Jae Hyun—seorang CEO dingin dan penuh perhitungan—menikahi Riin, seorang penulis baru yang kariernya baru saja dimulai. Awalnya, itu hanya pernikahan kontrak. Namun, tanpa disadari, mereka jatuh cinta.
Saat Jae Hyun dan Riin akhirnya ingin menjalani pernikahan mereka dengan sungguh-sungguh, masa lalu datang mengusik. Youn Jung, cinta pertama Jae Hyun, kembali setelah pertunangannya kandas. Dengan status pernikahan Jae Hyun yang belum diumumkan ke publik, Youn Jung berharap bisa mengisi kembali tempat di sisi pria itu.
Di saat Jae Hyun terjebak dalam bayang-bayang masa lalunya, Riin mulai mempertanyakan posisinya dalam pernikahan ini. Dan ketika Seon Ho, pria yang selalu ada untuknya, mulai menunjukkan perhatian lebih, Riin dihadapkan pada pilihan: bertahan atau melepaskan.
Saat rahasia dan perasaan mulai terungkap, siapa yang akan bertahan, dan siapa yang harus melepaskan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Coffeeandwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Arguments
Begitu pintu ruang kerja Jae Hyun tertutup, Riin melipat tangan di dada dan bersandar ringan ke meja kerja yang tertata rapi. Hawa pendingin ruangan yang sejuk tak mampu meredakan rasa kesal di dadanya sejak tadi.
“Kau tidak bilang ada guru yang cukup muda di sini. Apa kau senang memiliki banyak penggemar?” sindirnya, menatap Jae Hyun. Nada suaranya ringan, namun tajam seperti pisau.
Jae Hyun mendongak, alis kirinya terangkat. Ia menatap Riin beberapa detik. “Kau mengikutiku hanya untuk mengatakan itu?” tanyanya dingin, kemudian berbalik menatap istrinya. “Kau sendiri terlihat sangat menikmati waktumu bersama dengan Seon Ho, hanya berdua.”
Tatapan Riin semakin kesal. Ia melangkah mendekat, menyilangkan tangan di dada. “Aku hanya bersikap profesional. Kami hanya melakukan pekerjaan sebagaimana mestinya. Bukan menikmati kebersamaan seperti yang kau pikirkan. Berbeda denganmu yang menolak tawaran makan siang dari Min Gyu,” lanjutnya dengan tatapan menantang, “tapi justru menerima bekal buatan rumah dari wanita lain.”
Alis Jae Hyun terangkat sedikit, seolah apa yang dikatakan Riin ada benarnya. Ia melipat lengan di dada, sorot matanya kini dingin namun penuh tuntutan. “Makanan itu tidak sebanding dengan... cara kalian duduk berdekatan, tertawa kecil, saling menatap seperti dunia hanya milik berdua. Apa itu juga bagian dari profesionalitas?”
“Jadi sekarang kau mengatur bagaimana aku duduk saat bekerja?” balas Riin cepat. Suaranya nyaris gemetar karena kesal. “Kau ini pura-pura tidak tahu atau memang benar-benar tidak tahu? Kami sedang membahas layout desain web yang Min Gyu buat—pendekatannya dari sisi editor dan penulis. Fokusku hanya pada pekerjaan. Aku bahkan tidak sadar kapan Ah Ri dan Min Gyu pergi membeli makan siang.”
Hening sejenak. Hanya suara pendingin ruangan yang terdengar. Jae Hyun menghela napas perlahan, tapi tidak melunak.
“Lagipula,” ujarnya, memalingkan wajah sedikit, “bukan salahku kalau aku punya penggemar di sini.”
“Ah, jadi itu alasanmu kenapa kau betah berada disini, ya?” Riin menyipitkan mata, bibirnya melengkung sarkastis. “Karena di sini, kau dikelilingi pujian dan tatapan kagum. Sementara di kantormu sendiri, kau hanya CEO dingin yang sulit didekati.”
Jae Hyun akhirnya menatap istrinya lagi, kali ini dengan gurat letih di wajahnya. “Benar,” katanya lirih. “Setidaknya di sini... ada yang peduli padaku. Bahkan di rumah pun... aku masih harus merindukan perhatian istriku.”
Seketika dada Riin mencelos. Kata-kata itu, walau terucap tenang, mengguncang benteng yang coba ia pertahankan. Namun ia memilih tersenyum pahit. “Kau sendiri yang memintaku menjaga profesionalitas, Sajangnim,” katanya, menekankan jabatan itu dengan nada tajam. “Kupikir aku bisa bicara baik-baik dengan suamiku... tapi ternyata yang kutemui hanya bos arogan yang terlalu sadar dirinya tampan, menyebalkan, dan... digilai banyak wanita.” Ia melangkah mundur, menghela napas panjang. “Kalau begitu, aku permisi. Setidaknya teman-teman lain tidak membuatku merasa seperti telah melakukan kesalahan.”
Tanpa menunggu jawaban, Riin membuka pintu dan melangkah keluar, menyisakan Jae Hyun yang berdiri sendiri di ruangan itu.
***
Langkah kaki Riin terdengar berderap di lorong kantor Colors Publishing, sepatu block heels-nya memantul di atas lantai. Ruangan terasa terlalu rapi, terlalu tenang untuk menampung kekacauan dalam dadanya. Ia menarik napas panjang, mencoba menelan rasa kesal yang menggumpal di kerongkongan.
Begitu memasuki ruang kerja bersama, aroma tinta, kopi, dan kertas menyambutnya seperti biasa. Tapi kali ini, tidak ada yang menenangkan dari suasana itu. Riin menjatuhkan tubuh ke kursi dengan gerakan dramatis dan menghela napas panjang, memutar bahu seperti ingin melepaskan beban yang menempel. "Astaga… pria itu benar-benar menyebalkan!" gumam Riin pelan tapi cukup jelas untuk didengar oleh Seon Ho.
Seon Ho mengangkat wajahnya dari layar laptop dan memutar kursinya perlahan lalu tersenyum tipis. “Sepertinya ada yang tidak berjalan sesuai harapan saat makan siang,” ujarnya sambil berdiri dan melangkah menghampiri meja Riin. Matanya menatap sekilas kotak makan siang yang masih terbungkus rapi di atas meja.
Riin mendengus, menarik tali ikat rambutnya dengan kasar hingga helaian rambut ikalnya jatuh ke bahu. “Tadinya aku ingin menjelaskan semuanya agar dia tidak salah paham, atau minimal kami bisa makan siang bersama,” ujarnya sambil menghela napas berat, “tapi dia justru bersikap sangat menyebalkan. Jika aku tahu akan seperti ini, lebih baik aku makan siang di sini saja tadi.”
Seon Ho tidak langsung menjawab. Ia hanya tersenyum samar sambil meraih kotak makan siang itu dan mulai membukanya perlahan, dengan gerakan hati-hati seolah sedang merawat sesuatu yang rapuh. Tangannya lincah membuka tutup dan menyusun sumpit di sisi kotak. Riin memperhatikannya dalam diam, rasa kesalnya sedikit mereda hanya karena melihat perhatian kecil itu.
“Dia_” Riin membuka suara, mengambil sumpit dari tangan Seon Ho dan mulai menyuap makanannya dengan kesal, “_menolak makan siang dari Min Gyu tapi justru menerima bekal makan siang dari pengajar wanita. Entah kenapa, rasanya aku seperti orang bodoh yang berinisiatif datang hanya untuk bertengkar dengannya.”
Seon Ho menatapnya dalam diam, lalu duduk di sisi mejanya, mencondongkan tubuh sedikit. “Apa kalian bertengkar?”
“Sedikit,” sahut Riin dengan suara lirih, menahan emosi yang membuncah.
Seon Ho mengangguk perlahan, ekspresinya sulit dibaca. Tapi dalam diamnya, ada beban yang dipendam. Ia menunduk sejenak sebelum menatap Riin kembali. “Kau tahu, aku tidak keberatan jika harus menjaga jarak denganmu, Riin. Jika itu membuatmu lebih tenang.”
Baru saja Riin hendak menjawab, sepotong daging yang ia kunyah tiba-tiba tersangkut di tenggorokannya. Ia tersedak, matanya membelalak dan tangannya mencengkeram bagian leher.
“Riin_” Seon Ho langsung bergerak. Ia membuka botol air mineral yang tergeletak di meja tanpa ragu, menyodorkannya cepat ke tangan Riin. “Pelan, minum pelan.”
Riin mengambilnya dengan tangan gemetar, meneguk buru-buru. Setelah beberapa detik, ia berhasil menelan, lalu batuk ringan beberapa kali sambil mengusap dadanya. “Terima kasih…” gumamnya pelan, suaranya masih sedikit serak.
Seon Ho menatapnya lebih lama dari yang diperlukan. Ada kekhawatiran, ada perasaan yang tidak lagi ia sembunyikan. Ia tahu ia tidak berhak, tapi ia juga tahu bahwa perasaan itu belum sepenuhnya padam.
Di meja kerjanya, Min Gyu mengangkat alisnya saat melihat adegan itu. Ia tidak mengatakan apa pun, tapi matanya mengikuti gerak tubuh Seon Ho yang begitu refleks dan penuh perhatian pada Riin.
Ketika Riin menoleh dan tertawa kecil setelah insiden itu, Min Gyu tahu_tidak ada rekan kerja biasa yang menatap seseorang seperti itu. Perhatian Seon Ho bukan sekadar perhatian profesional. Itu lebih dalam. Lebih pribadi. Lebih rumit. "Jadi benar apa yang dikatakan Ah Ri Noona?" gumamnya.
***