Sharon tidak mengerti mengapa takdir hidupnya begitu rumit. Kekasihnya berselingkuh dengan seseorang yang sudah merenggut segalanya dari dirinya dan ibunya. Lalu ia pun harus bertemu dengan laki-laki kejam dan melewatkan malam panas dengannya. Malam panas yang akhirnya makin meluluhlantakkan kehidupannya.
"Ambil ini! Anggap ini sebagai pengganti untuk malam tadi dan jangan muncul lagi di hadapanku."
"Aku tidak membutuhkan uangmu, berengsekkk!"
Namun bagaimana bila akhirnya Sharon mengandung anak dari laki-laki yang ternyata seorang Cassanova tersebut?
Haruskah ia memberitahukannya pada laki-laki kejam tersebut atau menyembunyikannya?
Temukan jawabannya hanya di BENIH SANG CASSANOVA 2.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Bab 33. Langkah pertama
Di kantor pusat LXR Holdings, suasana yang biasanya tenang mendadak berubah tegang. Suara hak sepatu berderap cepat di lorong panjang lantai atas, disusul bentakan nyaring dari suara wanita yang sudah dikenal banyak staf sebagai seseorang yang tidak pernah suka kejutan—apalagi yang tidak sesuai keinginannya.
“Maksud kalian apa bilang Leon tidak ada di kantor?!” bentak Meylania, dengan mata melebar dan wajah merah padam menahan amarah.
Sekretaris Leon menelan ludah gugup. “Iya, Nyonya. Tadi pagi Pak Leon tidak masuk seperti biasa. Kami kira beliau hanya bekerja dari rumah. Kami tidak ada informasi apa pun tentang Pak Leon, Nyonya. Apalagi Pak Eric juga tidak datang."
“Lalu kenapa kalian diam saja?!” sentak Meylania tajam.
Lalu salah satu staf IT maju.
“Maaf, Nyonya, kami barusan dapat info dari bagian transportasi kalau Pak Leon—”
“Apa? Katakan cepat!” bentak Meylania, semakin tidak sabar.
“Pak Leon sudah berangkat ke Yogyakarta sejak pagi kemarin dengan pesawat pribadinya.”
Meylania menegang. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya. “Apa? Yogyakarta? Untuk apa dia ke sana?” Suaranya lebih pelan, tapi penuh tekanan.
“Maaf, Nyonya. Kami belum tahu. Tidak ada agenda dinas ke sana. Tidak ada jadwal pertemuan dengan investor ataupun klien.”
Meylania mencengkeram gagang pintu ruang rapat. Ia mengerang frustrasi. Dalam hati, ia tahu, ini bukan perjalanan bisnis biasa. Namun, apa alasannya, Meylania pun tidak tahu. Ia hanya bisa menggeram kesal. Apalagi mengingat waktu yang Djaya berikan tinggal dua hari lagi.
...***...
Siang harinya, Eric duduk di dalam mobil yang diparkir di bawah pohon rindang, menatap layar laptopnya yang menyala dengan file berisi data penting. Ia tersenyum kecil.
“Dapat,” gumamnya lega.
Di layar, tertera nama sekolah dasar tempat Xaviera dan Xaviero belajar. Xaviera dan Xaviero anak yang cerdas. Ia sudah sekolah paud pada usia 3 tahun dan TK pada usia 4 tahun. Karena kecerdasannya yang bukan hanya sudah pandai membaca, menulis, bahkan perkalian, dan bahasa Inggris, Sharon pun langsung mendaftarkan keduanya ke SD swasta.
Eric juga mendapatkan alamat rumah yang terdaftar atas nama Sharon. Dan yang paling mengejutkan bagi Eric, pekerjaan Sharon kini adalah manajer restoran Italia yang pernah jadi tempat Dirga, temannya dulu, bekerja yang juga sebagai manajer.
"Kenapa Dirga nggak bilang sudah nggak kerja di sana lagi?" gumam Eric sedikit penasaran.
Eric segera menelepon Leon di kamarnya.
“Ric?” Suara Leon terdengar penuh harap.
“Aku sudah tahu di mana mereka sekolah, di mana Sharon bekerja, dan di mana mereka tinggal.”
Di seberang, Leon tak langsung menjawab. Napasnya terdengar tercekat, seperti menahan haru yang membuncah.
“Aku akan kirim semuanya ke emailmu."
Leon tertawa pelan, suara yang terdengar jauh lebih hidup daripada beberapa hari lalu. “Kalau begitu, aku harus segera bertindak.”
...***...
Sore itu, di sebuah kamar hotel yang ia sewa sementara, Leon berdiri di depan jendela, memandangi lalu lintas yang terlihat ramai, tapi tidak sepadat lalu lintas di kota Jakarta. Matanya menerawang, memikirkan langkah apa yang harus ia laksanakan pertama kali.
“Eric, aku ingin membeli rumah di kompleks yang sama dengan Sharon. Dan mobil yang bisa kupakai untuk antar jemput anak-anak ke sekolah. Tapi aku belum akan mendekati mereka secara langsung. Biar pelan-pelan … sampai aku yakin dan memastikan semua ingatanku kembali," ucap Leon.
Eric yang duduk sambil memerhatikan Leon menatap sahabatnya itu kagum. “Kau yakin nggak mau langsung menemui mereka?”
Leon menggeleng. “Aku ingin muncul bukan sebagai bayangan masa lalu, tapi sebagai ayah mereka yang sesungguhnya. Aku ingin mengenal mereka lebih dulu … dan memastikan Sharon tak merasa aku datang hanya karena emosi sesaat.”
Eric tersenyum dan mengangguk mantap. “Baiklah. Kalau begitu, kita mulai dari sini. Kita bangun kembali yang sudah hancur.”
Leon menatap keluar jendela lagi. Kali ini, senyumnya lebar dan matanya menatap jauh.
Ia akhirnya merasa punya arah. Dan untuk pertama kalinya dalam enam tahun terakhir, hidupnya terasa utuh.
...***...
Mobil sedan abu-abu milik Dion berhenti di depan rumah besar bergaya semi-klasik yang asri dan rapi. Taman di halaman depan dipenuhi bunga bugenvil dan anggrek yang menggantung, memberi kesan teduh dan bersahabat. Sharon turun sambil menggandeng tangan Xaviera dan Xaviero yang terlihat rapi dan antusias. Mereka senang diajak makan malam, apalagi jika ada makanan enak menanti.
Namun, hati Sharon justru berdebar tidak karuan. Ia sudah menyiapkan mental untuk bertemu ibu Dion, Bu Alda, tapi tidak menyangka bahwa sejak pagi pikirannya masih saja dipenuhi oleh pertanyaan anak-anaknya soal sosok sang ayah. Ditambah lagi, ada bayang samar yang tak mau pergi dari hati dan pikirannya—Leon.
Dion menoleh dan tersenyum. “Tenang saja. Mama orang yang hangat. Kamu akan nyaman di sana.” Memang mereka sudah dua kali bertemu. Namun, saat itu mereka hanya sekadar bertemu di restoran dan Dion memperkenalkannya untuk pertama kali di sana. Sharon tahu, Alda orang yang baik. Terbukti saat Dion hendak ke rumahnya, Alda akan menitipkan makanan untuk putra dan putrinya.
Sharon hanya mengangguk, meski kegelisahannya belum juga surut.
Begitu pintu dibuka, aroma masakan rumahan langsung menyambut mereka. Alda, wanita paruh baya dengan wajah ramah dan busana sederhana tapi elegan, langsung menyambut Sharon dengan senyum hangat.
“Aduh, akhirnya kalian datang juga. Tante senang sekali,” katanya riang. “Dan ini pasti Xaviera dan Xaviero! Astaga … kalian manis sekali!”
Xaviera malu-malu tersenyum sementara Xaviero langsung menyodorkan tangan kecilnya. “Halo, Nenek.”
"Halo juga." Alda tertawa dan mencium kedua pipi mereka dengan hangat. “Masuk yuk, makanannya sudah siap.”
Namun, begitu mereka masuk ke ruang makan yang luas dengan pencahayaan hangat dan dekorasi elegan, langkah Sharon tiba-tiba terhenti.
Di sana—di sisi kanan meja makan—duduk Dirga, pria dengan senyum lebar dan mata berbinar melihat kedatangannya. Tepat di sebelahnya, duduk Nadine–adik Dion, yang tampak tidak terlalu senang melihat Sharon masuk ke ruangan.
“Sharon?” sapa Dirga begitu antusias. “Wah, akhirnya ketemu lagi. Lama banget, ya!”
Sharon tersenyum kaku. “Iya … Dirga. Lama sekali.”
"Wah, ternyata kalian saling kenal ya? Oh, iya, dulu kan Dirga yang memegang Lumiere. Berarti dulu Sharon bawahan Dirga, ya?"
"Iya, Ma. Dulu Sharon jadi asistenku." Dirga menjawab sumringah.
Nadine hanya menoleh singkat dan menggumam pelan. “Kenapa dia ada di sini sih?" gumam Nadine kesal.
Alda yang yang tanpa sengaja mendengar perkataan Nadine pun menoleh. “Nadine, kamu kenapa? Kenapa kamu ngomong begitu?"
Nadine berdecak. Ia rasanya ingin segera protes, tetapi ia tahu kalau sampai Dirga mendengarnya, pasti ia akan marah kepadanya. "Nggak papa," kilah Nadine.
Dion menarik kursi untuk Sharon. “Kita duduk, yuk. Anak-anak pasti lapar.”
Xaviera dan Xaviero sudah duduk manis di samping Dion, sibuk memilih lauk. Sharon tersenyum melihat kedekatan mereka dengan Dion. Namun pandangan Dirga yang tak lepas dari dirinya membuatnya sedikit risih.
“Anak-anak kamu sudah besar, ya. Nggak nyangka, waktu begitu cepat berlalu."
"Iya. Namanya juga sudah 6 tahun berlalu."
Nadine memutar bola matanya jengah. Ia kesal karena atensi Dirga kini justru terpusat pada Sharon dan anak-anaknya dan Alda melihat itu.
Tak lama kemudian, seorang pria paruh baya muncul dengan wajah tenangnya. Namun, langkahnya tiba-tiba terhenti saat melihat wajah Xaviera dan Xaviero di meja makan.
"Mereka ...."
Bersambung...
gawat kl sampai aki2 yg hobinya selingkuh sampai berhasil nyari tau masalalu leon dsn berdampak sama kembar
Tapi yg dimintain kompensasi malah lagi asik sama calon keluarga kecilnya 😁, eh ngapain si Dion dateng n mau ngacau yah. Semoga Leon ga kepancing soalnya ada duo bocil. anggap aja Dion ga ada daripada pusing n sekarang fokus aja pada Sharon, Leon.