"Om Bima! Apa yang Om lakukan padaku!"
Sambil mengernyitkan dahi dan langkah pelan mendekati Sang Gadis yang kini menjaga jarak waspada dan tatapan setajam silet menusuk netra tajam Bima.
"Seharusnya, Saya yang bertanya sama Kamu? Apa yang semalam Kamu lakukan dengan Alex?"
Bima, Pria yang masih menggunakan handuk sebatas lutut kini menunduk mendekati Laras, Perempuan yang seharusnya menjadi Calon Menantunya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Tiara Pradana Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Penenang
Tatapan nanar Bima melihat Alex yang kini sedang tertidur setelah diberikan obat penenang oleh Dokter.
"Pak Bima," Dokter kembali memanggil, kali ini Bima kembali dengan kesadarannya.
"Menurut Kami sebaiknya, Saudara Alex harus diberikan pendampingan oleh Psikiater.
Melihat tatapan Bima bingung, Dokter kembali menjelaskan.
"Sepertinya kondisi mental Putra Bapak saat ini sedang terguncang. Memang mengalami kecelakaan dan kini harus menerima bahwa Kakinya belum bisa pulih seperti sedia kala terkadang bisa memicu guncangan emosional pada diri seseorang. Memang belum tahap yang mengkhawatirkan namun, alangkah baiknya jika memang Kita antisipasi sejak awal Pak."
Bima menelan salivanya. Getir sekali. Tak menyangka Putranya, Alex kini dirundung malang.
Meski semua yang terjadi mungkin saja sebab kesalahan yang Alex lakukan namun disisi lain, hati Bima masih terenyuh manakala Alex kini mengalami guncangan emosional hingga harus mendapat pendampingan seorang Psikiater.
Setelah berbicara dengan Dokter, Bima keluar ruangan dengan langkah yang gontai.
"Kak, Aku harus bagaimana?" Teringat wajah Ibu Kandung Alex, Bima menyugar rambutnya.
"Mas," Sebuah suara yang Ia kenali, saat kedua netra Mereka bertemu, ada rasa lega, karena Ia tak sendiri.
Di kursi sebuah Kafe, Laras sengaja duduk sedikit di pojok agar keduanya bisa berbicara dengan leluasa.
Semula Bima enggan meninggalkan rumah sakit, namun Laras meyakinkan, bahwa Bima butuh istirahat. Pikirannya saat ini sedang lelah. Butuh penyegaran.
"Maafkan Mas Sayang, Mas malah tidak sempat melihat perjuanganmu saat Sidang. Mas,"
Laras meletakkan telunjuknya di bibir Bima. Bisa Laras rasakan bibir lembut Suaminya bergetar, menahan nangis demi tetap kuat karena Ia adalah seorang Ayah.
"Aku gapapa. Justru yang Aku khawatirkan adalah Mas."
Bukan alasan Laras membawa Bima menepi sejenak, Laras yang tak mendapat kabar dari Bima menghubungi Assisten Bima Faka dan Anita, keduanya mengatakan bahwa Bima tadi langsung ke Rumah Sakit saat menerima telepon.
Laras segera menyusul Bima. Hatinya merasa ada sesuatu dan harus menyusul.
Dan firasat Laras benar, Alex mengamuk dan Laras bisa melihat bagaimana sorot kesedihan begitu terasa dari kedua netra sendu milik Bima.
"Mas, jangan ragu untuk nangis dihadapan Aku. Aku tahu Mas capek. Mas sudah banyak berkorban. Gapapa Mas menangis sebentar, itu gak buat Mas lemah kok,"
"Ikut Mas!"
Bima mengajak Laras meninggalkan Kafe dan membawa mobil perlahan.
Laras sengaja tak bertanya. Membiarkan Bima menyalurkan dan menyusun kata yang akan Ia ceritakan.
Terkadang ada bangak kemelut dalam hati hingga bibir menjadi kelu dan lisan seakan bisu.
Bima mematikan mesin mobilnya. Laras melihat sekeliling pemandangan dengan gamparan daun Teh hijau memanjakan mata terasa sejuk membelai semilir angin yang menyapa kulit Laras.
"Ayo," Bima mengajak Laras turun, menuntun Istrinya dalam genggaman yang kokoh namun sorot mata Bima masih teduh.
Laras menatap dihadapannya sebuah villa tak begitu besar namun sangat cantik.
"Sore Tuan, selamat datang,"
"Sore Mang, Oh ya perkenalkan, ini Laras, Istri Saya."
"Laras Mang,"
"Panggil saja Mang Ujang. Masha Allah Tuan, meuni geulis pisan ieu Pamajikanana."
"Iya Mang, makanya Saya nikahin! Cantik!"
Laras semula tak paham kata-kata Mang Ujang seketika merona mendengar pujian Bima.
"Aduh, Mang Ujang ulah ganggu penganten anyar, mangga Tuan sudah Mang Ujang siapkan. Mari Nyonya. Selamat istirahat."
Mang Ujang pamit dan Bima mengajak Laras masuk ke dalam Villa miliknya.
"Mas, ini Villa Mas ya?" Laras duduk di sofa, memperhatikan sekeliling, rupanya nuansa putih begitu mendominasi Villa milik Bima.
"Iya. Kamu suka gak?" Bima duduk disebelah Laras, menyandarkan kepalanya dibahu Laras.
Laras tahu, sejak tadi pikiran Bima masih bercampur baur. Hatinya tak sepenuhnya berada disini.
"Mas," Laras menggenggam jemari Bima, membaaanya diatas pangkuannya.
"Mas gak harus selalu kuat, tapi Aku tahu Mas adalah Ayah yang baik, bahkan terbaik."
"Mas, hanya merasa gagal sebagai orang tua, sebagai Ayah bagi Alex."
"Mas," Laras memutar tubuhnya, Netra Mereka saling pandang. Laras bisa melihat, kekecewaan dan kesedihan Bima dalam sorot mata teduhnya.
"Mas harus tahu, sekarang Mas gak sendirian. Ada Aku, Kita sama-sama lewati ini ya. Jangan merasa sendirian lagi, ada Aku."
Bima membawa Laras dalam dekapannya. Hangat dan erat.
"Terima kasih Sayang, Kamu hadir dalam hidup Mas, meski Mas mungkin bukan yang terbaik untuk Kamu."
"Mas itu yang terbaik dari yang terbaik. Dan Aku beruntung, bisa putus dari Alex dan menikah dengan Papanya."
Bima mengurai pelukan Mereka, ditatap wajah cantik Laras yang kini tersenyum manis sekali.
CUP!
Bima membulatkan mata, kali ini Laras lah yang memulainya.
"Maaf Mas, maklum belum mahir!" Laras tahu Ia masih canggung namun nalurinya untuk menghibur Bima menggerakkan malu yang biasanya mendominasi kini Ia tepis.
"Mas ajarin biar makin mahir!"
Ciuman keduanya tak hanya sekedar penyaluran hasrat namun sebuah bentuk komitmen bahwa keduanya saling menerima dan membutuhkan.
Tak peduli hujan badai dan dadakan bagai tahu bulat, Bima dan Laras sama-sama meraba perasaan yang mungkin sudah mulai bersemi.
"Mas Bima," Desahan Laras lolos begitu saja saat tangah Bima mulai menelusuri lekuk indah Laras yang tak menolak namun masih menyesuaikan irama yang belum pernah Ia rasakan sebelumnya.
"Ini yang peetama bagimu, dan juga bagiku, maka nikmati saja irama cinta Kita, dan Mas harap akan hadir keturunan Kita berdua yang sholeh dan sholeha,"
Laras merasa ambigu dengan kata-kata Sang Suami namun gelombang kenikmatan yanh tak Ia pahami namun memberi sensasi tak terlukiskan kata hanya mampu dirasakan dalam pejaman mata menahan segala rasa yang melebur, membara dan bergairah.
Laras akui, Bima begitu hati-hati dan lembut memperlakukannya. Bagai porslen kaca Bima begitu perlahan menyusuri setiap jengkal mahakarya Tuhan yang tiada duanya.
"Boleh?" Tatapan Sayu Bima memastika apakah Laras ikhlas gerbang Kesuciannya disinggahi Bima untuk peetama kalinya.
Anggukan Laras menciptakan senyum dan semangat dalam dada Bima.
Sejak lama Ia mendamba namun tak pernah tahu akan dimana semua gejolak halal ini akan bermuara, taoi kini lembah halalnya siap disinggahi dengan rasa ikhlas dan penerimaan.
"Mas," Laras mengernyit, menahan sensasi perih dan rasa tak nyaman diawal, namun Bima bisa membawa diri dan membuat Laras akhirnya turut larut dalam suasana romansa yang tercipta.
Sulit. Maklum baru pertama. Begitulah rasa keduanya yang tak jera mengekplorasi segala gaya dan cara hingga tercapailah sesuatu yanh disebut sebagai surga dunia.
Dengan nafas masih menggebu, Bima menatap wajah tersengal Laras, "Sayang, sakit?" Bima mengusap peluh di dabi Laras, mengecupi wajah Sang Istri yang kelelahan setelah pertarungan.
Anggukan Laras namun disertai senyuman yang membuat Bima semakin bangga akan Perempuan yang kini telah menjadi Istri Seutuhnya.
"Makasi Sayang, Kamu luar biasa."
"Mas, itu kok bangun lagi?"
"Si Jhony Baperan Sayang, Yuk!"
"Lagi?"
"Ehem!"
"Capek!"
Tawa Bima menyeruak, menarik Laras dalam dekapannya, seakan takut hilang dan tak rela melepaskan. "Istirahat dulu. Bobo ya! Besok lagi!"
"Mas Bima! Omesh!"
jd gak bosan baca nya..
aaaa.. dasar kerak telor 🤣🤣🤣
sekarang lagi benci" nya...
lama" dua insan ini
bucin.....
lanjut thor ceritanya
di tunggu up nya