan kedua tangannya, sambil bergaya centil ia berlari kecil keatas kasurnya.
"Oh my god, pembicaraan mereka.... sedikit.... vulgar, oh my god!" Ucapnya memegangi kepalanya.
"Lagipula, wanita seperti apa Nadia ini? Kulihat dia biasa-biasa saja, dua pasti bukan dari keluarga terpandang juga. Tapi, kenapa Austin dan Tante Erlina sangat menyukainya? Apa akhlaknya lebih baik dari ku? Atau apa pendidikannya lebih tinggi dariku? Atau..... "
"Hahhhhh, apa jangan-jangan dia pakai pelet!" Ucap Putri menebak-nebak dan berbicara pada dirinya sendiri didalam kamar.
"Huuuuuacciuuuuu!"
Nadia mengusap pucuk hidungnya, sejak tadi ia bersin serta telinganya selalu berdenging. Harry mengelus pelan belakang punggung istrinya tersebut, dengan sigap membawa kantong belanjaannya agar istrinya tak kelelahan.
"Huuuuaaaciuuuu!"
"Ada apa denganku? Aku tidak flu, tapi kenapa aku selalu bersin?" Tanya Nadia pada Harry.
"Mungkin ada yang sedang membicarakan mu, sayang!"
"Benarkah?" Tanya Nadia sembari mengikuti langkah Harry yang berjalan keluar dari supermarket.
Rani terus memperhatikan keduanya, entah mengapa ia merasa ada yang aneh pada dirinya saat ia menatap wajah Harry, seolah ada perasaan rindu yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata. Gerak-gerik lelaki itu tampak familiar baginya, ia mengedipkan matanya beberapa kali, semakin lama semakin jauh Harry melangkah merangkul Nadia yang berjalan disampingnya, dan semakin Rani merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya.
"Kenapa aku sedih saat melihat lelaki itu?" Tanyanya kebingungan sembari memegangi dadanya yang terasa sakit.
Ditengah perjalanan kembali ke apartment, Harry dan Nadia berbincang bersama, gadis itu menatap lekat pada suaminya yang selalu saja memasang wajah tersenyum.
"Harry!" Panggilnya.
"Iya!"
"Boleh aku bertanya sesuatu?" Tanya Nadia lagi.
"Boleh dong, mau tanya apa? Tanyakan saja padaku, akan ku jawab dengan benar!"
Nadia menghentikan langkahnya, spontan suaminya juga berhenti melangkah mengikuti istrinya, ingatan Nadia berputar pada hari dimana ia datang kerumah kost Harry untuk membantu memindahkan barang ke apartment, tak sengaja gadis ini melihat sebuah amplop di tempat sampah, tanpa sepengetahuannya Harry ia membuka amplop yang tampak kusut itu dan membaca isinya. Nadia tak langsung bertanya punya siapa dan dari siapa surat yang menyuruh pulang tersebut, dan tampaknya Nadia terus memikirkan surat itu, ia takut jika ternyata Harry melakukan hal yang sama dengan Austin, mungkin memiliki keluarga kecil atau mungkin pacar yang membutuhkan kepastian.
"Aku bertanya hanya ingin memastikan kalau kau hanya milikku seorang!" Ucapnya dijawab anggukan oleh Harry meski laki-laki itu tampak kebingungan.
"Surat siapa yang ada di tempat sampah kemarin? Surat di tempah sampahmu di kost, dari siapa itu?"
Deggggg
Mendadak Harry mematung, ia tak menyangka kalau istrinya akan menemukan surat di tong sampah itu.
"Astaga, aku lupa surat itu!" Batinnya.
"Atu mungkin, orang tuamu yang memintamu pulang? Katakan padaku Harry, adakah sesuatu yang belum kamu beritahu padaku?"
Mata Nadia terus menatap lekat kearahnya, dapat ia rasakan kalau suaminya sedang ketakutan, entah ia menyembunyikan sesuatu tentang pemilik surat itu atau ia menyembunyikan sesuatu tentang dirinya.