NovelToon NovelToon
CINTA DALAM ENAM DIGIT

CINTA DALAM ENAM DIGIT

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Dosen / Mafia / CEO / Dikelilingi wanita cantik / Kehidupan di Sekolah/Kampus
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: reni

Aurelia Nayla, tumbuh sebagai gadis lugu yang patuh pada satu-satunya keluarga yang ia miliki: Dario Estrallo. Pria yang dingin dan penuh perhitungan itu memintanya melakukan misi berbahaya—mendekati seorang dosen muda di universitas elit demi mencari sebuah harta rahasia.

Leonardo Venturi. Dosen baru, jenius, dingin, dan tak tersentuh. Tak ada yang tahu siapa dia sebenarnya, kecuali Dario—musuh lama keluarganya.
Yang tak diketahui Dario, kode untuk membuka brankas warisan sang raja mafia justru tersembunyi di tubuh Leo sendiri, dalam bentuk yang bahkan Leo belum ketahui.

Sementara Aurelia menjalankan misinya, Leo juga bergerak diam-diam. Ia tengah menyelidiki kematian misterius ayahnya, Alessandro Venturi, sang raja mafia besar. Dan satu-satunya jejak yang ia temukan, perlahan menuntunnya ke gadis itu.

Dalam labirin rahasia, warisan berdarah, dan kebohongan, keduanya terseret dalam permainan berbahaya.
Cinta mungkin tumbuh di antara mereka,
tapi tidak semua cinta bisa menyelamatka

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon reni, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pion yang dipaksakan

Langit kampus tampak mendung sejak pagi. Langkah-langkah mahasiswa terdengar terburu-buru di pelataran, tergesa menuju kelas masing-masing. Tapi Lia berjalan pelan, nyaris seperti sedang menghitung waktu menuju kehancurannya sendiri.

Semalam, suara Dario kembali mengusik tidurnya.

> “Papa tidak peduli kamu harus gimana caranya. Yang penting kamu harus bisa memastikannya. Foto itu harus jelas. Tanda itu... akan jadi awal dari semuanya.”

Nada suara itu dingin dan penuh tekanan. Bukan sekadar perintah, tapi ancaman. Lia tahu, jika ia gagal—Dario tak akan segan mengorbankan siapa saja, bahkan dirinya sendiri.

“Lia!” panggil Nadin yang baru keluar dari toko fotokopi. “Eh, kamu kenapa sih jalan lambat banget?”

Lia menoleh sambil memaksakan senyum. “Enggak, Nad. Cuma pusing sedikit.”

Nadin menatap curiga. “Kamu harus banyak istirahat. Kayaknya kamu makin kurus deh.”

Lia hanya menjawab dengan anggukan kecil. Ia tak punya energi untuk pura-pura lagi. Hari ini, ia harus kembali mengikuti kelas bimbingan. Dan Leo—pria yang ingin ia hindari—adalah dosennya.

---

Di ruang dosen, Leo duduk sendirian di meja paling pojok. Laptop terbuka di depannya, tapi pandangannya kosong. Sudah tiga hari berturut-turut ia merasa ada yang janggal.

Tentang Lia.

Tentang bagaimana gadis itu tampak gugup setiap kali berbicara dengannya. Tentang bagaimana ia pernah memergoki Lia tengah memotret arah tubuhnya diam-diam, lalu buru-buru menghapus jejak.

Leo bukan pria polos. Ia tumbuh dalam dunia yang penuh tipu daya. Meski sekarang ia menyamar sebagai dosen yang tenang dan profesional, masa lalunya masih menempel kuat dalam nalurinya.

Dan naluri itu berteriak keras: Lia menyembunyikan sesuatu.

---

Kelas sore itu berjalan seperti biasa. Mahasiswa datang satu per satu, mempresentasikan tugas. Leo duduk dengan tangan menyilang, memperhatikan tanpa banyak bicara.

Hingga akhirnya nama terakhir dipanggil.

“Aurelia Nayla.”

Lia berdiri, napasnya terasa berat. Ia bisa merasakan detak jantungnya memukul-mukul seperti palu godam. Saat berjalan ke depan kelas, tangannya menggenggam ujung tas dengan kuat.

Leo menatapnya lama sebelum bicara, “Silakan duduk!”

Lia duduk, membuka buku catatan. Tapi bahkan pena di tangannya bergetar.

Leo menatap lembar tugas, lalu berkata pelan, “Kamu terlihat tak fokus hari ini.”

“Saya minta maaf, Pak,” jawab Lia pelan. “Saya... kurang tidur.”

“Masalah keluarga?” tanya Leo tajam.

Lia tertegun.

“Saya tahu kamu bukan tipe mahasiswa yang lalai tanpa alasan.”

“Saya tidak bermaksud lalai. Saya cuma... lagi banyak pikiran,” katanya, mencoba mempertahankan nada netral.

Leo tidak menjawab. Ia memiringkan tubuh sedikit, lalu membetulkan posisi duduknya. Saat ia bersandar, kemejanya sedikit tersingkap di bagian perut.

Dan di sana, samar-samar, Lia melihatnya—sebuah pola melingkar. Hitam. Seperti tato. Atau tanda lahir?

Detik itu terasa membeku. Lia menahan napas, seolah waktu berhenti hanya untuk memberi ruang pada pandangan matanya.

Leo melihat perubahan ekspresi Lia. Ia langsung menyadari—Lia melihatnya.

Dengan tenang, Leo membenarkan posisi duduknya dan menarik kembali ujung kemejanya. “Kamu sudah cukup. Silakan kembali ke tempat.”

Lia bangkit, melangkah cepat, hampir terburu-buru.

---

Malam harinya, Lia duduk di ranjang asrama dengan ponsel di tangan. Nadin sedang di luar, jadi ia punya waktu sendiri.

Ia menatap layar lama, ragu untuk menekan nomor yang sudah dihafalnya di luar kepala.

Akhirnya ia menekan tombol panggil.

Suara Dario terdengar hanya dalam dua dering.

“Sudah kamu lihat?”

“Samar,” jawab Lia jujur. “Ada... tanda seperti lingkaran. Tapi belum jelas.”

“Dekati dia lagi. Buat situasi yang memungkinkan kamu memotretnya. Jangan sampai gagal.”

Lia menggigit bibir. “Papa... kalau ternyata tanda itu benar—kenapa papa sangat terobsesi dengan itu?”

“Karena dia... bagian dari sejarah yang seharusnya dikubur. Tapi dia masih hidup. Dan kamu, Lia, kamu bagian dari rencana yang lebih besar.”

Klik.

Sambungan terputus begitu saja.

Lia meletakkan ponsel dengan tangan gemetar. Ia tak bisa lagi menipu dirinya sendiri. Ini bukan lagi sekadar tugas. Ini tentang dendam, tentang darah, dan tentang masa lalu yang ingin dikubur Dario dengan cara apapun.

---

Sementara itu, Leo berdiri di balkon apartemennya. Malam berangin, langit kelabu tanpa bintang. Tangannya memegang secarik foto lama. Seorang pria dalam jas abu-abu berdiri di tengah taman, senyumnya tipis. Di belakangnya, samar, ada bayangan anak kecil—dirinya.

Ayahnya.

Alessandro Venturi.

Pria yang menghilang dalam tragedi kecelakaan misterius.

Di balik foto itu, tertulis kata-kata samar:

“Jika kau melihat tanda itu kembali, jangan abaikan. Itu akan membawamu pada kebenaran.”

Leo menyentuh dada bagian kiri bawah—tempat tanda aneh itu berada. Sejak kecil ia tidak pernah tahu maknanya. Hanya ibunya yang kadang menangis saat melihatnya, tapi tidak pernah menjelaskan.

Dan sekarang… seorang gadis datang membawa tatapan aneh, menyusup diam-diam ke hidupnya.

---

Keesokan harinya, kampus kembali ramai.

Lia sengaja datang lebih pagi. Ia ingin menghindari Leo, atau setidaknya menghindari kemungkinan diseret ke ruang diskusi lagi.

Namun takdir seolah mengejeknya.

Begitu ia berbelok di koridor sayap timur, Leo berdiri di sana. Sendirian, memandang lurus padanya.

“Lia.”

Lia menelan ludah. “Iya, Pak?”

“Ada yang perlu saya diskusikan. Ikut saya!”

Kali ini bukan ajakan. Tapi perintah.

Mereka masuk ke ruang diskusi yang kosong. Udara di dalam terasa dingin, tegang. Lia menggenggam tali tasnya erat.

“Apa kamu takut sama saya?” tanya Leo tiba-tiba.

Pertanyaan itu menusuk. Lia hampir tak bisa menjawab.

“Tidak... saya cuma... gugup,” bohongnya.

Leo menatap lurus. “Kamu tahu apa yang paling saya benci dari seseorang?”

Lia menggeleng pelan.

“Kebohongan.”

Suasana membeku. Lia mencoba tetap tenang, tapi napasnya mulai tak teratur.

Leo mendekat dua langkah, tapi tetap menjaga jarak.

“Ada yang kamu sembunyikan. Dan aku akan cari tahu itu, cepat atau lambat.”

Lia menggigit bibir. Hatinya menjerit. Jika saja ia bisa berteriak dan menjelaskan bahwa ia tak punya pilihan. Bahwa dirinya hanya pion.

Tapi bukan itu yang keluar.

“Saya tidak menyembunyikan apa pun, Pak.”

Leo memutar tubuh, berjalan ke arah pintu.

“Kamu boleh pergi.”

Lia melangkah keluar dengan jantung berdetak kencang. Tapi baru beberapa langkah, suara Leo kembali terdengar dari belakang.

“Kalau kamu pikir kamu bisa terus menghindar, kamu salah.”

---

Beberapa jam kemudian, di rumah tua yang berada di pinggiran kota, Dario menatap layar tablet dengan ekspresi puas.

Foto terbaru dikirim oleh seseorang. Di dalamnya, Lia dan Leo berdiri di ruang diskusi. Meskipun tak ada tanda yang terlihat jelas, ekspresi Leo yang tegang sudah cukup untuk menandakan bahwa Lia mulai berhasil mengguncang keyakinan pria itu.

“Sebentar lagi...” gumam Dario.

Seorang pria berbadan besar masuk ke dalam ruangan, menunduk hormat.

“Kalau gadis itu gagal?” tanyanya.

Dario menyipitkan mata. “Dia tak akan gagal. Tapi kalaupun iya, kita masih punya rencana cadangan.

---

Di kampus, senja mulai turun.

Lia berdiri di tepi taman, memandang langit jingga yang perlahan berubah gelap. Matanya kosong, pikirannya kacau.

Di tangannya, ada satu hasil jepretan buram. Gambar yang belum sepenuhnya jelas, tapi cukup untuk menimbulkan gemetar di hatinya.

Tanda itu benar-benar ada.

Dan jika itu benar... maka semua akan berubah.

Dan Leo—

Pria yang kini hanya melihatnya dengan tatapan penuh kecurigaan...

…adalah seseorang yang mungkin harus ia hancurkan, meski hatinya sendiri belum siap untuk itu.

1
Gingin Ginanjar
bagus banget/Drool//Drool//Drool/
Langit biru: Terimakasih/Kiss/ Baca terus ya🤗
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!