Raisa, gadis malang yang menikah ke dalam keluarga patriarki. Dicintai suami, namun dibenci mertua dan ipar. Mampukah ia bertahan dalam badai rumah tangga yang tak pernah reda?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
14
Raisa sekarang mulai mengikuti pengajian rutin di kampung sebelah, dia sekarang kembali ceria . Karena mendapat teman dan lingkungan baru.
"Cantik banget si kamu nak. Jika belum menikah sudah pasti aku jodohkan dengan anak bujang ku." ucap salah seorang jamaah di sana, di ikuti denan gelak tawa semua orang.
Raisa hanya tertawa,pipi nya bersemu mera menahan rasa malu nya. "Ah ibu ini berlebihan sekali."jawab nya malu-malu.
"Eh sa...aku denger ada ustad baru loh dia muda dan tampan!"goda nuri dengan mencolek tangan raisa.
"Kamu ini nur... Tidak ingat anak sama suami di rumah ih." ejek raisa .
"Penyengaran saja sa.."ucap nya lagi dengan sedikit terkekeh.
Raisa hanya tersenyum sambil menggelengkan kepalanya dengan pelan.
Saat asik mengobrol ,ponsel nya berdering. Dengan cepat raisa merogoh ponsel nya dari dalam tas kecil yang selalu ia bawa.
Raisa mengerutkan dahinya, merasa bingung. "Tumben... ada apa ya?" gumamnya.
Nuri yang melihat ekspresi bingung sahabatnya pun bertanya, "Siapa, Sa?"
Raisa menoleh, lalu menyodorkan ponselnya ke arah Nuri. Nuri membaca nama di layar sambil mengernyitkan dahi.
"Risma?" tanyanya memastikan. Raisa hanya mengangguk pelan.
"Ah, biarin aja, Sa. Ngapain tiba-tiba nelpon? Biasanya juga nggak ingat sama kamu," ucap Nuri dengan nada jengkel.
"Tapi, Nur, takutnya ada yang penting," jawab Raisa, sedikit khawatir.
"Diemin aja! Dia istrinya Udin, kan? Pasti sifatnya sama aja!" sela Nuri, terdengar tidak suka.
Raisa terdiam, pandangan nya masih tertuju pada ponsel nya yang masih bergetar ,hingga akhirnya terdiam sendiri.
Raisa merasa ada sesuatu yang aneh, namun dia menepisnya dengan kuat. Saat dia ingin menaruh ponsel nya di dalam tas nya, ponsel nya kembali bergetar.
"Ada apa ya?" gumam nya pelan. Tanpa menundanya lagi raisa langsung memencet tombol biru di layar nya. Dan mendekatkan nya ke arah telinga.
"Halo... Raia.. Maaf menganggu, aku..aku ,tidak tahu harus meminta bantuan kepada siapa lagi." lirih nya pelan ,suaranya begitu remah dan parau.
"Ris..kamu kenapa? Apa terjadi sesuatu?" tanya raisa dengan nada begitu panik.
"Aku keguguran sa.... Dan aku sekarang berada di rumah sakit." jawab nya pelan dengan suara yang begitu lemah.
"Astagfirullah... Rumah sakit mana, aku kesana sekarang ya!" ucap raisa dengan cepat.
"Harapan bunda sa.." isak nya pelan, di sebrang sana.
Dengan cepat raisa mematikan ponsel nya. Dia tergesa- gesa memasukan ponsel nya ke dalam tas. Saat raisa berdiri hendak pergi, nuri menarik tangan nya.
"Mau kemana?" tanya nya penasaran.
"Ada urusan bentar..maaf ya aku harus pergi dulu." bisik nya pelan, dia takut jika ada seseorang yang mendengar.
Raisa sedikit berlari menuju parkiran. Namun, dia tidak begitu fokus melihat jalan, pikirannya hanya tertuju pada tujuan akhirnya.
BRUK!
"Aduh..." Ringisnya pelan sambil memegangi pundaknya yang terasa nyeri.
Dengan cepat, dia berdiri dan menundukkan kepala. "Maaf, Pak... Maaf," ucapnya buru-buru.
Tanpa menunggu jawaban dari pria yang ditabraknya bahkan tanpa melihat wajahnya Raisa langsung berlari lagi, lebih kencang.
Pria itu hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum tipis. "Gadis yang manis," gumamnya pelan.
Raisa berdiri di depan Rumah Sakit Harapan Bunda. Sebelum masuk, dia menghela napas panjang. Rasa khawatirnya semakin besar mengingat kondisi iparnya.
Dia melangkah cepat tanpa memedulikan kemungkinan bertemu mertua dan keluarganya di dalam. Baginya, yang paling penting sekarang adalah Risma.
"Assalamualaikum," ucapnya pelan sambil membuka pintu kamar tempat Risma terbaring.
"Waalaikumsalam," jawab Risma, diikuti kedua orang tuanya.
Raisa mengerutkan dahi. Tidak ada suami Risma, juga keluarga dari pihak suaminya. Dengan langkah perlahan, dia mendekati Risma yang terlihat lemah.
"Yang lain ke mana?" tanyanya heran.
"Berharap apa dari mereka, Neng? Bahkan saat Risma harus dikuret, tidak ada satu pun yang peduli," jawab ibu Risma dengan suara penuh kekecewaan.
"Apa?" lirih Raisa, terkejut sekaligus sedih.
"Iya, Sa..." jawab Risma dengan suara serak.
Raisa duduk di kursi di samping ranjang. Tangannya meraih tangan Risma, menggenggamnya erat, berusaha menguatkan. Namun, alih-alih tenang, Risma justru menangis di pelukannya.
"Menangislah, Ris. Aku tahu ini berat... Aku tahu ini pasti sangat sakit," ucapnya lirih. Tanpa sadar, air matanya juga ikut jatuh.
Ruangan menjadi hening. Hanya isakan tangis mereka yang terdengar.
"Mereka benar-benar keterlaluan, Nak," keluh Bu Noni pilu.
Raisa mendongak, menatap ibu Risma dengan heran. Ia memilih diam, menunggu kelanjutan perkataan sang ibu.
"Risma mengalami sakit perut hebat saat berada di rumah mertuanya. Dia mengadu, tapi hanya dianggap cengeng. Dia kesakitan sendirian. Saat meminta izin ke Udin untuk berobat, suaminya malah melarang. Katanya, uang dari mana untuk bayar rumah sakit?" jelas Bu Noni dengan suara bergetar.
Raisa melepaskan genggamannya dari tangan Risma, lalu memeluk ibu Risma dengan lembut.
"Kamu tahu, Nak? Dalam keadaan sakit, Risma berjalan kaki ke rumah ibu. Dia datang dengan tubuh lemah, mengeluh kesakitan. Tanpa pikir panjang, ibu dan bapak segera membawanya ke sini. Tapi terlambat... cucu ibu sudah tiada," ucapnya lirih, isakannya semakin kencang.
"Astaghfirullah..." Raisa menutup mulutnya, tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Bagaimana mungkin mereka tega melakukan ini..." gumam Raisa, hatinya dipenuhi keheranan dan rasa marah yang tertahan.
"Saat tahu biaya kuret cukup mahal, Udin malah pergi entah ke mana. Aku mencoba menghubungi ibunya, tapi dia hanya bilang tidak ada uang. Aku harus bagaimana, Raisa?" lirih Risma, suaranya penuh kepasrahan.
Raisa menatap Noni dengan cemas. "Berapa biaya yang harus dibayar, Bu?" tanyanya pelan.
"Tiga juta, Nak... Tapi Ibu hanya punya dua juta, itu pun hasil meminjam," jawab Noni dengan nada penuh kesedihan.
Tanpa ragu, Raisa segera merogoh tasnya dan mengeluarkan selembar uang satu juta rupiah. Dia menyerahkannya pada Noni dengan tatapan penuh ketulusan.
"Pakailah, Bu. Jangan pikirkan yang lain dulu. Segera bayarkan ke kasir, supaya kita bisa cepat pulang," ujarnya lembut.
Noni dan Risma menangis terisak, mengucapkan terima kasih tanpa henti. Jika bukan karena Raisa, mungkin Risma masih kebingungan dan sendirian menghadapi semuanya.
Sang ayah menatap putrinya penuh harap. "Risma, pulanglah ke rumah Ibu dan Bapak," bujuknya lembut. "Siapa tahu, setelah kejadian ini, hati Udin bisa terketuk."
Risma menggeleng lemah. Matanya menerawang kosong, suaranya terdengar begitu rapuh. "Aku ingin menemui Udin dulu, Pak. Aku ingin melihat... apakah dia merasa cemas setelah tahu anak kami pergi."
Raisa dan kedua orang tua Risma saling berpandangan. Hati mereka terasa sesak mendengar perkataan itu.
Tanpa ragu, Raisa mendekat. "Biar aku antar. Apa masih sakit? Jika masih, aku bisa pesankan Gocar," tawarnya, merasa bahwa dia harus mendampingi iparnya dalam keadaan seperti ini.
Ruangan itu sunyi. Semua terdiam, seolah memikirkan sesuatu. Raisa pun langsung memahami situasinya. Dengan suara lembut, dia kembali berkata, "Biar aku yang bayar. Jangan khawatir, Ris."