NovelToon NovelToon
Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Palasik Hantu Kepala Tanpa Tubuh

Status: sedang berlangsung
Genre:Horor / Misteri / Iblis / Kutukan / Hantu / Tumbal
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: iwax asin

Sebuah dusun tua di Sumatra Barat menyimpan kutukan lama: Palasik, makhluk mengerikan berupa kepala tanpa tubuh dengan usus menjuntai, yang hanya muncul di malam hari untuk menyerap darah bayi dan memakan janin dalam kandungan. Kutukan ini ternyata bukan hanya legenda, dan seseorang harus menyelami masa lalu berdarah keluarganya untuk menghentikan siklus teror yang telah berumur ratusan tahun.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon iwax asin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 27 – Basiak Hitam di Ujung Batang

Fajar menyingsing lambat di Kampuang Binuang. Kabut masih menempel di pucuk-pucuk daun, dan embun menetes dari ujung ilalang. Di rumah Mak Ita, suara kayu terbakar di dapur jadi satu-satunya bunyi yang memecah sunyi.

Bahri duduk di bangku kecil, menggenggam cangkir teh yang mulai dingin. Di hadapannya, Mak Ita sedang menumbuk daun sirih dan kapur dalam lesung batu.

“Kau dengar tentang batang tua di ladang Pak Ujang?” tanya Mak Ita tiba-tiba.

Bahri mengangguk. “Batang karet besar yang tumbang sendiri semalam?”

Mak Ita memandangnya lama. “Ada basiak hitam tergantung di ujungnya. Tak ada yang tahu dari mana asalnya.”

Bahri merenung. Basiak—selendang tradisional hitam—biasanya hanya dipakai perempuan tua saat berkabung. Tapi jika tiba-tiba muncul tergantung di batang pohon, apalagi di ladang kosong, itu pertanda buruk.

Ucup muncul sambil membawa kue lapek bugih. “Kalau basiaknya warna merah, itu baru serem. Tapi hitam? Hitam itu elegan.”

Ajo menyambung, “Hitam itu... artinya sudah tamat. Bukan permulaan.”

Reno masuk dari pintu belakang dengan wajah pucat. “Aku baru dari ladang Pak Ujang. Di bawah batang itu... ada bekas tapak kaki kecil. Banyak. Kayak anak-anak yang nari di lumpur.”

Bahri langsung berdiri. “Kita ke sana. Bawa air sirih, bawang putih, dan daun pisang kering.”

Ladang Pak Ujang terletak di sisi selatan kampung, agak tersembunyi dan jarang dikunjungi sejak panen terakhir. Saat mereka tiba, batang karet tua yang tumbang itu tampak besar dan menjalar seperti ular tidur. Dan benar saja, di ujung batang tergantung basiak hitam yang bergerak meski angin tak bertiup.

Ucup menelan ludah. “Kenapa kainnya kayak napas, ya?”

Reno menunjuk tanah di sekitar. Bekas telapak kaki anak kecil tampak berjejak tak beraturan. Beberapa tertumpuk, sebagian lagi mengarah ke hutan kecil di belakang ladang.

Bahri berlutut, menyentuh tanah. “Ini bukan anak-anak biasa. Ini... jejak Batang Angek.”

Ajo mengerutkan kening. “Apa itu Batang Angek?”

“Makhluk kecil, katanya anak dari dunia seberang. Mereka bermain dan menari di tempat-tempat bekas kematian. Dulu di sini ada rumah tua, tempat keluarga meninggal karena wabah. Tak sempat dikubur layak. Tanah ini haus...”

Mereka mendekati batang. Saat Bahri hendak menyentuh basiak, suara tawa kecil terdengar. Suara itu bukan dari satu anak, tapi banyak. Seperti barisan anak-anak yang sedang bermain petak umpet.

Tiba-tiba, Ucup terlonjak.

“Ada yang pegang tanganku!”

Tangannya seperti ditarik ke bawah tanah. Reno dan Ajo sigap membantu menarik Ucup. Dari balik rerumputan, muncul sosok anak-anak kecil, pucat, mata hitam bulat, dan tanpa suara. Mereka hanya berdiri memandang.

“Jangan panik,” ujar Bahri pelan. “Mereka belum marah. Mereka cuma mau didengar.”

Mak Tundun tiba-tiba muncul dari semak, dibantu oleh Pak Lebai.

“Kita adakan selamatan kecil. Mereka hanya ingin dikenang. Tak pernah ada tahlilan untuk tanah ini. Tak pernah ada doa. Itu sebabnya mereka menari... menangis... menunggu.”

Menjelang sore, di bawah batang karet itu, warga kampung berkumpul. Bambu dipasang, makanan tradisional disusun di atas tampah. Pak Lebai memimpin doa, Mak Tundun menaburkan bunga dan minyak wangi.

Saat doa selesai, angin kencang bertiup dari arah barat. Basiak hitam terlepas dari batang dan melayang pelan ke tanah, jatuh tepat di depan Bahri.

Dari balik pohon, anak-anak kecil tadi terlihat perlahan berjalan mundur, lalu menghilang satu per satu. Tak ada tangis, tak ada suara.

“Apa itu... berarti mereka sudah tenang?” tanya Reno.

Mak Tundun mengangguk. “Tapi jangan pernah abaikan tempat bekas duka. Tanah menyimpan cerita. Kalau tak diberi hormat, cerita itu akan kembali minta didengar.”

Ucup menghela napas. “Kenapa ya, kampung kita ini banyak banget ceritanya?”

Ajo nyengir. “Ya, karena kita hidup di tempat yang masih percaya bahwa yang tak tampak... tetap ada.”

Bahri melipat basiak hitam dan memasukkannya ke dalam kain putih.

“Kita simpan di surau. Biar jadi pengingat bahwa ada luka lama yang pernah kita abaikan.”

Sementara langit mulai bersih, dan sinar mentari kembali menembus sela daun. Tapi satu hal pasti—Kampuang Binuang belum selesai bercerita.

Langit sore di Kampuang Binuang tampak ganjil. Awan menggulung perlahan seperti asap kemenyan, dan angin bertiup dari arah selatan—arah yang tak biasa bagi para petani. Di bawah langit kelabu itu, sekelompok anak-anak sedang bermain gundu tak jauh dari lubuk kecil di tepi hutan.

Tiba-tiba, salah satu dari mereka, Jaki, berhenti bermain. Wajahnya menegang.

“Eh, kalian denger gak?” bisiknya pelan.

“Denger apaan?” tanya temannya.

“Suara nyanyi... dari lubuk...”

Mereka semua mematung. Suara perempuan, halus dan mendayu, seperti sedang menyanyikan lagu dodoian lama, terdengar dari arah Lubuk Banyu Mati. Tempat itu sudah lama tak dikunjungi. Konon, airnya pernah menjadi tempat memandikan mayat yang tak dikenal, dan sejak itu, lubuk tersebut berhenti mengalir.

Kabar itu cepat menyebar ke seluruh kampung. Mak Ita langsung melapor pada Bahri.

“Aku tahu ini bukan suara sembarangan, Ri. Lagu itu... hanya dinyanyikan waktu mengantar arwah ke batas antara dunia dan alam baka.”

Bahri, Reno, Ajo, dan Ucup segera bergerak ke arah lubuk. Mereka membawa perlengkapan seperti biasa: kendi sirih, dupa, daun pandan, dan garam.

Ucup menggandeng senter, walau masih sore. “Nggak tahu kenapa ya... makin ke lubuk ini makin merinding, padahal matahari masih ada.”

Reno berjalan paling depan. “Kau bukan merinding, Cup. Kau takut.”

“Ya iya lah! Kalau bisa lari duluan, aku juga lari!”

Lubuk Banyu Mati terletak di cekungan tanah di tengah hutan kecil. Airnya diam, tak beriak, bahkan daun yang jatuh ke permukaan pun tidak menimbulkan gelombang. Di tepinya, berdiri sebuah batu besar berlumut, mirip kepala kerbau.

Bahri menunduk, mengamati permukaan air. “Tenang... terlalu tenang.”

Dari arah semak, muncul bayangan perempuan dengan rambut panjang dan selendang putih. Ia berdiri di seberang lubuk, menatap mereka tanpa berkedip. Wajahnya pucat dan matanya seperti kosong, tapi bibirnya terus menyanyikan lagu dodoian yang sama.

“Dia tak bisa lepas,” gumam Bahri. “Dia butuh penjemput.”

Mak Tundun yang datang belakangan membawa sebuah keranjang kecil berisi bunga dan jarik tua.

“Namanya Midah. Dulu ia dipaksa menjadi istri oleh seorang dukun tua dari kampung seberang. Tapi ia lari dan bunuh diri di lubuk ini. Tak ada yang jemput mayatnya. Tak ada yang mengenalinya. Sejak itu, lubuk ini tak pernah mengalir lagi.”

Ucup mendesah pelan. “Selalu aja cerita tragis. Nggak ada yang ceria gitu kayak... hantu pesta ulang tahun?”

Ajo menyikut lengan Ucup. “Fokus, Cup. Ini bukan saatnya bercanda.”

Bahri menyuruh Reno meletakkan dupa di empat sudut lubuk, lalu mulai membacakan mantra pelindung. Mak Tundun menaburkan bunga ke air.

Midah tak bergerak. Tapi lagu yang ia nyanyikan mulai berubah nada. Dari sendu menjadi putus asa. Dari pelan menjadi parau. Rambutnya perlahan jatuh ke depan, dan ia berjalan di atas air seperti tak menyentuh tanah.

“Jangan biarkan dia melewati tengah lubuk!” teriak Mak Tundun. “Kalau dia sampai ke tengah, air ini akan kembali mengalir... tapi membawa arwah-arwah lain bersamanya!”

Bahri melempar segenggam garam ke permukaan air. Ucup membakar daun pandan, sementara Ajo mengangkat jarik tua dan melemparkannya ke arah Midah.

Jarik itu melayang dan menyelimuti tubuh Midah. Ia berhenti melangkah. Kepalanya menunduk, dan suara tangis terdengar.

“Aku... hanya ingin dikenang... bukan dihapus...”

Bahri melangkah ke depan. “Kau akan dikenang, Midah. Tapi jangan biarkan luka lama membanjiri kampung ini.”

Midah perlahan menghilang dalam kabut tipis yang muncul dari lubuk. Air kembali tenang. Kali ini, setetes demi setetes, permukaan lubuk mulai beriak. Pohon-pohon bergetar pelan. Udara berubah lebih hangat.

Lubuk Banyu Mati hidup kembali.

Malamnya, di surau kampung, warga mengadakan doa bersama. Nama Midah disebutkan dalam tahlil, dan kain jarik tua disimpan di dinding surau sebagai tanda bahwa arwahnya telah diterima.

Reno menatap air kopi yang sudah dingin. “Kita sudah bantu satu lagi... tapi kenapa aku rasa... makin lama makin dekat dengan sesuatu yang besar?”

Bahri menatap langit. “Karena Palasik masih menunggu di balik batas. Semua arwah yang tak tenang adalah pintu. Semakin banyak pintu dibuka... semakin dekat ia bisa melangkah.”

Ucup berdiri cepat. “Besok kita tutup semua pintu. Biar dia nggak bisa masuk. Aku tutup pakai lem, pakai kayu, pakai... apa aja!”

Ajo tertawa. “Kalau pintunya ada di alam gaib, lem gak cukup, Cup.”

Mereka semua tertawa kecil. Tapi suara tawa itu segera dibungkam oleh desir angin malam yang membawa suara-suara aneh dari arah ladang. Suara seperti kuku yang menggaruk tanah.

Bahri menoleh cepat. “Kalian dengar itu?”

Reno mengangguk. “Itu... bukan suara biasa.”

Dan mereka tahu, kisah Palasik belum selesai.

1
Hesti Bahariawati
tegang
Yuli a
mereka ini bercandaan mulu ih...

biar nggak tegang kali ya... kan bahaya...😂😂
Yuli a
ada ya.... club anti miskin.... jadi pingin ikutan deh...🤭🤭
Yuli a
mampir kesini rekom KK @Siti H katanya penulisannya tertata rapi dan baik...
semangat Thor... semoga sukse...
Siti H
Semoga Sukses Thor. penulisanmu cukup baik dan tatabahasa yang indah.
Yuli a: atau karma ajian jaran goyang sih...🤔
Siti H: tapi sekilas doang... cuma jadi Pemeran viguran, klau gak salah di gasiang tengkorak🤣
total 5 replies
Siti Yatmi
ajo JD bikin suasana ga seremmm
Siti Yatmi
wk2 ajo ada2 aja...org lg tegang juga
Siti Yatmi
ih....takut....
Yuli a: ih... takut apa...?
total 1 replies
Siti Yatmi
baru mulai baca eh, udah serem aja..wk2
Yuli a: 👻👻👻👻👻👻
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!