Feni sangat cemas karena menemukan artikel berita terkait kecelakaan orang tuanya dulu. apakah ia dan kekasihnya akan kembali mendapatkan masalah atau keluarganya, karena Rima sang ipar mencoba menyelidiki kasus yang sudah Andre coba kubur.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sabana01, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penjara yang Nyaman
Kesadaran datang perlahan, seperti seseorang yang ragu ingin kembali ke dunia nyata.
Feni membuka mata dengan napas tertahan. Bukan karena sakit—melainkan karena keheningan yang terlalu rapi. Udara terasa sejuk, bersih, nyaris steril. Tidak ada bau bensin, tidak ada suara mesin, tidak ada tangan kasar.
Ia menoleh.
Langit-langit putih. Lampu temaram. Tirai krem bergerak pelan tertiup angin dari jendela yang sedikit terbuka. Ini bukan kamar penahanan. Ini kamar tamu.
Dan itu justru yang membuat dadanya sesak.
Feni bangkit perlahan. Tubuhnya lemah, tapi tidak dilukai. Tangannya bebas. Tidak terikat. Tidak diborgol.
“Bangun?”
Suara itu datang dari sudut ruangan.
Feni menoleh tajam.
Seorang pria duduk santai di kursi, kemeja gelapnya rapi, lengan digulung. Wajah itu—wajah yang pernah ia lihat dalam foto intelijen, laporan operasi, dan satu malam panjang di Bali.
“Roni,” ucap Feni lirih.
Pria itu mengangguk. Tidak tersenyum. Tidak menyangkal.
“Aku tahu kamu akan mengenaliku.”
Feni menelan ludah. “Kamu buronan. Kamu—”
“Aku orang yang menarikmu keluar sebelum Wisnubroto memastikan kamu tidak pernah kembali,” potong Roni tenang.
Nama itu membuat jantung Feni mencelos.
“Wisnubroto sudah mati.”
“Iya,” jawab Roni. “Dan kematiannya tidak menghentikan orang-orangnya.”
Hening jatuh di antara mereka.
Feni menguatkan diri. “Kamu tahu aku siapa.”
Roni berdiri, melangkah mendekat beberapa langkah, lalu berhenti—memberi jarak yang disengaja.
“Aku tahu kamu Feni. Aku tahu kamu kekasih Erlang. Dari dulu.”
Kalimat itu menghantam lebih keras dari ancaman.
“Kalau begitu kenapa kamu melakukan ini?” suara Feni bergetar. “Kamu menculikku.”
Roni menghela napas, panjang dan berat.
“Aku memindahkanmu dari garis tembak.”
“Dengan mencabutku dari hidupku?”
“Kamu hidup,” jawab Roni pelan. “Itu yang terpenting.”
Feni tertawa kecil, getir. “Ini penjara.”
“Penjara yang tidak akan menyentuhmu,” sahut Roni. “Tidak akan menyakitimu. Tidak akan memaksamu.”
Ia menatap Feni dengan mata yang terlalu jujur untuk seorang kriminal.
“Aku menyukaimu. Tapi aku tidak akan jadi monster di hidupmu.”
Kata-kata itu membuat Feni ingin muntah dan menangis bersamaan.
“Kamu menyukaiku saat aku bersama Erlang?” tanyanya dingin.
“Iya,” jawab Roni tanpa ragu. “Dan justru itu yang membuatku tahu batas.”
Feni terdiam.
“Ayah angkatku, Marko,” lanjut Roni, suaranya mengeras samar, “memberi perintah untuk menjadikanmu ‘jaminan’. Untuk menekan Erlang. Aku membunuhnya malam itu juga.”
Dada Feni sesak. “Kamu membunuhnya… demi aku?”
“Demi kamu tetap bernapas,” jawab Roni. “Dan demi aku tidak kehilangan satu-satunya hal yang membuatku merasa manusia.”
Keheningan kembali mengisi ruangan.
“Erlang akan mencariku,” kata Feni akhirnya, suaranya gemetar tapi tegas.
Roni mengangguk. “Aku tahu.”
“Dan kalau dia datang?”
“Aku tidak berniat membunuhnya,” jawab Roni jujur. “Tapi aku juga tidak bisa menyerahkanmu begitu saja pada dunia yang masih ingin menelanmu.”
Roni melangkah ke pintu.
“Kamu bebas di dalam rumah ini. Makan. Tidur. Pulih. Tapi kamu belum bisa pergi.”
Pintu tertutup pelan.
Feni berdiri sendirian di kamar itu.
Tidak ada jeruji.
Tidak ada rantai.
Namun setiap langkah terasa seperti berjalan di dalam sangkar tak terlihat.
Ia duduk di sofa, memeluk lutut. Di kepalanya, wajah Erlang muncul—tatapan cemasnya, pelukannya, janji yang belum sempat ditepati.
“Aku masih hidup,” bisiknya pelan.
“Tapi aku hilang.”
Di lantai atas, Roni berdiri di balik kaca, menatap malam.
Ia tahu satu hal dengan pasti—
Ia telah mencuri seseorang dari pria lain.
Dan cepat atau lambat, harga dari pilihan itu akan ditagih.
...****************...