Sabrina rela meninggalkan status dan kekayaannya demi menikah dengan Zidan. Dia ikut suaminya tinggal di desa setelah keduanya berhenti bekerja di kantor perusahaan milik keluarga Sabrina.
Sabrina mengira hidup di desa akan menyenangkan, ternyata mertuanya sangat benci wanita yang berasal dari kota karena dahulu suaminya selingkuh dengan wanita kota. Belum lagi punya tetangga yang julid dan suka pamer, membuat Sabrina sering berseteru dengan mereka.
Tanpa Sabrina dan Zidan sadari ada rahasia dibalik pernikahan mereka. Rahasia apakah itu? Cus, kepoin ceritanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Santi Suki, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
Zidan baru saja selesai membereskan toko. Dia tidak menyangka kalau di hari pertama buka banyak sekali pembeli. Saat ini dia baru punya seorang pekerja—Adam—yang membantu dirinya di toko.
"Kang, Alhamdulillah, hari pertama ada banyak yang belanja," ucap Sabrina yang ikut membantu.
"Alhamdulillah, Neng. Jangan lupa kita harus sedekah kepada orang yang berhak mendapatkan. Walau tidak besar yang penting kita ikhlas," balas Zidan setelah tahu berapa uang yang mereka dapatkan di hari itu.
"Biar berkah, ya, Kang?" Sabrina tersenyum manis dan Zidan mengangguk.
Niat awal Sabrina datang ke toko mau mengantarkan makan siang untuk Zidan dan Adam. Namun, ketika melihat ada beberapa orang pembeli, akhirnya dia ikut membantu.
Otak Sabrina memang suka loading jika menangkap omongan orang, tetapi jika menghitung dia sangat pandai. Maka, Zidan menempatkan sang istri di meja pembayaran yang akan menerima uang dari pembeli.
Toko tutup di waktu Ashar karena Zidan ingin punya waktu untuk Sabrina dan Bu Maryam. Laki-laki itu juga punya kegiatan harian, yaitu mengajarkan ilmu agama Islam kepada sang istri.
Karena jarak toko dan rumah cukup dekat, jadi Zidan dan Sabrina berjalan kaki. Keduanya bergandengan tangan sambil bersenda gurau, terlihat sangat romantis dan harmonis.
"Kang, itu kenapa ada yang bangun rumah di tengah sawah, sendirian? Kecil lagi ukurannya," tanya Sabrina sambil menunjuk ke arah sebuah bangunan yang sering disebut "saung" oleh warga desa.
"Itu bukan rumah, tapi gubuk. Biasanya untuk istirahat petani dan menyimpan hasil panen sebelum dibawa ke lumbung padi atau diambil oleh pengepul," jawab Zidan menjelaskan.
Sabrina pun mengangguk. Sekarang dia baru paham kenapa ada rumah kecil di tengah-tengah sawah.
"Habis dari mana? Berduaan terus," tanya Ceu Edoh ketika berpapasan dengan Sabrina dan Zidan.
"Habis pulang dari toko," jawab Zidan dengan ramah.
"Katanya kamu lulusan kuliah, kenapa tidak bekerja di perusahaan? Daripada jualan kelontongan, sedikit keuntungan yang didapat," ujar Ceu Edoh.
"Sayang, ya, sudah capek-capek kuliah, pada akhirnya balik kampung dan jadi tukang dagang," lanjut Ceu Entin ikutan nyindir.
Muka Sabrina yang putih bersih mendadak berubah merah padam. Dia tidak terima Zidan dihina seperti itu.
"Mau kerja jadi karyawan di perusahaan atau menjadi tukang dagang, tidak masalah. Yang penting bisa memberikan nafkah untuk keluarga. Daripada jadi pengangguran dan suka nyinyir orang lain, malah menumpuk dosa segunung," balas Sabrina galak.
"Walau menjadi pedagang punya sedikit keuntungan, tidak apa-apa, asal hasilnya berkah dan baik untuk keluargaku," lanjut Zidan dengan sopan.
"Kalian tidak lihat diri sendiri. Apakah uang yang diberikan oleh suami kalian itu didapat dengan cara yang benar? Kalau di dapatkan dengan cara yang salah akan membuat keluarganya punya tabiat buruk. Seperti—"
Zidan mengusap punggung tangan Sabrina yang ada dalam genggamannya, memberi kode jangan berkata seperti itu kepada orang yang lebih tua. Dia tidak mau istrinya mendapatkan masalah di kemudian hari karena terlalu frontal kepada orang lain.
"Maaf, kita harus segera pulang ke rumah. Sudah ditunggu sama mamah," ucap Zidan, lalu mengajak jalan kembali sang istri.
Selama sisa perjalanan Sabrina ngomel-ngomel. Dia selalu kesal sama tetangganya yang suka sekali bergosip dan sibuk mengomentari kehidupan orang lain. Karena dahulu dia dan tetangganya tidak berinteraksi seperti itu. Mereka selalu sibuk dengan kegiatan masing-masing.
***
Sabrina disuruh menyapu halaman oleh Bu Maryam karena banyak daun yang rontok setelah hujan semalaman. Halaman jadi kotor oleh daun yang berserakan. Cara menyapu perempuan itu terlihat aneh di mata orang lain, tetapi dia begitu menikmati apa yang sedang dilakukannya.
"Nah, gitu, dong! Yang rajin menyapu. Kalau begitu, kan, kelihatan ada gunanya kamu," ucap Ceu Romlah yang sedang berjemur sambil menggendong cucu.
Sabrina melotot mendengar ucapan tetangga sebelah. Seakan dia itu barang yang harus bisa melakukan sesuatu kepada pemiliknya.
"Sabrina!" panggil Bu Maryam dan mengurungkan niat Sabrina membalas ucapan Ceu Romlah.
"Iya, Mah!" balas Sabrina.
"Tolong ke warung Wa Eneng beli garam sebungkus, terigu setengah kilo, dan minyak goreng seperempat!" titah Bu Maryam sambil memberikan uang berwarna merah.
"Baik, Mah."
"Beli apa saja?" tanya Bu Maryam untuk menguji ingatan sang menantu.
"Beli garam, terigu, dan minyak goreng," jawab Sabrina.
"Bener," balas Bu Maryam. "Ingat! Garam sebungkus, terigu setengah kilo, dan minyak goreng seperempat."
Sabrina mengangguk paham. Dia menggumamkan perintah ibu mertuanya tadi agar tidak lupa.
"Nah, gitu! Harus mau disuruh sama mertua," celetuk lagi Ceu Romlah.
"Ya, iyalah! Biar semakin sayang mertua," balas Sabrina dengan mimik tengil.
Sabrina pun sampai ke warung Wa Eneng yang tidak jauh dari rumah, cuma terhalang tiga rumah tetangga. Di sana rupanya ada Ceu Entin dan Ceu Euis. Kedua wanita paruh baya itu diam memerhatikan Sabrina dari ujung kaki sampai ujung kepala.
"Mau beli apa, Neng?" tanya Wa Eneng kepada Sabrina.
"Beli garam, e ... terus ... minyak goreng," jawab Sabrina mencoba mengingat kembali pesanan sang mertua. "Lalu, e ... tepung."
"Masing-masing berapa banyak?" tanya wanita tua itu lagi.
Sabrina terbelalak karena lupa. Gara-gara diajak bicara lagi sama Ceu Romlah ketika akan ke warung.
"Garam berapa bungkus?" tanya Wa Eneng yang seakan paham melihat kebingungan Sabrina.
"Satu bungkus."
"Minyak berapa kilo?"
"E ... itu ... setengah kilo."
"Tepungnya berapa kilo?"
"Kayaknya tadi mamah bilangnya bukan kilo," balas Sabrina.
"Apa tepungnya satu ons?" tanya Wa Eneng.
Sabrina terdiam karena merasa bukan seperti itu kata-kata ibu mertuanya. Namun, dia tidak ingat berapa yang disuruh.
"Biasanya orang-orang kalau beli tepung seberapa banyak?" tanya Sabrina.
"Ada yang sekilo, setengah kilo, atau seperempat, kadang ada juga yang beli se-ons untuk bahan campuran adonan," jawab Wa Eneng.
"Nah, itu tadi! Kata mamah," ucap Sabrina tersenyum lebar.
Terjadi kesalahpahaman antara Sabrina dan Wa Eneng. Maksud istrinya Zidan itu "seperempat", tetapi yang ditangkap oleh Wa Eneng itu "beli se-ons untuk bahan campuran".
Jadinya, Wa Eneng melayani belanjaan Sabrina itu sebungkus garam, minyak goreng setengah kilo, dan tepung satu ons. Wanita tua itu menyebutkan semua harga masing-masing barang.
Dengan perasaan bahagia Sabrina pulang sambil menjinjing belanjaan. Dia merasa bangga kepada dirinya sendiri karena bisa melakukan apa yang diminta oleh mertuanya.
"Kok, belanjaannya begini?" Bu Maryam mengerutkan kening karena tidak sesuai dengan permintaannya.
"Apanya yang salah, Mah?" tanya Sabrina merasa tidak ada yang salah dengan belanjaannya.
Bu Maryam menjelaskan barang apa yang disuruh beli. Akhirnya wanita paruh baya itu memberi catatan kepada Sabrina dan menyuruhnya untuk menukarkan kembali barang yang salah.
"Pusing aku terus-terusan mengucapkan hal yang sama berulang kali setiap menyuruhnya," gumam Bu Maryam.
Sementara itu, Sabrina yang baru saja membuka pintu dibuat terkejut oleh kedatangan dua orang yang sedang berdiri sambil mengangkat tangan hendak mengetuk pintu.
***
bukan musuh keluarga Sabrina
jangan suudhon dl mamiiii