Virus itu menyebar seperti isu murahan: cepat, tak jelas sumbernya, dan mendadak membuat semua orang kehilangan arah.
Hanya saja, kali ini, yang tersebar bukan skandal... melainkan kematian.
Zean, 18 tahun, tidak pernah ingin jadi pahlawan. Ia lebih ahli menghindari tanggung jawab daripada menghadapi bahaya. Tapi saat virus menyebar tanpa asal usul yang jelas mengubah manusia menjadi zombie dan mengunci seluruh kota,Zean tak punya pilihan. Ia harus bertahan. Bukan demi dunia. Hanya demi adiknya,Dan ia bersumpah, meski dunia runtuh, adiknya tidak akan jadi angka statistik di presentasi BNPB.
ini bukanlah hal dapat di selesaikan hanya dengan video cara bertahan hidup estetik,vaksin atau status WA.
___
Like or die adalah kisah bertahan hidup penuh ironi, horor, dan humor kelam, tentang dunia yang tenggelam dalam kegilaan.
(update max 2 kali sehari,jika baru 1 kali berarti lagi scroll fesnuk cari inspirasi, beneran,jika pengen lebih beliin dulu kopi 😌)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon zeeda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Villa dekat bukit
Langkah kaki mereka menyusuri aspal retak, melintasi jalan gang yang perlahan dimakan rerumputan liar. Di kanan-kiri, bekas perumahan yang dulu mungkin hangat dan riuh kini tampak seperti kerangka. Sepi. Terlupakan.
Ayu berjalan agak di belakang, matanya awas memperhatikan sekitar. Dunia ini telah mengubah semua orang menjadi penjaga. Bahkan orang yang tadinya hanya ingin menjadi pelajar biasa, kini harus tahu membedakan mana bunyi ranting biasa dan mana langkah makhluk kelaparan.
Menjelang siang, langkah mereka melambat. Bukan hanya karena lelah, tapi karena udara mulai terasa lebih tebal, seperti menyimpan sesuatu yang tak kasat mata. Jalanan mulai terasa asing, walau seharusnya tidak.
Zean menatap peta dengan dahi berkerut.
“Kita harusnya sudah dekat.”
“Harusnya,” ulang Dini pelan, meski kegugupan tetap terdengar jelas.
Tak lama kemudian, pagar tinggi mulai tampak di kejauhan, ditumbuhi sulur tanaman mati. Di baliknya berdiri sebuah rumah besar. Bukan bangunan mewah seperti di iklan properti zaman dulu, tak ada balkon menghadap danau, tak ada taman bunga mekar selamanya. Tapi pagarnya masih utuh. Pagar beton dan pagar besi tua masih berdiri meski berkarat. Dan yang paling penting: tidak ada bau busuk. Tidak ada suara erangan.
“Rumah itu?” tanya Johan, setengah berharap jawabannya bukan "tidak".
Dini mengangguk. “Iya.”
“Akhirnya,” gumam Ayu, nyaris seperti doa.
Mereka mendekat perlahan, napas tertahan. Angin membawa bau logam tua dan kayu basah. Tidak ada tanda kehidupan di jendela. Tak ada anjing penjaga. Tak ada gerakan di balik tirai.
“Jangan langsung ketuk,” bisik Zean. “Lihat-lihat dulu.”
Mereka menyusuri pagar, mencari sudut yang lebih rendah. Dini menunjuk ke sisi barat.
“Ayahku pernah bilang, bagian itu bisa dipanjat kalau terpaksa.”
Setelah berunding singkat, Ayu dan Johan naik lebih dulu, cepat dan senyap. Dari dalam, mereka membuka gerbang yang hanya diikat kawat. Yang lainnya menyusul masuk dengan tergesa.
Halamannya luas. Ada garasi, pondok gubuk, dan kolam kosong. Sunyi. Tapi tidak sepenuhnya mati.
“Dulu selalu ada burung di sini,” gumam Dini. “Sekarang bahkan suara mereka hilang.”
"Ada yang aneh nggak, Jo, waktu kamu di dalam tadi?" tanya Zean.
Johan menggeleng. “Nggak ada. Nggak ada suara. Nggak ada gerakan.”
“Gak ada yang mencurigakan sama sekali,” tambah Ayu.
“Mau langsung masuk?” tanya Zean.
Dini mulai melangkah. “Iya, tapi tetap hati-hati.”
Mereka mengikuti di belakang. Ayu memandangi sekitar, Lira menatap kolam yang kosong tanpa ikan.
Pintu itu terbuka dengan satu dorongan ringan, engselnya berderit pelan. Mereka masuk satu per satu. Udara sejuk menyambut. Interior villa cukup lapang, ruang tamu berisi sofa yang masih bersih, lantai rapi, lampu gantung menyala. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ada harapan yang berani disebut “rumah.”
Dan satu hal yang mereka semua rasakan begitu masuk: ketenangan.
“Kita aman… untuk saat ini, sepertinya” kata Zean.
Lira melepas ransel, duduk di sofa dan bersandar penuh kelegaan.
“Enaknya…” gumamnya sambil tersenyum.
“Aku mau cek-cek dulu,” ujar Dini, berjalan menjauh.
Zean menahan bahunya. “Tunggu, aku temani.”
Mereka menyusuri lorong. Semuanya tampak normal, namun sunyi menyisakan gema langkah kaki.
“Tempat ini terawat, tapi sepi. Bahkan kita masuk terlalu mudah,” kata Zean, menatap sekeliling.
“Itu yang bikin aku curiga,” balas Dini. “Kalau pamanku masih hidup, harusnya dia lihat kita dari CCTV dan menyambut.”
Lorong itu terang oleh cahaya lampu, tapi justru keterangan itulah yang membuat semuanya terasa… salah.
“Kita mau ke mana?” tanya Zean.
“Bunker. Kalau Paman masih hidup, kemungkinan besar dia ada di sana.”
Mereka menuju ruang paling belakang, pojok kiri rumah. Dini membuka sebuah pintu gudang dengan tumpukan barang. Dia berjalan menuju lemari besar di sudut, lalu membukanya.
Sebuah lorong gelap terbuka.
“Wow. Pintu rahasia,” gumam Zean.
Dini melangkah masuk tanpa bicara. Zean mengikuti, menyalakan senter kecil dari saku tasnya. Mereka menuruni anak tangga.
Cahaya redup menyambut, lalu perlahan berubah terang dari balik sebuah pintu. Dini membukanya.
Ruangan luas, terang. Di pojok, kardus menumpuk. Layar monitor besar memperlihatkan gambar CCTV: halaman depan, gerbang, ruang tamu… bahkan mereka bisa melihat Lira dan yang lain sedang terbaring santai di sofa.
Zean tersenyum kecil. “Wow.”
Di sisi lain ruangan, ada meja dengan senjata yang sedang diperbaiki. Dindingnya dipenuhi berbagai senjata api dan senjata jarak dekat.
“Pamanmu paranoid level dewa,” gumam Zean.
Dini berjalan mondar-mandir, wajahnya bingung. tapi juga terlihat tidak.
“Paman?” panggilnya. Tak ada jawaban.
Mencari-cari dan memanggilnya berulang kali, tapi tidak ada balasan.
Kyaaaa!!
Tiba-tiba terdengar suara dari belakang Zean, mirip teriakannya Lira. Zean langsung menoleh ke monitor.
Seorang pria menodongkan senjata ke arah mereka. Di belakangnya, ada seorang anak kecil.
“Dini!” panggil Zean.
Dini tak menggubris, seperti tidak mendengar.
Zean langsung menarik Dini. “Mereka dalam bahaya!”
“Apa?!” Dini seakan tidak percaya.
Mereka berdua berlari keluar. Zean sempat mengambil senapan dan pedang di meja.
Dini menatap layar, dan matanya melebar. “Zean! Mereka”
“Iya. Cepat!”
Mereka berlari penuh kepanikan. Berharap Lira dan teman-temannya baik-baik saja.
Suara pintu lemari terbuka cukup keras, mereka melompat keluar. Setiap langkahnya terdengar jelas dan menggema di lorong.
“Lira?!”
Ruang tamu kosong. Tidak ada siapa-siapa.
“Lira?!”
“Arg... sialan…” gumam Zean.
Suara benda jatuh terdengar dari dapur.
“Di dapur,” kata Dini.
Zean langsung berlari ke sana, dengan cepat meninggalkan Dini.
Dengan aba-aba siap menembak, Zean berjalan pelan. Saat sudah mencapai pintu dapur, matanya kesana kemari begitu waspada.
Sekilas saat masuk, Zean melihat adik dan teman-temannya sudah diikat tiap lengan dan kakinya, serta mulut tertutup lakban.
“Lira?” bisiknya.
Lira menatapnya, mengucap sesuatu dengan mulut tertutup, seolah memanggil nama kakaknya. Tapi tiba-tiba sorot matanya juga berubah, seakan ingin memperingatkan sesuatu.
Dari balik pintu, muncul seseorang.
“Satu gerakan dan kau mati.”
Suara pria itu berat dan dingin. Senjatanya menempel di punggung Zean.
“Jatuhkan senjata dan maju,” perintahnya.
Zean menelan ludah. Menjatuhkan senjata. Melangkah perlahan.
“Sekarang jongkok. Tangan ke atas. Samping. dilipat yang manis.”
“Hah?”
“Lakukan, atau kutembak kepalamu.”
“O-oke…” Zean pasrah. Lira berteriak dengan mata panik, suara tertahan lakban.
Lalu.
“PAMAN!!!”
Teriakan Dini menggema dari pintu dapur.
Pria itu menoleh. Melihat Dini yang berdiri di depan pintu. Wajahnya panik.
“Paman, jangan! Mereka temanku!”
Pria itu menoleh, ragu. “Dini? Benarkah?”
“Iya, ini aku.”
Pria itu melemparkan senjatanya, memeluk Dini erat.
“Ponakan manis kecilku, sudah lama sekali…”
“Aduh paman, ini memalukan, aku sudah SMA lho.” mencoba menjauhkan wajahnya.
Zean dan yang lain terpaku, bingung tidak tau harus berekpresi apa melihat adegan absurd ini.Perubahan mendadak pria itu yang tadinya mengancam kini berubah jadi bodoh dan manja.
Tapi, setidaknya… mereka beruntung.
Lagi.