Jae Hyun—seorang CEO dingin dan penuh perhitungan—menikahi Riin, seorang penulis baru yang kariernya baru saja dimulai. Awalnya, itu hanya pernikahan kontrak. Namun, tanpa disadari, mereka jatuh cinta.
Saat Jae Hyun dan Riin akhirnya ingin menjalani pernikahan mereka dengan sungguh-sungguh, masa lalu datang mengusik. Youn Jung, cinta pertama Jae Hyun, kembali setelah pertunangannya kandas. Dengan status pernikahan Jae Hyun yang belum diumumkan ke publik, Youn Jung berharap bisa mengisi kembali tempat di sisi pria itu.
Di saat Jae Hyun terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya, Riin mulai mempertanyakan posisinya dalam pernikahan ini. Dan ketika Seon Ho, pria yang selalu ada untuknya, mulai menunjukkan perhatian lebih, Riin dihadapkan pada pilihan: bertahan atau melepaskan.
Saat rahasia dan perasaan mulai terungkap, siapa yang akan bertahan, dan siapa yang harus melepaskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Coffeeandwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
When Loss Strikes Without Warning
Lorong rumah sakit itu sunyi, hanya sesekali terdengar suara perawat yang lewat sambil mendorong troli berisi perlengkapan medis. Aroma antiseptik tercium memenuhi udara.
Ah Ri mempercepat langkahnya, sepatu hak pendek yang dikenakannya berdetak pelan di lantai keramik. Di tangannya, ponsel masih menampilkan pesan singkat dari Seon Ho tentang lokasi ruang rawat inap Riin. Semakin dekat ke koridor yang disebutkan, jantungnya berdegup semakin kencang, dihantui kecemasan yang sulit dijelaskan.
Begitu melihat Seon Ho duduk menunggu di bangku kayu panjang di sudut koridor, Ah Ri langsung menghampiri pria itu.
"Seon Ho-ssi!" serunya sedikit terengah. "Di mana Riin dan Jae Hyun?"
Seon Ho, yang terlihat jauh lebih lelah daripada biasanya, bangkit dari duduknya dan menunjuk ke pintu kamar di depannya. Wajahnya suram, tatapannya mengisyaratkan sebuah beban yang berat. "Mereka ada di dalam."
"Kalau begitu, aku masuk dulu," ujar Ah Ri cepat, lalu mengetuk pintu perlahan.
Suara berat Jae Hyun dari dalam mempersilakannya masuk.
Ah Ri membuka pintu dengan hati-hati. Aroma obat-obatan lebih pekat di dalam ruangan. Cahaya lampu redup hanya menyinari separuh ruangan.
Di ranjang putih itu, Riin berbaring lemah. Wajahnya pucat, matanya sayu, namun ia berusaha tersenyum begitu melihat Ah Ri masuk. Di sampingnya, Jae Hyun duduk di kursi, satu tangan memegang erat tangan Riin, seolah tak ingin melepaskannya sedetik pun.
Ah Ri mendekat, menahan air matanya agar tidak jatuh di hadapan sahabatnya. Ia berdiri di sisi ranjang, meraih tangan Riin yang bebas.
"Riin~a..." panggilnya pelan, suaranya bergetar. "Aku minta maaf... harusnya tadi aku juga segera mencarimu... Aku_aku terlalu fokus membantu evakuasi, aku pikir kau sudah aman bersama yang lain..."
Riin menggeleng pelan. Gerakannya lambat, lemah.
"Ini bukan salahmu..." gumamnya, tersenyum kecil. "Semua orang pasti panik dalam situasi seperti itu. Aku saja yang ceroboh... aku yang terlalu lambat keluar."
Suaranya pelan, lemah. Mendengarnya membuat dada Ah Ri terasa semakin sesak. Ia menunduk, memejamkan matanya sejenak, berusaha mengusir rasa bersalah.
Melihat suasana yang mulai terasa tidak nyaman, Jae Hyun dengan tenang mengambil alih percakapan, suaranya tegas namun tetap lembut. "Bagaimana situasi di kantor?" tanyanya memecah keheningan. Ia tidak ingin Riin kembali tenggelam dalam rasa bersalah atau kesedihan apalagi bertanya tentang apa yang sesungguhnya terjadi padanya.
Ah Ri buru-buru mengangguk, sadar akan maksud Jae Hyun. "Ah iya, aku kesini juga untuk melaporkan itu," jawabnya. "Kondisi sudah lebih kondusif. Gedung sudah dikosongkan, tidak ada korban serius selain beberapa luka ringan. Pihak berwenang sedang menyelidiki sumber kebakaran."
Jae Hyun mengangguk, matanya tetap terfokus pada Riin yang mulai mengantuk karena efek obat bius yang masih tersisa.
"Kita bicara di luar saja," katanya kemudian, berbisik seolah takut mengganggu Riin. "Dia butuh istirahat."
Tanpa membantah, Ah Ri mengangguk setuju.
Jae Hyun membungkuk, membisikkan sesuatu di telinga Riin, suaranya sangat lembut, seperti sedang menghibur anak kecil. "Istirahatlah. Aku akan segera kembali. Jangan pikirkan apa pun, hmm?"
Ia mengecup kening Riin sekilas, sebuah gerakan cepat namun penuh perhatian, dan baru kemudian ia berdiri dan berjalan keluar bersama Ah Ri.
***
Seon Ho segera berdiri begitu melihat sosok Jae Hyun keluar dari ruang rawat inap bersama Ah Ri. Ia memperhatikan wajah Jae Hyun sekilas_tak ada lagi ketegasan dingin yang biasa ia lihat di kantor, yang tersisa hanya kelelahan yang dibungkus dengan lapisan tipis kesabaran.
"Kau masih di sini sejak tadi?" tanya Jae Hyun, suaranya datar namun ada ketegangan samar di balik nada itu.
Seon Ho menunduk sedikit, sikap sopan yang sudah terbiasa ia lakukan di hadapan CEO-nya. "Maaf, aku hanya ingin memastikan kondisi Riin. Apa dia sudah sadar?"
Jae Hyun mengangguk satu kali, gerakan kecil namun cukup untuk membuat Seon Ho menarik napas lega yang sempat tertahan.
"Syukurlah..." gumam Seon Ho tulus, namun di balik itu ada rasa bersalah yang membuat dadanya terasa sesak. Ia merasa gagal melindungi Riin, meski tahu itu bukan tugasnya.
"Masuklah," perintah Jae Hyun kemudian, singkat.
Seon Ho mengangkat alis, khawatir jika ia salah dengar. "Apa?" tanyanya, seakan takut memperjelas keraguannya.
Jae Hyun menatapnya tajam namun bukan tatapan yang ditujukan kepada seorang musuh. "Kau bisa menjenguknya, tapi aku mohon... jangan mengatakan apapun mengenai apa yang dikatakan dokter tadi."
"Tentu." Seon Ho segera mengangguk paham, hatinya bergemuruh campur aduk. "Aku mengerti."
"Dan jangan terlalu lama." Suara Jae Hyun turun setengah oktaf, lebih berat, lebih posesif. "Istriku butuh istirahat."
Seon Ho menahan helaan napas panjang, menundukkan kepala sebagai tanda mengerti sebelum perlahan membuka pintu kamar inap.
***
Seon Ho melangkah pelan, nyaris tanpa suara, tak ingin mengganggu. Ketika Riin membuka matanya dan melihat siapa yang datang, ia tersenyum kecil, lemah namun tulus.
"Seon Ho-ssi...," panggil Riin pelan, suaranya serak seperti seseorang yang baru saja melewati badai besar.
Seon Ho tersenyum, berusaha menahan emosi yang nyaris tumpah. "Aku datang hanya untuk memastikan kau baik-baik saja."
"Kau tidak perlu khawatir, aku masih hidup," jawab Riin sambil mencoba bercanda, meski tawa kecilnya terdengar getir. "Sedikit berantakan, mungkin. Tapi masih bernafas."
Seon Ho tertawa kecil, duduk di kursi di samping ranjangnya. Ia memperhatikan wajah Riin, mencari tanda-tanda luka, namun ia hanya menemukan sorot mata yang tampak kosong.
"Jangan memaksakan diri untuk terlihat kuat di depanku," katanya, suaranya lembut, penuh perhatian. "Kalau kau ingin menangis... aku ada di sini."
Riin tersenyum lagi, lebih hangat, tapi tetap ada kesedihan yang tak bisa disembunyikan. "Kalau aku menangis sekarang, aku takut tidak akan bisa berhenti."
"Kau tidak perlu menahan apa pun," bisik Seon Ho, menahan keinginan kuat untuk meraih tangan Riin, namun ia menahan diri. Ia tahu batasnya, dan ia bertekad tidak akan melewatinya.
"Semua orang pasti merasa takut dalam situasi seperti tadi... Aku juga," ujar Riin lirih. Ia menatap langit-langit, seolah mencari kekuatan dari sesuatu yang tidak terlihat. "Tapi... aku bersyukur, setidaknya... aku masih di sini."
Seon Ho menundukkan kepalanya, merasakan ada sesuatu yang berat di dadanya. Ia ingin mengatakan yang sebenarnya_tentang apa yang telah terjadi pada Riin_tapi ia mengingat janjinya kepada Jae Hyun. Ia memilih tersenyum alih-alih berkata jujur. "Kau akan segera pulih," katanya yakin. "Kau selalu lebih kuat daripada yang kau kira."
"Terima kasih sudah datang," bisik Riin, matanya mulai berair namun ia menahan diri untuk tidak menangis.
Seon Ho bangkit perlahan, membenarkan selimut di tubuh Riin dengan gerakan hati-hati, hampir seperti ritual kecil untuk menunjukkan rasa peduli yang tak pernah bisa ia ungkapkan dengan kata-kata.
"Tidurlah. Kau butuh istirahat," ucap Seon Ho lembut sebelum akhirnya berjalan keluar, menahan rasa sakit yang menggerogoti hatinya.
***
Di luar, Ah Ri yang duduk di sebelah Jae Hyun. "Kenapa kau membiarkannya menemui Riin?" tanya Ah Ri akhirnya, suara seraknya nyaris tenggelam oleh suara mesin infus di balik dinding.
Jae Hyun menatap lurus ke depan, matanya tampak jauh. "Anggap saja... aku sedang melunak dan berbaik hati," katanya datar. "Lagipula, kita punya hal penting untuk dibicarakan. Tidak ada waktu untuk cemburu."
Ah Ri mengangguk kecil, memahami betapa Jae Hyun tengah menahan badai besar di dalam dirinya. "Kalau begitu aku langsung jelaskan intinya," ucap Ah Ri sambil menarik napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya.
Ia lalu melaporkan kondisi kantor dengan detail: kebakaran yang cukup parah, kerugian yang besar, gedung yang rusak, namun sebagian arsip dan server masih dapat diselamatkan. Kantor, meski rusak, belum sepenuhnya hancur.
Jae Hyun mendengarkan dengan serius. "Hubungi pihak asuransi dulu," katanya setelah berpikir sejenak. "Pastikan sejauh mana kerusakan yang akan mereka tanggung. Untuk sisanya, aku akan gunakan tabungan pribadiku. Kantor harus pulih secepat mungkin. Banyak orang yang menggantungkan hidup mereka pada kita."
"Baiklah, besok aku akan langsung mengurusnya," sahut Ah Ri tegas.
"Dan urus juga perawatan Min Gyu," lanjut Jae Hyun. "Pastikan dia mendapatkan perawatan terbaik."
Sebuah senyum kecil muncul di wajah Ah Ri, meski matanya tetap merah. "Inilah alasan kenapa aku tetap bertahan berteman denganmu selama ini. Bahkan di tengah kehancuran, kau masih lebih memikirkan orang lain daripada dirimu sendiri."
Namun Jae Hyun tidak tersenyum. Sebaliknya, matanya memerah, dan suaranya terdengar lirih.
"Sayangnya... aku bahkan gagal melindungi istriku sendiri." Suaranya bergetar. "Aku juga... gagal melindungi calon anak kami."
Kata-katanya menghantam dada Ah Ri seperti pukulan keras. Ia membeku, jantungnya terasa seperti diremas. "Jae Hyun~a..." Ah Ri berbisik, nyaris tidak percaya dengan apa yang ia dengar. "Apa kau bilang? Maksudmu... Riin hamil?"
Jae Hyun menunduk, menyembunyikan wajahnya dengan kedua tangannya. Bahunya bergetar halus. "Dia keguguran... kami kehilangan bayi kami bahkan sebelum kami tahu dia ada..." suaranya pecah.
Untuk pertama kalinya sejak ia mengenal Jae Hyun, Ah Ri melihat sosok pria itu benar-benar hancur. Tangis Jae Hyun nyaris tanpa suara, namun luka di dalam hatinya terasa begitu nyata.
Ah Ri hanya bisa duduk di sana, menahan tangisnya sendiri, menatap sahabatnya yang sedang berjuang dengan rasa bersalah yang mungkin akan menghantui seumur hidupnya.
***