"Gue tahu gue salah," lanjut Ares, suaranya dipenuhi penyesalan. "Gue nggak seharusnya mengkhianati Zahra... Tapi, Han, gue juga nggak bisa bohong."
Hana menggigit bibirnya, enggan menatap Ares. "Lo sadar ini salah, kan? Kita nggak bisa kayak gini."
Ares menghela napas panjang, keningnya bertumpu di bahu Hana. "Gue tahu. Tapi jujur, gue nggak bisa... Gue nggak bisa sedetik pun nggak khawatir sama lo."
****
Hana Priscilia yang mendedikasikan hidupnya untuk mencari pembunuh kekasihnya, malah terjebak oleh pesona dari polisi tampan—Ares yang kebetulan adalah tunangan sahabatnya sendiri.
Apakah Hana akan melanjutkan balas dendamnya, atau malah menjadi perusak hubungan pertunangan Zahra dan Ares?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nunna Zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 28
"Lo suka sama Zahra?"
Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibir Hana, tanpa filter, tanpa rencana.
Di sampingnya, Aaron yang tengah fokus mengemudi tiba-tiba menginjak rem mendadak. Mobil berhenti dengan hentakan tajam, membuat tubuh Hana sedikit terdorong ke depan.
Jantungnya langsung berdegup kencang.
Sial.
Ia menoleh, dan langsung bertemu dengan tatapan gelap Aaron yang kini mengarah padanya. Mata hitam legam pria itu menelisik wajahnya, seolah mencoba membaca sesuatu di balik ekspresi Hana yang sekarang mungkin sudah berubah pucat karena terkejut.
"Lo ngomong apa tadi?"
Hana menggigit bibirnya, sadar bahwa dia baru saja menekan tombol yang seharusnya tidak dia sentuh.
"Gue cuma nanya," jawabnya cepat, mencoba tetap tenang meskipun telapak tangannya mulai berkeringat. "Dari tatapan dan cara lo ngomong ke Zahra, siapapun bisa tahu kalau lo ada rasa sama dia."
Hening.
Aaron masih menatapnya tanpa ekspresi jelas. Hanya matanya yang berbicara—gelap, penuh misteri, dan sulit ditebak.
Lalu,
"Keluar!" Aaron mengusir Hana.
Hana membeku di tempatnya. Napasnya tercekat saat kata-kata Aaron menggema di dalam mobil yang kini dipenuhi ketegangan.
"Keluar!" suara Aaron terdengar lebih tajam kali ini, nyaris seperti geraman.
Hana mengerjap, mencoba mencerna situasi. Dia menoleh ke luar jendela—jalanan gelap, hanya diterangi lampu-lampu jalan yang berderet di sepanjang tol. Tidak ada mobil lain yang berhenti. Tidak ada tempat untuk pergi.
"Ini di tengah tol," katanya, mencoba terdengar tenang meskipun jantungnya berdebar keras.
Aaron tak peduli. Rahangnya mengeras, kedua tangannya mencengkeram setir begitu kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Dia menatap lurus ke depan, seolah sedang menahan sesuatu yang hampir meledak.
"Keluar, Hana." Nada suaranya menurun, tapi justru terdengar lebih berbahaya.
Hana masih terpaku, pikirannya kalut. Ini gila. Ini benar-benar gila!
"Aaron, lo—"
"Keluar!!!" Kali ini Aaron berteriak, membuat Hana tersentak.
Lelaki itu meraih kunci mobil dan mematikannya, lalu dengan kasar melepas sabuk pengaman Hana. Dia bahkan tidak memberinya waktu untuk membantah.
Dengan tangan gemetar, Hana membuka pintu. Udara malam yang dingin langsung menyergap kulitnya. Dia masih berharap Aaron bercanda, berharap pria itu menarik kembali kata-katanya.
Tapi Aaron tetap diam, wajahnya gelap tanpa ekspresi.
Hana menggigit bibirnya, sebelum akhirnya turun dengan hati penuh amarah dan rasa tidak percaya. Begitu Hana menutup pintu, mobil melesat pergi—meninggalkannya sendirian di tengah jalan tol yang sepi.
"FUCK YOU!" Hana berteriak sekuat tenaga, suara marahnya menggema di sepanjang jalan tol yang lengang. Angin malam berembus kencang, membuat rambutnya berantakan, tapi itu bukan hal yang paling mengganggunya sekarang.
Matanya masih terpaku pada mobil Aaron yang sudah melaju jauh, hanya menyisakan cahaya lampunya yang semakin mengecil di kejauhan.
"OH, SHIT! DASAR IBLIS!" Hana mengumpat lagi, kini lebih lantang. "GUE SUMPAHIN LO NYUNGSEP KE EMPANG! MATA LO DIMAKAN IKAN PIRANHA, HIDUNG LO YANG TINGGI ITU JADI TANGKRINGAN KODOK!"
Dia menghela napas kasar, lalu mengusap wajahnya dengan frustrasi.
Ini gila. Ini benar-benar gila.
Di mana akal sehatnya tadi? Kenapa dia harus membuka topik yang jelas-jelas bisa memancing emosi si iblis itu?
Sekarang dia di sini—DI TENGAH TOL! Sendirian, tanpa kendaraan, tanpa siapapun yang bisa dimintai tolong.
"Oh shit," gumamnya, menendang kerikil di dekat kakinya dengan kesal. "Kalau gue mati kedinginan di sini, arwah gue bakal ngehantui tuh cowok seumur hidupnya!"
Tapi mengutuk Aaron tidak akan mengubah fakta bahwa dia benar-benar dalam masalah besar sekarang.
Hana merogoh sling bag-nya dengan panik, berharap bisa menelepon seseorang untuk menjemputnya. Namun, saat tangannya meraba bagian dalam tas, yang ia temukan hanyalah dompet, lip balm, dan sekotak tisu.
Ponselnya tidak ada.
Mendadak darahnya berdesir.
Sial.
SIAL!
Dia baru ingat—ponselnya ada di mobil Aaron, tengah diisi daya!
Hana menegakkan tubuhnya, menatap jalanan yang sepi dengan perasaan campur aduk antara panik dan marah. Tangannya mengepal, dan tanpa bisa ditahan lagi, dia berteriak,
"AARONNNNNNNNN!!!!!!"
Suara Hana menggema di sepanjang jalan tol yang kosong, bercampur dengan suara kendaraan yang melintas di jalur berlawanan.
Tidak ada jawaban.
Tentu saja.
Aaron sudah pergi. Pria sialan itu benar-benar tega meninggalkannya di sini, sendirian.
Hana benar-benar tidak percaya ini sedang terjadi padanya. Hanya beberapa jam yang lalu, dia berdiri di tengah acara mewah dengan gaun indah, tersenyum dan berpura-pura menjadi kekasih Aaron Wijaya. Sekarang? Dia sendirian di jalan tol, tanpa ponsel, tanpa kendaraan, dan tanpa kepastian bagaimana dia akan keluar dari situasi gila ini.
Hujan rintik-rintik mulai membasahi bumi, Hana gegas memberhentikan mobil yang melaju di depannya. Tangannya melambai-lambai sambil berteriak minta tolong.
Namun, hingga hujan rintik berubah menjadi hujan deras tak ada satupun mobil yang berhenti.
Lututnya perlahan-lahan melemas, seakan tak sanggup lagi menopang tubuhnya yang lelah dan kedinginan. Di tengah hujan badai, gadis itu hanya mengenakan gaun terbuka yang pendek.
Dengan gemetar, Hana perlahan menurunkan tubuhnya, lalu berjongkok di tepi jalan. Kepalanya tertunduk, kedua lengannya melingkari lututnya, mencoba memberi kehangatan bagi dirinya sendiri.
Isakan kecil mulai terdengar, awalnya hanya helaan napas yang tersendat, lalu berubah menjadi tangisan lirih yang tertahan. Punggungnya bergetar, dan air matanya jatuh tanpa bisa ditahan lagi.
Isakannya semakin keras.
Beberapa mobil melintas di jalur utama, tapi tidak ada satu pun yang melambat. Lagipula, siapa yang akan berhenti di tol hanya untuk seorang perempuan yang duduk memeluk lutut di pinggir jalan?
Sialan.
Aaron benar-benar bajingan.
Tiba-tiba, suara deru mesin mendekat. Lampu terang menyinari tubuhnya, membuat Hana refleks menoleh. Sebuah mobil truk besar berhenti beberapa meter darinya.
Kaca truk itu turun perlahan, memperlihatkan seorang pria paruh baya dengan senyum licik di wajahnya. Dari balik kemudi, ia mencondongkan tubuhnya sedikit keluar, menatap seorang gadis yang tengah duduk di tepi jalan dengan wajah kesal.
"Hei, cantik, butuh tumpangan om nggak?" Tawarnya dengan bercanda, disusul dengan tawa cekikikan dari dalam kabin, seorang pria lain yang duduk di kursi penumpang ikut menimpali. "Sabilah buat angetin malam ini," katanya, membuat tawa mereka semakin menjadi-jadi.
Hana yang sedari tadi menahan dingin dan frustasi, kini mendongak tajam. Ia bangkit dari duduknya, matanya berkilat marah, lalu dengan cepat meraih sebuah batu dari tanah.
Tanpa pikir panjang—
Pletak!
Batu itu melayang ke arah truk, menghantam body logamnya dengan suara keras.
"BRENGSEK! BUKANNYA NOLONGIN ORANG KESUSAHAN, MALAH NYARI KESEMPATAN!!!!" teriak Hana dengan napas memburu.
Para pria di dalam truk tersentak. Tapi belum sempat mereka mengatakan sesuatu, Hana sudah mengambil beberapa kerikil dan melemparkannya bertubi-tubi ke arah kendaraan mereka.
Pletak!
Pletak!
Pletak!
Pletak!
Bunyi benturan kecil terdengar, membuat sopir truk itu gelagapan. Namun, yang benar-benar membuat mereka panik adalah ketika Hana mengangkat sebuah batu besar di tangannya, matanya liar dan penuh amarah.
"Pergi atau gue lempar batu ini ke kaca!" ancamnya, suaranya terdengar cukup gila untuk membuat mereka percaya bahwa dia benar-benar akan melakukannya.
"Brengsek, Rip! Gasss!"
Sopir truk itu buru-buru menginjak pedal gas, melarikan kendaraan mereka dengan kecepatan tinggi. Ban truk berdecit, meninggalkan jejak debu di jalanan sepi itu.
Di dalam truk, pria di kursi penumpang menyeka keringatnya yang tiba-tiba bercucuran. "Orang gila, John! Hampir aja kita di amuk!"
Sopir yang dipanggil John itu mengangguk cepat. "Iya, bisa berabe kalau batu itu sampai melayang ke kaca! Bisa puasa anak-istri kita setahun penuh, Rip!"
Pria bernama Sarip mendengus, masih sedikit gemetar. "Sayang banget ya, padahal ayu loh mbak e tadi. Sayange edan!"
Mereka tertawa getir, mencoba menghilangkan ketegangan. Sementara itu, di belakang, Hana masih berdiri dengan napas terengah-engah, matanya memerah karena emosi. Batu besar di tangannya masih terangkat, siap dilempar—meski kini tak ada lagi target di hadapannya.
"Bangsat!" umpatnya pelan.
Lalu, dengan sisa tenaganya, dia menjatuhkan batu itu ke tanah, lalu kembali terduduk, mencoba menenangkan debaran jantungnya yang masih kacau.
Dari kejauhan sorot lampu mobil menyorot tajam ke arah Hana, membuat matanya menyipit karena silau. Dalam hitungan detik, kendaraan itu berhenti tepat di depannya.
Hana menelan ludah, tubuhnya menegang. Mobil itu berwarna hitam pekat, dengan kaca gelap yang menyembunyikan siapa pun yang ada di dalamnya. Hawa dingin semakin menusuk kulitnya, tapi yang lebih membuatnya menggigil adalah firasat buruk yang tiba-tiba menyelimutinya. Batu yang ia jatuhkan kembali ia genggam.
Pintu pengemudi terbuka.
Dari dalam, sesosok pria keluar dengan langkah tenang namun penuh ketegasan.
Hana mengangkat wajahnya, dan seketika jantungnya seperti berhenti berdetak.
Ares.
Tatapan laki-laki itu tajam dan gelap, menelusuri dirinya dari kepala hingga kaki. Rahangnya mengeras saat melihat kondisi Hana yang kotor dan kedinginan, dengan mata yang masih memerah setelah menangis.
Tanpa sepatah kata pun, Ares melepas jas yang dikenakannya, lalu tanpa basa-basi, ia menyampirkannya ke punggung Hana.
"Ayo, lo bisa mati kedinginan di sini," katanya, suaranya datar tapi terdengar penuh perintah.
Hana menatapnya, ragu.
"Jangan bikin gue ulang dua kali, Hana."
Dengan enggan, Hana akhirnya menerima uluran tangannya. Ares membimbingnya berdiri, lalu membuka pintu penumpang. Tangannya yang besar melindungi kepala Hana saat ia masuk ke dalam mobil, seolah sebuah refleks yang sudah sering ia lakukan.
Begitu Hana duduk dan pintu tertutup, Ares berjalan ke sisi pengemudi, masuk, lalu tanpa sepatah kata pun lagi, ia melajukan mobil ke jalanan yang gelap.
Hana menarik napas dalam, menatap lurus ke depan tanpa berkata apa-apa. Rasa dingin di tubuhnya perlahan mulai tergantikan oleh kehangatan yang berasal dari jas Ares yang masih menyelimuti tubuhnya. Aroma khas pria itu tercium samar—maskulin, sedikit beraroma kayu dan mint.
Dia seharusnya berkata sesuatu. Mungkin berterima kasih. Mungkin bertanya kenapa Ares bisa ada di sini. Tapi tidak ada kata yang keluar dari bibirnya.
Dan Ares juga tidak memaksa.
Hana menyandarkan kepalanya ke jendela, menatap lampu-lampu kota yang berpendar dalam keheningan. Dia pikir dia sudah selamat—lepas dari iblis bernama Aaron. Namun, nyatanya, dia hanya melompat dari satu kandang iblis ke kandang iblis lainnya.
Karena arah yang mereka tuju bukan rumahnya. Melainkan apartemen Ares.
Hana menyadari sesuatu yang tidak beres saat mobil melaju ke jalan yang asing baginya. Dia menegakkan tubuhnya, menoleh ke arah Ares yang tetap fokus pada kemudi.
"Kita mau ke mana?" tanyanya curiga.
Ares tidak langsung menjawab. Dia hanya menginjak pedal gas lebih dalam, membuat mobil melaju lebih cepat.
"Ares." Hana mengulang pertanyaannya, kali ini dengan nada lebih mendesak.
Ares mengembuskan napas panjang, seolah malas menghadapi pertanyaan itu. "Apartemen gue," jawabnya akhirnya, tanpa ekspresi.
"Apa? Buat apa? Anterin gue pulang!"
"Lo butuh tempat buat istirahat."
"Gue punya rumah, kenapa harus ke Apartemen lo? Gue mau pulang."
"Gue nggak nanya lo mau apa," potong Ares dingin. "Nggak ada yang jagain lo! Orang tua lo masih di luar negeri, kan? Jadi, pilihan lo cuma satu—ikut gue."
Sial.
Dia baru saja lolos dari Aaron, dan sekarang dia malah berada dalam kendali Ares.
Mungkin takdir memang sedang mempermainkannya.
***
Di apartemen Ares, interior didominasi warna monokrom dengan pencahayaan redup yang menciptakan kesan dingin—sama seperti pemiliknya.
Begitu masuk, Ares berjalan ke kamarnya. Tak lama, ia keluar melemparkan sesuatu ke arah Hana—handuk, kaus dan celana panjang yang terlihat jauh lebih besar dari ukuran tubuhnya.
"Pakai ini. Lo nggak bisa tidur dengan baju basah seperti itu," katanya singkat.
Hana menangkap handuk dan pakaian itu dengan refleks, lalu mengangkat wajahnya, menatap Ares curiga.
Bersambung...