Raina cantika gadis berusia 23 tahun harus menerima kenyataan jika adiknya sebelum meninggal telah memilihkannya seorang calon suami.
Namun tanpa Raina ketahui jika calon suaminya itu adalah seorang mafia yang pernah di tolong oleh adiknya.
Akankah Raina menerima laki-laki itu untuk menjadi suaminya?
Apakah Raina dapat bahagia bersama laki-laki yang tidak dia kenal?
Ikuti kisah mereka selanjutnya, ya!
Jangan lupa untuk follow, like dan komentarnya!
Terima kasih 🙏 💕
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon mommy jay, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 11 Kesedihan Raina 2
"FIKRI...!" Raina terbangun dari tidurnya. dia melihat ke sekeliling kamarnya, yang terlihat sunyi. dia teringat kembali, jika sedang berada di rumah laki-laki yang sudah menjadi suaminya. "Fikri... kenapa kamu tinggalkan kakak.... " lirih Raina terisak.
Raina menyandarkan bahunya, di head board. dia terdiam, merasakan kerongkongannya sangat kering. namun Raina enggan untuk turun dan mengambil minum, yang tersedia diatas meja. baginya semuanya percuma saja, dia pun berpikir jika sebaiknya dia mati saja.
*
*
*
Malam berganti siang, suasana di rumah arsenio terasa sangat sepi. bahkan hanya terdengar suara burung, yang berkicau dan angin yang berhembus cukup kencang.
Raina yang masih tertidur pun, membuka matanya. dia pun mengejapkan mata, untuk menyesuaikan sinar yang masuk lewat tirai kamarnya.
Tok... Tok... Tok...
Terdengar suara ketukan pintu, dari luar. Raina pun bangun dan segera turun, dari ranjang kemudian membuka pintu kamarnya.
"Selamat pagi nona," sapa pelayan ramah. "Saya membawakan sarapan, untuk anda nona."
Raina memperhatikan nampan, yang ada di tangan pelayan itu. tak lama kemudian, dia mempersilahkan pelayan itu untuk menyimpannya di atas meja.
"Nona, apa kemarin anda tidak memakan makanannya?" Pelayan sangat terkejut, saat melihat nasi dan lauk kemarin masih terlihat utuh tak tersentuh. dia pun menatap Raina, yang berjalan menuju ke kamar mandi.
"Sudah aku bilang, jika aku tidak lapar! Kamu boleh sekalian, membawa semuanya keluar. Karena aku juga, tidak akan memakan makanan itu!" ucapnya dingin, kemudian masuk ke dalam kamar mandi.
Pelayan menghela nafas kasar. "Tuan Arsenio, pasti akan marah lagi. Jika tahu, hal ini." gumamnya pelan.
Pelayan menyimpan nampan berisi makanan baru, sedangkan yang kemarin dia bawa untuk di buang. dia pun berharap, jika hari ini Raina mau memakan makanan yang sudah tersedia di atas meja.
Raina yang baru selesai membersihkan diri pun, keluar dari kamar mandi. sekilas dia melihat ke arah meja, yang sudah tersedia makanan yang di bawa oleh pelayan tadi. Raina terlihat tidak tertarik, dengan apa yang di hidangkan oleh pelayan tadi.
Raina memilih duduk di meja rias. dia menatap bayangannya, yang terlihat menyedihkan di depan cermin. "Apa aku bisa melewati semua ini? Jika saja ada alasan, untuk semua ini. Setidaknya, aku bisa menerima semua ini." gumamnya pelan.
Raina kembali meneteskan air mata, saat dirinya teringat pada adiknya, fikri. dia benar-benar sangat frustasi, dengan keadaan ini. apalagi saat ini, dirinya hanya menghabiskan waktu di dalam kamar sendirian saja. bahkan untuk sekedar teman curhat saja, Raina tidak memilikinya.
Dua hari sudah, Raina lalui tanpa ada perubahan. bahkan kondisinya saat ini, sangat mengkhawatirkan. beberapa hari, dia sama sekali tidak makan dan minum, hingga mengakibatkan tubuhnya terasa lemas dan wajahnya pun terlihat pucat.
Saat ini juga, Raina merasakan kepalanya yang sangat pusing. dia pun memutuskan, untuk merebahkan kembali tubuhnya. namun saat beranjak dari duduknya, tubuh Raina pun tumbang dan dia pun hilang kesadaran.
Kondisi mental yang lemah, membuatnya terpuruk saat ini. Raina pun berpikir, untuk menyakiti dirinya sendiri dengan tidak makan dan minum. berharap apa yang sudah terjadi, hanyalah sebuah mimpi.
Tiga jam kemudian...
Raina saat ini, sudah sadarkan diri. dia membuka matanya perlahan, menatap langit-langit kamar. dia pun mencoba mengingat, apa yang sudah terjadi pada dirinya hari ini. sampai suara seseorang, mengalihkan pandangannya.
"Nona, syukurlah anda sudah sadar." Pelayan itu tersenyum senang, saat melihat Raina yang sudah sadarkan diri.
Raina tidak menyahut, karena masih merasa linglung dengan keadaannya saat ini.
"Sebentar lagi, tuan arsenio akan pulang. Saya memberitahu tuan, tentang keadaan anda saat ini nona," ujar pelayan, memberitahu Raina.
Raina memalingkan wajahnya. "Aku ingin sendiri," ujarnya dingin.
Pelayan pun seketika terdiam, mendengar ucapan Raina. namun dia tidak dapat meninggalkan Raina, dengan kondisi seperti ini. "Apa nona membutuhkan sesuatu? Jika ada hal, yang sangat mengganggu hati nona. Saya siap, mendengarkan cerita nona."
Raina terdiam, mendengar perkataan pelayan itu. dia pun meremas ujung selimut, dengan sangat erat. "Apa kamu tahu, tentang adik ku fikri?" tanyanya, dengan suara lemah.
"Fikri. Dia anak yang baik dan juga sopan." Pelayan tersenyum, karena dia mengenal sosok fikri yang belum ini selalu ikut bersama, tuannya arsenio.
Mendengar jawaban sang pelayan, membuat Raina segera menatap pelayan itu. dia pun memastikan, jika pelayan itu tidak sedang berbohong. "Apa kamu mengenal adik, ku?" tanyanya sekali lagi.
Pelayan tersenyum dan mengangguk pelan. "Benar nona. Beberapa kali, saya sempat melihat fikri di rumah ini. dia orangnya, baik dan juga sopan. Itulah sebabnya, tuan arsenio sangat menyayanginya," jawabnya, dengan tegas.
Raina hanya terdiam, mendengar jawaban pelayan itu yang membuat hatinya tidak percaya. "Apa, kamu tidak sedang berbohong?"
"Tidak nona. Apa yang saya katakan benar. Bahkan jika perlu, saya akan bawa semua orang yang berada di sini untuk menceritakan, tentang adiknya nona." Pelayan tersenyum tipis, berharap Raina mempercayainya.
"Jika tuan mu menyayangi adik, ku. Kenapa dia membunuh adik, ku?" Dengan suara yang bergetar, Raina pun menanyakan hal yang sangat mengganggu pikirannya saat ini.
Pelayan itu pun terdiam. sebenarnya dia juga tidak tahu, dengan apa yang sudah terjadi pada fikri. namun yang pelayan tahu, jika fikri tertembak oleh musuh dari tuannya arsenio.
Sebelum menjawab pertanyaan Raina. pelayan itu melihat ke arah pintu, yang tiba-tiba saja terbuka. arsenio berdiri di ambang pintu, melihat dengan tajam ke arahan pelayan itu.
"Tuan... anda sudah pulang." Pelayan itu, menghampiri arsenio dan membungkuk hormat.
"Keluar." titah arsenio dingin.
Pelayan mengangguk kembali. "Baik tuan. Permisi." Dia pun pergi, tanpa melihat ke arah Raina.
Setelah kepergian pelayan. arsenio pun menghampiri Raina, yang masih saja memalingkan wajahnya. dia pun berdiri, tepat di samping ranjang. " Bagaimana keadaan mu?" tanyanya dingin.
Raina tidak menjawab, tenggorokan terasa tercekat saat ingin membalas ucapan arsenio.
"Jika kamu diam seperti ini. Maka kamu, tidak akan pernah mengetahui tentang adik mu, yang sebenarnya." Arsenio menatap tajam, Raina yang sama sekali tidak menatapnya.
"Biarkan aku sendiri. Aku tidak akan mempercayai semua perkataan, mu! Bagi ku, kamu itu tetap pembunuh, adik ku!" Dengan suara yang bergetar, Raina mengungkapkan isi hatinya.
Arsenio tersenyum sinis. "Lalu bagaimana, dengan dirimu sendiri? Kamu menelantarkan adik mu, yang mengidap penyakit serius. Jika kamu tahu yang sebenarnya, mungkin kamu akan menarik kembali ucapan mu, itu!"
Setelah mengatakan hal itu, arsenio pun pergi dari kamar itu. baginya berada dekat dengan Raina, membuatnya selalu emosi.
Setelah kepergian arsenio dari kamarnya, Raina pun kembali menangis lagi. apa yang di katakan oleh arsenio, memang benar. jika dirinya, adalah sosok kakak yang buruk bagi fikri.
"Maafkan kakak, fikri. Kakak sudah membiarkan mu, melewati semua ini sendiri. Maafkan kakak.... " Lirih raina.
***
(Di ruangan arsenio)
"Ini milik fikri. Aku menyimpannya saat, kita berada di rumah sakit." Morgan memberikan ponsel milik fikri, pada arsenio.
Arsenio menatap ponsel itu, dan mengambilnya. dia pun terdiam, dan terlihat sedang memikirkan sesuatu. tak lama kemudian, dia pun bangkit berdiri dan keluar dari ruangannya.
"Kamu mau kemana, Arsen?" tanya Morgan, menatap heran arsenio.
Arsenio menghentikan langkahnya. " Aku akan memberikan ponsel milik fikri pada, perempuan itu. Siapa tahu, di ponsel ini ada hal yang sengaja fikri tinggalkan untuknya," jawabnya tegas.
Morgan yang paham pun, sangat setuju dengan sikap arsenio. dia pun mengikuti arsenio, yang pergi kembali ke kamar Raina.