Dalam menimba ilmu kanuragan Getot darjo memang sangat lamban. Ini dikarenakan ia mempunyai struktur tulang yang amburadul. hingga tak ada satupun ahli silat yang mau menjadi gurunya.
Belum lagi sifatnya yang suka bikin rusuh. maka hampir semua pesilat aliran putih menjauh dikala ia ingin menimba ilmu kanuragan.
Padahal ia adalah seorang anak pendekar yang harum namanya. tapi sepertinya pepatah yang berlaku baginya adalah buah jatuh sangat jauh dari pohonnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ihsan halomoan, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Peningkatan Banyu Hitam
Getot menghela napas panjang, masih jengkel dengan ejekan dari dinding berukir. Namun, perintah untuk mengembangkan jurus Banyu Hitam telah tertanam di benaknya. Ia menoleh ke arah Udhet, yang sudah merayap menuju lorong lain.
"Grokk grokk," Udhet menggeram, seolah menyuruh Getot mengikutinya.
"Baiklah, baiklah, aku tahu," Getot menggerutu. "Mari kita lihat, siksaan apalagi yang akan kamu berikan padaku, Udhet."
Mereka tiba di sebuah ruangan gua yang luas, di tengahnya terdapat sebuah batu besar yang ukurannya hampir sebesar Getot yang berdiri. Udhet berhenti, menunjuk ke arah batu itu dengan ujung lidahnya.
"Grokk grokk," Udhet menggeram lagi, kali ini menyuruh Getot untuk berdiri pada jarak sekitar lima tombak dari batu tersebut.
Getot mengernyitkan dahi, bingung. "Untuk apa ini, Udhet? Kamu mau aku menghancurkan batu ini lagi? Sepertinya tidak ada ukiran di dinding yang menyuruhku melakukan itu."
"Grokk," Udhet menjawab singkat, lalu membuat isyarat dengan kepalanya, mengulang gerakan yang Getot lakukan saat menyedot air dari sungai bawah tanah, lalu menunjuk ke arah batu.
Getot terdiam sejenak, mencoba memahami petunjuk Udhet. "Hah? Maksudmu, aku harus menyedot batu itu dari jarak jauh hingga menempel di telapak tanganku?" Ia tertawa hambar. "Udhet, apa kamu sudah gila? Mana mungkin itu terjadi? Batu ini sangat besar, dan aku tidak punya ilmu sihir!"
"Grokk grokk grokk," Udhet menggeram, suaranya terdengar mengancam, tubuhnya sedikit membusungkan diri.
Getot menelan ludah. Ia tahu Udhet tidak main-main. "Baiklah, baiklah! Aku akan mencobanya. Tapi kalau tidak berhasil, jangan marahi aku, ya?"
Dengan enggan, Getot mengambil posisi. Ia merentangkan telapak tangannya ke arah batu, memejamkan mata, dan mencoba memusatkan pikirannya. Ia membayangkan energinya mengalir dari tangannya, menyedot batu itu seperti ia menyedot air dari sungai. Ia mengerahkan seluruh konsentrasinya, bahkan sampai mengernyitkan dahi.
Namun, batu itu tetap bergeming. Tidak ada getaran sedikit pun, tidak ada tanda-tanda pergerakan. Udhet hanya memantau dari kejauhan, sesekali menggeram pelan, seolah memberi semangat atau mungkin sekadar mengingatkan.
Getot mencoba lagi, dan lagi. Ia mengulang gerakan tangannya, memfokuskan pandangannya pada batu, bahkan mencoba merapal mantra Banyu Hitam dalam hati, berharap itu bisa membantu. Keringat mulai membasahi dahinya, mengalir di pelipisnya. Rasa lelah mulai menyergap.
Waktu terus berjalan. Pagi berganti siang, dan siang pun beranjak sore. Udara di dalam gua terasa pengap, dan Getot sudah merasa sangat frustrasi. Ia telah mencoba berkali-kali, menguras tenaga dalam dan konsentrasinya hingga batasnya, tetapi batu itu masih kokoh di tempatnya, tak bergerak sedikit pun.
"Ughh," Getot mengeluh, menjatuhkan tangannya ke samping. "Udhet, ini tidak mungkin! Sudah seharian aku mencoba, tapi batu ini tidak bergerak sama sekali! Aku bahkan tidak bisa membuatnya bergetar."
"Grokk grokk," Udhet menggeram, seolah menyuruh Getot untuk tidak menyerah.
"Tidak, Udhet! Kamu tidak mengerti!" Getot berteriak frustrasi. "Ini di luar kemampuanku! Kalau menyedot air mungkin, tapi menyedot batu sebesar ini? Itu gila!"
Getot menghela napas berat, merasakan seluruh ototnya pegal linu. Hari itu, ia benar-benar gagal menggerakkan batu besar tersebut. Udhet, melihat kegagalan Getot, hanya menggeram pelan dan merayap pergi. Getot tahu Udhet kecewa, dan itu membuatnya merasa lebih frustrasi. Malam itu, ia beristirahat dengan pikiran kalut, membayangkan ejekan Udhet.
Keesokan harinya, Getot kembali ke hadapan batu besar itu dengan tekad yang lebih membara. Ia tidak ingin lagi diledek Udhet, seperti saat ia kesulitan melompat di lorong bambu. Rasa malu itu menjadi motivasi terbesarnya.
"Baiklah, batu sialan," gerutu Getot, menatap batu itu dengan nyalang. "Kau pikir aku tidak bisa menggerakkanmu? Akan kubuktikan!"
Ia merentangkan telapak tangannya lagi, memejamkan mata, dan mulai memusatkan seluruh konsentrasinya. Ia mengalirkan tenaga dalamnya, membayangkan energinya menarik batu itu. Getot mengerahkan setiap ons tenaganya, melipatgandakan konsentrasi hingga dahi dan pelipisnya berkerut dalam. Napasnya mulai tersengal, namun ia tak peduli.
Beberapa jam berlalu. Matahari di luar gua mungkin sudah bergeser tinggi, tapi di dalam lorong yang temaram ini, Getot hanya merasakan panas yang luar biasa. Tubuhnya mulai mengepulkan asap tipis, seperti yang pernah terjadi saat ia berlatih di lorong lahar. Matanya melotot, pembuluh darah di pelipisnya menonjol, menunjukkan betapa keras ia mengerahkan tenaga.
"Hiiiyyaaaattt...!" Getot menggeram, seolah mengeluarkan seluruh kekuatannya dalam satu hembusan napas.
Perlahan, sangat perlahan, Getot merasakan sesuatu. Sebuah getaran kecil di bawah telapak tangannya. Dan tak lama kemudian, matanya yang melotot menangkapnya: batu itu bergeser! Hanya sedikit, mungkin beberapa inci, tapi itu cukup untuk membuat jantung Getot berdebar kencang.
Namun, harga yang harus dibayar mahal. Tenaga Getot terkuras habis. Tubuhnya limbung, pandangannya berkunang-kunang, dan ia nyaris pingsan. Dengan sisa tenaga, ia mencoba mengatur napas, terengah-engah mencari udara.
Tak lama kemudian, Udhet kembali. Ia merayap mendekat, menatap batu yang kini bergeser sedikit dari posisi semula. Udhet menggeram pelan, lalu menoleh ke arah Getot yang terkapar lemas.
"Grokk grokk," Udhet bersuara, nadanya terdengar mengejek, seolah berkata, "Hanya segitu saja kemampuanmu?"
Getot mendengus kesal. "Apa katamu? Jangan meledekku, Udhet! Kau lihat, aku sampai ngos-ngosan begini! Ini butuh tenaga yang sangat besar, tahu!"
"Grokk," Udhet membalas, seolah berkata, "Memalukan."
"Sialan kau, Udhet!" Getot mengumpat, namun ia tahu Udhet benar. Pergeseran sekecil itu sudah menghabiskan seluruh energinya. Ini jauh lebih sulit dari yang ia bayangkan.
Melihat kondisi Getot yang benar-benar kelelahan, Udhet akhirnya mengalah. Ia tahu Getot sudah berusaha keras, meski hasilnya belum memuaskan.
"Grokk grokk," Udhet menggeram, seolah menyuruh Getot untuk istirahat.
Senyum lega langsung merekah di wajah Getot. "Benarkah? Istirahat dulu? Hahaha, aku senang sekali! Terima kasih, Udhet!"
Getot pun ambruk di lantai, menikmati jeda yang sangat ia butuhkan, meskipun rasa nyeri masih menjalar di sekujur tubuhnya.
Hari ketiga pelatihan dimulai dengan semangat yang tak kalah membara. Getot kembali di depan batu besar, telapak tangan terentang, memusatkan seluruh konsentrasinya. Seperti kemarin, asap mulai mengepul dari tubuhnya. Sedikit demi sedikit, batu itu bergeser lagi, inci demi inci, bergerak mendekat ke arahnya. Namun, setiap pergeseran membutuhkan pengeluaran tenaga yang luar biasa dari Getot. Asap di tubuhnya semakin menebal, menunjukkan intensitas usahanya yang tak main-main.
Akhirnya, batu itu telah bergeser sejauh tiga tombak dari posisi awalnya. Getot menghentikan latihannya. Ia terhuyung mundur, ambruk, dan duduk bersandar di dinding gua, napasnya terengah-engah. Kali ini, ia benar-benar merasa putus asa. Mustahil baginya untuk menarik batu itu hingga menempel di telapak tangannya.
"Sudahlah," gumam Getot lemah, "aku menyerah. Ini terlalu berat."
Namun, di tengah keputusasaan itu, tiba-tiba terdengar suara kepakan sayap. Beberapa kelelawar, teman-temannya dari lorong kelelawar, terbang mendekat. Dengan bahu-membahu, mereka membawa kendi tuak yang tadi malam ia berikan pada mereka. Mereka meletakkan kendi itu di dekat Getot.
Getot terkejut, namun senyum tulus merekah di wajahnya. "Wah, kalian datang!" katanya, suaranya sedikit serak. "Terima kasih, teman-teman. Kalian lebih baik daripada Udhet!" Ia melirik Udhet yang tak terlihat di sana.
"🔊🔊🔊," suara kelelawar terdengar, seolah membalas.
Getot pun meneguk tuak itu, merasakan kehangatan yang menyegarkan tubuhnya. Salah satu kelelawar terbang melayang, lalu bertengger di pundak Getot. Ia mulai membisikkan sesuatu, suara ultrasoniknya hanya bisa dipahami oleh Getot berkat ilmu panca indranya.
"🔊🔊🔊🔊," bisik kelelawar itu.
Getot mengerutkan dahi, mencoba mencerna bisikan itu. Batu itu punya nyawa? Dan ia bisa melihat auranya dengan panca indra? Jika ia berhasil melihat aura itu, batu itu akan mudah digerakkan?
Awalnya, Getot sedikit tak percaya. Tapi, dorongan untuk berhasil dan keyakinan pada teman kelelawarnya membuatnya mengumpulkan sisa-sisa tenaganya. Ia kembali mengambil posisi, merentangkan telapak tangan ke arah batu, dan memejamkan mata. Kali ini, ia tak hanya mengerahkan tenaga dan konsentrasi, tapi juga menggunakan panca indranya.
Ia merasakan indra-indranya terbuka lebar. Suara-suara dari kejauhan, yang sebelumnya samar, kini terdengar jelas seolah berada di sekelilingnya. Suara gemericik air, bisikan angin di lorong jauh, bahkan detak jantung kelelawar yang bertengger di pundaknya.
Getot membuka mata dan fokus menatap batu itu. Pada pandangan pertama, tak ada yang aneh. Hanya batu biasa. Namun, setelah ia meningkatkan kembali fokus panca indranya, barulah ia melihatnya: sebuah aura keperakan samar mengelilingi batu besar itu.
Tanpa basa-basi lagi, Getot mengerahkan jurus Banyu Hitamnya, mengalirkan energi ke arah aura keperakan itu. Dan keajaiban terjadi. Batu besar itu tiba-tiba melesat cepat dan menempel dengan kuat di telapak tangannya, seolah tak memiliki bobot sama sekali!
"Berhasil!" seru Getot kegirangan, napasnya tersengal namun hatinya penuh kemenangan. "Aku berhasil, teman-teman kelelawar! Terima kasih, terima kasih banyak!"
Kelelawar di pundaknya berbisik lagi. "🔊🔊🔊🔊."
Kelelawar itu memberi petunjuk agar Getot mengerahkan seluruh tenaga dalamnya untuk menghentakkan batu itu ke dinding gua. Getot mengerti. Ini adalah ujian terakhir untuk melihat seberapa besar peningkatan jurus Banyu Hitamnya.
Getot mengumpulkan tenaga dalamnya ke arah telapak tangannya yang menggenggam batu. Aura keperakan di batu itu kini menyala lebih terang, berpadu dengan energi yang Getot pancarkan. Setelah semua tenaga terkumpul, ia menghentakkan seluruh kekuatannya, mendorong batu itu dengan dahsyat ke arah dinding gua.
Batu itu melesat cepat seperti anak panah.
Wusss
BUMMM!
Sebuah ledakan dahsyat terjadi saat batu itu menghantam dinding gua. Getaran hebat mengguncang seluruh lorong. Dinding batu itu hancur lebur bersamaan dengan batu yang menghantamnya, berubah menjadi puing-puing kecil dan debu.
Setelah debu mereda, terlihatlah sebuah lubang yang lumayan dalam di dinding gua, bekas dari ledakan dahsyat itu. Getot menatap hasil karyanya dengan kagum. Ia tak menyangka jurus Banyu Hitamnya bisa sekuat itu.