Maura, gadis lugu dari kampung dengan mimpi besar di kota, bekerja sebagai pengasuh nenek dari seorang milyader muda bernama Shaka Prawira. Tak disangka, Maura juga ternyata mahasiswi di universitas milik Shaka. Di balik sikap dinginnya, Shaka menyimpan perhatian mendalam dan mulai jatuh cinta pada Maura—meski ia sudah memiliki tunangan. Terjebak dalam cinta segitiga, Maura harus memilih antara impian dan perasaannya, sementara Shaka berkata,
"Aku sangat menyukaimu, Maura. Aku ingin kau ada saat aku membutuhkanku."
“ anda sudah bertunangan tuan ,saya tidak mau menyakiti hati wanita lain .”
“ Kau tidak akan menyakitinya sayang ,Thalita urusanku ”.
Namun, apakah cinta mampu mengalahkan janji dan status?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mira j, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 6
Langit mulai meredup saat Maura turun dari bus. Ia menyesuaikan tali tasnya dan menatap sekeliling. Restoran yang disebut Nenek Margaret tampak elegan namun tenang, dengan jendela besar yang memancarkan cahaya hangat dari dalam.
Maura melangkah pelan ke depan pintu restoran, lalu berdiri sejenak sambil celingukan, mencari sosok Nenek Margaret dari balik kaca. Namun, ia tak langsung menemukannya.
Seorang pelayan perempuan, dengan dandanan rapi dan senyum ramah, menghampirinya.
“Selamat sore. Anda nona Maura, ya?”
Maura sedikit terkejut.
“Iya, saya Maura.”
“Nenek Margaret sudah menunggu Anda. Silakan ikut saya.”
Maura mengangguk dan mengikuti pelayan tersebut masuk ke dalam restoran. Aroma kopi dan pastry segar langsung menyambutnya, menenangkan pikirannya yang sejak tadi sedikit gugup.
Mereka berjalan melewati beberapa meja, hingga sampai di pojok ruangan dekat jendela, tempat seorang wanita tua duduk anggun dengan secangkir teh di hadapannya.
Nenek Margaret, mengenakan blus putih lembut dan syal rajut berwarna pastel, menoleh saat melihat Maura mendekat. Senyum hangat langsung menghiasi wajahnya.
“Maura sayang, akhirnya kamu datang juga.”
Maura tersenyum tulus dan membungkuk sedikit dan mengulurkan tangan, nenek Margaret menyambut uluran tangan maura. maura segera mencium tangan tua dengan lembut
“Maaf ya, Nek. Tadi kuliahku agak molor.”
“Tidak apa-apa. Duduklah, sayang. Nenek sudah pesan camilan kesukaanmu. Sekarang karena kamu sudah datang kamu pesen makanan yang kamu suka ,pasti lapar kan?”. nenek Margaret sambil memanggil pelayan untuk menyajikan makanan yang enak .
Maura tersenyum hangat dan duduk. Tapi jauh di dalam hatinya, ia merasa ada sesuatu yang berbeda hari ini. Tempat ini terasa terlalu mewah untuk sekadar pertemuan biasa.
Namun, Maura mengesampingkan rasa penasarannya sejenak dan mulai menikmati suasana restoran .
Maura dan Nenek Margaret duduk berhadapan. Di antara mereka tersaji sepiring pastry dan dua cangkir teh hangat. Mereka berbincang akrab, tawa kecil Maura terdengar sesekali saat Nenek Margaret bercerita tentang masa mudanya yang penuh petualangan.
Suasana terasa hangat… sampai suara nyaring dan sinis memecah keheningan.
“Eh, aku nggak salah lihat kan? Gadis kampung bisa-bisanya duduk santai di restoran mahal kayak gini?”
Maura menoleh pelan. Wajahnya menegang begitu melihat sosok yang berdiri di samping mejanya—Megan. Perempuan yang mengerjai nya di klub malam hingga mabuk ,dan juga mahasiswi kampus nya. Megan tampil mencolok dengan dress ketat dan make up tebal, senyumnya miring dan penuh sindiran.
“Gimana, Maura? Kemarin malam kamu dapet tip besar ya, sampai bisa makan di tempat orang-orang elit? Apa kamu ngerjain ‘tamu spesial’ sampai dikasih bonus segede itu, hah?”
Suasana restoran mendadak hening. Beberapa tamu melirik ke arah mereka. Maura menggigit bibir bawahnya, menahan amarah dan rasa malu yang mendesak naik ke tenggorokannya.
“Megan, cukup,” ucapnya pelan tapi tegas.
Tapi Megan tak berhenti.
“Atau jangan-jangan... kamu sekarang piaraan orang kaya, ya? Makan enak, pakai baju bagus. Wah, cepat juga kamu naik level.”
Maura hendak berdiri, namun sebuah suara lain menghentikan semuanya.
“Kamu siapa, dan apa hakmu bicara seperti itu pada cucu saya?”
Suara Nenek Margaret terdengar tajam, berbeda dari tadi. Wajahnya yang ramah kini berubah menjadi penuh wibawa dan kemarahan. Sorot matanya mengunci Megan.
Megan terdiam, terkejut. “C-cucu…?”
Margaret berdiri perlahan, tetap anggun, tapi sorot matanya menusuk.
“Kalau kamu tidak tahu caranya bersikap sopan di tempat umum, lebih baik kamu keluar sebelum saya memanggil manajer restoran ini.”
Megan terdiam sejenak, lalu menatap Maura dengan pandangan tajam sebelum mendengus kesal dan berbalik pergi.
Setelah Megan keluar, Maura masih terdiam. Tangannya sedikit bergetar.
Margaret menoleh padanya, kini dengan suara lembut.
“Maura… kamu tidak perlu malu. Orang seperti dia tidak layak menentukan nilai dirimu.”
Maura hanya bisa mengangguk pelan, menahan air mata.
Setelah Megan pergi dan suasana kembali tenang, Nenek Margaret menatap Maura dengan lembut. Sorot matanya menyiratkan kekhawatiran yang tulus.
“Maura sayang… nenek mau tanya, sebenarnya ada apa? Kamu terlihat sangat lelah, dan jelas tadi kamu sedang menahan sesuatu.”
Maura menunduk, menatap teh yang sudah dingin di hadapannya. Ia menghela napas panjang, lalu mulai bercerita.
“Kemarin malam… aku mengalami kejadian yang… membuatku sadar, tempatku bekerja bukan tempat yang aman. Aku merasa dijebak. Ada seseorang yang mencoba memaksaku melakukan sesuatu yang tidak pantas. Aku berhasil keluar… tapi sejak itu, aku memutuskan berhenti dari pekerjaan itu.”
Nenek Margaret menggenggam tangan Maura dengan lembut, penuh empati.
“Kamu gadis yang kuat, Maura. Nenek bangga kamu bisa mengambil keputusan itu.”
Maura tersenyum tipis, menahan emosi.
“Sekarang aku sedang mencari kerja baru. Aku tahu hidup di kota besar seperti ini tidak murah, tapi aku tidak mau bergantung pada orang lain.”
Margaret diam sejenak, lalu menghela napas pelan.
“Nenek tinggal sendiri di rumah besar itu. Seringkali merasa sepi, kesepian. Nenek suka sekali kalau kamu mau tinggal bersama nenek.”
Maura buru-buru menggeleng.
“Terima kasih, Nek… tapi aku harus tetap mandiri. Aku harus kerja untuk biaya kuliah dan hidupku sendiri.”
Nenek Margaret tersenyum bijak.
“Kalau begitu, bagaimana kalau kamu tinggal bersama nenek… bukan cuma menumpang, tapi bekerja sebagai perawat pribadi nenek? Gajinya layak, kamu tetap punya waktu kuliah, dan kamu bisa tinggal di rumah nenek tanpa rasa sungkan.”
Maura terdiam. Tawaran itu terdengar sangat menggiurkan, tapi juga hangat. Ia merasa dihargai, bukan dikasihani.
“Kamu gadis yang jujur dan baik hati, Maura. Nenek butuh seseorang yang bisa dipercaya. Dan kamu adalah pilihan nenek.”
Perlahan, Maura mengangguk, matanya mulai berkaca-kaca.
“Kalau nenek memang yakin… aku akan terima. Tapi… aku janji akan tetap bekerja dengan sungguh-sungguh.”
Margaret tersenyum, lalu menggenggam tangan Maura lebih erat.
“Mulai sekarang, kamu bukan sendiri lagi.” setelah makan nenek Margaret mengajak maura langsung pulang kerumah nenek Margaret. Karena di kosan pun maura juga sendirian.
*
*
*
Malam itu, kota masih sibuk dengan hiruk-pikuk khas metropolitan, namun di dalam sebuah hotel mewah bintang lima di pusat kota, atmosfer terasa berbeda. Ballroom luas yang biasanya kosong kini bersinar oleh cahaya lampu gantung kristal, dan diisi oleh tawa serta percakapan lembut dari para tamu undangan berpakaian glamor.
Perayaan malam itu adalah pesta ulang tahun salah satu perusahaan besar rekanan bisnis Darmawan Group. Acara ini bukan hanya sekadar perayaan, tapi juga ajang unjuk kekuatan, eksistensi, dan koneksi bagi para pemain besar di dunia korporasi.
Para tokoh penting dari berbagai sektor—keuangan, properti, bahkan politik—berkumpul dalam satu ruangan. Musik jazz klasik terdengar mengalun dari sudut ruangan, memperkuat kesan eksklusif dan elegan. Pelayan-pelayan hotel berlalu-lalang membawa nampan berisi wine mahal dan makanan pembuka berkelas.
Di tengah keramaian dan kilauan kamera, pintu utama ballroom terbuka.
Shaka Prawira memasuki ruangan dengan gaya khasnya—dingin, tenang, namun penuh wibawa. Setelan jas hitam yang pas tubuh, sepatu kulit mengkilap, dan jam tangan mahal melengkapi tampilannya yang nyaris sempurna. Di sampingnya, berjalan Thalita, tunangannya, yang malam itu tampil memesona dalam gaun merah marun berbelahan tinggi. Wajahnya flawless, senyumnya ramah, dan langkahnya anggun, benar-benar pantas menjadi pasangan publik figur seperti Shaka.
Kehadiran mereka seketika mencuri perhatian.
“Itu Shaka Prawira dan Thalita, pasangan paling cocok di dunia bisnis saat ini,” gumam salah satu tamu wanita.
“Mereka seperti simbol kekuatan dan kesuksesan,” timpal rekannya.
Thalita tersenyum anggun ke arah para tamu, memainkan perannya dengan sempurna. Ia melingkarkan tangannya di lengan Shaka, seolah ingin memastikan bahwa semua orang tahu mereka datang sebagai satu paket—kuat, kaya, dan berpengaruh.
Namun dari sorot mata Shaka, ada yang berbeda malam itu. Wajahnya tetap tenang dan ramah, tapi matanya tampak jauh, seolah pikirannya tak sepenuhnya berada di tengah keramaian itu. Setiap percakapan dengan kolega hanya ia tanggapi sepintas, seolah semuanya hanyalah formalitas.
Thalita mulai menyadarinya.
“Kau kelihatan gelisah,” bisiknya lirih saat mereka berpindah dari satu meja ke meja lain.
“ Aku hanya sedang banyak pikiran .” Jawab Shaka singkat.
Pesta malam itu berlangsung dengan sangat meriah. Gelas-gelas wine bersulang, Shaka tengah berbincang serius dengan dua rekan bisnisnya dari sektor properti. Wajahnya tenang, matanya fokus, sementara senyum formal tak pernah lepas dari bibirnya.
Thalita, yang berdiri anggun di samping Shaka, perlahan menepuk lengannya dengan manja. “Sayang, aku ke toilet sebentar,” bisiknya pelan.
Shaka menoleh sekilas, mengangguk. “Hati-hati.”
Dengan langkah elegan, Thalita berjalan menyusuri lorong menuju toilet yang berada di sisi utara ballroom. Ruangan itu cukup sepi karena sebagian besar tamu masih sibuk bersosialisasi. Suara sepatunya menggema pelan di marmer putih.ia masuk untuk mengelurakan hajat nya.
Beberapa saat kemudian, pintu toilet wanita terbuka. Thalita keluar dengan wajah dek yang tetap rapi, makeup-nya sempurna seperti belum disentuh waktu. Namun matanya bergerak cepat, mencari seseorang. Dan tak lama kemudian, seseorang memang sudah menunggunya.
Seorang pria muda dengan setelan abu-abu gelap berdiri bersandar di dinding dekat toilet. Pria itu tampan, dengan sorot mata tajam dan senyum nakal yang sudah dikenalnya sangat baik.
“Thalita,” ucap pria itu lembut namun tegas.
Thalita memeriksa sekeliling, memastikan lorong itu kosong. Tak ada pelayan, tak ada tamu.
Tanpa sepatah kata pun, ia menarik tangan pria itu masuk kembali ke dalam toilet. Pintu terkunci. Di dalam ruangan kecil itu, mereka segera larut dalam kecupan yang penuh hasrat, seolah waktu tak pernah cukup untuk keduanya. Tangan Thalita memeluk erat leher pria itu, sementara punggungnya menempel pada dinding dingin toilet.
Mereka terhanyut dalam keintiman yang dilarang.
“Kenapa kamu sekarang makin susah diajak ketemu, hm…?” bisik pria itu—Nathan, dengan nada sedikit merajuk, masih menahan wajah Thalita dekat dengan miliknya.
Thalita menarik napas, berusaha menjaga suara tetap tenang meski dadanya berdebar. “Karena aku harus bermain peran dengan sempurna, Nathan. Aku harus jadi tunangan yang ideal untuk Shaka.”
Nathan menghela napas keras, frustasi. “Tapi aku benci melihatmu di samping dia. Seolah aku ini siapa, cuma bayangan yang kau temui di tempat tersembunyi?”
Thalita tak langsung menjawab. Ia hanya menatap Nathan dalam-dalam, lalu kembali mengecup bibirnya singkat. “Aku tidak punya pilihan sekarang. Tapi kau tahu hati aku di mana.”
Lalu, sebelum suasana jadi terlalu sentimental, Thalita memperbaiki rambut dan gaunnya di cermin. Dengan dingin, ia membuka pintu toilet. “Tunggu aku nanti malam. Aku kirim alamatnya.”
Nathan tak sempat menjawab. Pintu sudah menutup di hadapannya. Dan wanita itu, kekasih rahasianya—kembali menyusuri lorong pesta, kembali menjadi Thalita sang tunangan sempurna di sisi Shaka Prawira.
Di tengah riuhnya pesta dan percakapan yang belum usai dengan beberapa rekan bisnis, ponsel Shaka bergetar pelan di saku jasnya. Ia melirik layar—nama “Oma” terpampang jelas. Sorot matanya seketika berubah, dari tegas menjadi sedikit melunak.
Ia berjalan menjauh, meninggalkan keramaian dan menuju area balkon yang lebih sepi, lalu mengangkat panggilan itu.
“Halo, Oma…”
Suara di seberang terdengar lirih, sedikit bergetar. “Shaka… Nak… kamu masih sibuk, ya? Oma rindu sekali… Sudah lama kamu tidak pulang ke mansion. Hanya tinggal di apartemen saja. Malam ini… bisa pulang ke rumah, ya? Temani Oma.”
Shaka terdiam sejenak, hatinya tersentuh. Ia tahu betul bagaimana Oma Margaret selalu sabar menunggunya pulang—walau ia kerap terlalu tenggelam dalam dunia bisnis dan pertemuan-pertemuan formal seperti ini.
“Iya, Oma… malam ini aku pulang. Tunggu aku, ya?”
Terdengar napas lega dari seberang. “Terima kasih, Nak…”
Begitu sambungan terputus, Shaka menarik napas panjang. Lalu ia segera bergegas kembali ke tengah pesta, mencari Thalita di antara kerumunan tamu yang masih berdansa dan bercengkerama.
Ia menemukannya di dekat bar, sedang berbincang santai dengan salah satu wanita sosialita yang mereka kenal. Shaka menyentuh pelan bahu Thalita dan berbisik sopan di telinganya.
“Kita pulang sekarang. Aku sudah pamit pada tuan rumah.”
Thalita mengangguk, menyembunyikan rasa kesal yang sempat muncul karena merasa waktunya dengan Nathan jadi terputus. Tapi wajahnya tetap anggun, seperti biasa.
“Baik, Sayang. Ayo.”
Mereka meninggalkan pesta yang masih berlangsung meriah. Namun dalam hati Shaka, ada rasa hangat yang muncul saat membayangkan wajah Oma menyambutnya malam nanti di mansion Darmawan—rumah besar yang kini terasa asing karena jarang ia kunjungi.