Ketika sedang dihadapkan pada situasi yang sangat sulit, Farida Agustin harus rela terikat pernikahan kontrak dengan seorang pria beristri bernama Rama Arsalan.
Bagaimanakah kehidupan keduanya kelak? Akankah menumbuhkan buih-buih cinta di antara keduanya atau justru berakhir sesuai kontrak yang ada?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Velza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6. Berubah
Semalam Rama entah tidur jam berapa sebab menunggu kepulangan sang istri, tetapi karena saking lelahnya dia pun ketiduran di sofa kamar. Pukul 5 pagi, dia terbangun dan masih dengan posisi semalam, yakni berada di sofa. Dilihatnya ranjang yang sudah ada penghuninya yang masih terlelap.
Akibat rasa kecewa dan amarahnya yang baru mereda, Rama memutuskan pergi ke apartemen untuk mandi dan sarapan di sana. Dia pun segera mencuci muka lalu membawa pakaian ganti, serta tak lupa membawa ponsel dan dompetnya. Dia ingin menenangkan diri tanpa bertatap langsung dengan Nadia.
Di tengah perjalanan, Rama mencoba menghubungi Farida setelah kemarin sempat bertukar nomor. Benar saja, tak lama panggilan telepon pun tersambung.
"Ya, Tuan. Ada apa?"
"Siapkan air hangat untuk mandi dan buatkan sarapan. Lima menit lagi saya sampai." Tanpa mendengar jawaban dari Farida, Rama langsung mematikan teleponnya sepihak.
Sementara di apartemen, Farida langsung terduduk di ranjang dengan mata yang masih mengantuk. Mulutnya pun sambil mengomel karena permintaan Rama yang mendadak.
"Orang kaya, mah, bebas mau ngapain aja. Tinggal tunjuk dan bicara udah tersedia. Tapi masalahnya di sini aku bukan pembantunya, kenapa mesti bikin repot, sih," gerutu Farida sambil mengacak rambutnya.
Dengan rasa malas, dia pun beranjak dari ranjang kemudian mengikat rambutnya asal. Berjalan menuju kamar mandi menyiapkan air hangat, baru setelah itu dia ke dapur untuk membuat sarapan.
Di dapur ternyata bahan masakan yang tersisa hanya kentang, wortel, dan juga daging. Setelah berpikir beberapa saat, Farida memutuskan untuk membuat sop daging. Sebelum itu, dia mencuci beras lalu memasakanya di penanak nasi sembari memasak lauk.
Dengan cekatan tangan Farida bergerak mengolah bahan masakan tadi dan tak lupa dia mencicipinya. Ketika dirasa sudah pas, dia langsung mematikan kompor setelah sop matang dan menuangnya ke dalam wadah. Selesai membereskan peralatan masak, dia kemudian membuat secangkir kopi untuk Rama.
Tepat usai Farida menyelesaikan masaknya, sosok Rama sudah duduk di kursi ruang makan dengan pakaian yang sudah rapi. Entah sejak kapan datangnya, yang jelas Farida tak mengetahuinya karena sibuk dengan aktivitas di dapur.
"Ini kopinya, Tuan." Farida meletakkan secangkir kopi panas di hadapan Rama.
"Iya, mana sarapannya?" Rama tampak celingukan mencari makanan yang belum terhidang di meja.
"Sebentar, saya ambilkan." Dengan langkah sigap Farida langsung masuk dapur mengambil semangkok sop daging dan sepiring nasi dengan menggunakan nampan.
"Silakan di makan, Tuan, mumpung masih panas."
Farida hendak berbalik kembali ke dapur setelah memberikan sarapan untuk Rama, tetapi langkahnya terhenti karena ucapan Rama. "Temani saya makan."
"Saya?"
"Memangnya ada orang lagi di sini, selain kamu?" tukas Rama dan tanggapi gelengan kepala oleh Farida.
Mau tak mau Farida pun duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan Rama. Sementara Rama langsung menikmati sarapannya pagi ini yang terlihat sangat menggugah selera. Dalam diam, Farida tampak memerhatikan Rama yang begitu lahap makan masakannya.
"Eh, Tuan, tumben minta sarapan, apa istri Tuan tidak memasak?" tanya Farida dengan hati-hati.
Namun, alih-alih menjawab, Rama justru menatap tajam Farida yang langsung terdiam dengan kepala sedikit menunduk. Selesai sarapan, Rama langsung berangkat ke kantor tanpa mengatakan apa pun, membuat Farida hanya melongo menatap kepergiaannya.
"Ish, setidaknya ucapkan terima kasih gitu, main nyelonong pergi aja," omel Farida sambil membereskan meja makan.
"Terima kasih sarapannya, mulai besok buatkan sarapan setiap pagi."
Farida langsung terlonjak kaget mendengar suara Rama yang sedang berdiri di belakangnya.
"T-Tuan, kok, belum pergi. Eh." Seketika Farida menutup mulutnya yang tak sengaja keceplosan.
"Kenapa memangnya? Takut karena saya dengar omelan kamu, iya, 'kan?"
Farida hanya nyengir sambil menggaruk kepalanya yang tak gatal, sedangkan Rama langsung berbalik dan pergi ke kantor setelah tadi kembali untuk mengambil kunci mobilnya yang tertinggal.
"Huh, untung aja nggak ngereog," gumam Farida seraya mengelus dada.
Farida pun lanjut membersihkan apartemen kemudian mencuci pakaian yang kotor.
***
Di kantornya, Rama sedang sibuk berkutat dengan banyaknya dokumen yang menumpuk. Dengan dibantu Revaldi, dia pun segera menyelesaikan pekerjaan yang sudah menanti di meja kerja.
Ketika tengah fokus menghadap laptop, ponsel yang berada di meja kerja itu berdering. Rama mengalihkan sejenak perhatiannya pada laptop lalu beralih melihat ponselnya. Rupanya panggilan masuk dari Nadia. Rama yang masih dikuasai emosi terhadap sang istri, dia pun mengabaikan panggilan tersebut hingga tak lagi terdengar dering dari ponsel.
Dia lantas kembali berkutat dengan pekerjaan, tetapi lagi-lagi ponselnya berdering dan tetap diabaikan. Namun, hingga kesekian kalinya kesabaran Rama pun habis, hingga tanpa melihat layar ponsel dia langsung menjawab panggilan suara tersebut.
"Kamu tahu kalau ini masih jam kerja atau tidak?" bentak Rama.
"Maaf, Tuan, saya cuma mau ngasih tahu kalau dompet Anda tertinggal di saku celana yang ada di keranjang pakaian kotor."
Rama langsung melihat layar ponselnya saat mendengar suara Farida. Benar saja, di layar itu tertera dengan jelas nama si penelepon. Dia pun menepuk dahinya karena sudah salah sangka, mengira yang menghubungi adalah Nadia.
"Iya-iya, maaf saya kira tadi orang yang iseng mengganggu di jam kerja. Nanti siang biar Revaldi yang ke sana untuk mengambil dompetnya."
Seperti biasa, tanpa mendengar jawaban dari Farida, dia langsung mematikan panggilan secara sepihak.
"Nanti siang ambilkan dompetku yang ketinggalan di apartemen Farida. Biar aku yang melanjutkan pekerjaan yang belum selesai ini."
"Baik," jawab Revaldi.
"Satu lagi, Al."
"Apa?" Revaldi tampak mengernyitkan dahinya sembari menatap Rama yang sedang dalam mode serius.
"Jika Nadia datang ke sini, bilang saja kalau aku sedang rapat di luar. Hari ini aku sedang tidak ingin diganggu dan bertemu dengan siapa pun."
"Hem, baiklah." Meski sebenarnya Revaldi bingung, tetapi dia lebih memilih diam daripada harus membuat Rama semakin buruk suasana hatinya.
Akhirnya, mereka pun kembali melanjutkan pekerjaan hingga waktu istirahat siang pun tiba tanpa disadari.
****
Di sisi lain, Nadia terlihat uring-uringan karena tak satupun panggilannya yang dijawab oleh Rama.
"Argh, kamu kenapa, sih, Mas? Nggak biasanya kamu mengabaikan aku kayak gini. Kenapa makin hari sikapmu jadi makin berubah?"
Nadia mengacak-acak tempat tidur hingga seprai dan selimut tak beraturan. Nampaknya dia belum menyadari kesalahan apa yang telah diperbuatnya, sehingga membuat Rama sampai bersikap demikian.
Dalam pikirannya, Rama masih sama seperti dulu yang selalu memberinya kebebasan, tetapi dia juga lupa akan kewajibannya sebagai seorang istri yang kini perlahan membuat Rama merasa lelah dan muak dengan semua yang dijalani. Hidup berumah tangga, tetapi rasanya hampa.