Cintia tumbuh di lingkungan yang penuh luka—bukan cinta yang ia kenal, melainkan pukulan, hinaan, dan pengkhianatan. Sejak kecil, hidupnya adalah derita tanpa akhir, membuatnya membangun dinding kebencian yang tebal. Saat dewasa, satu hal yang menjadi tujuannya: balas dendam.
Dengan cermat, ia merancang kehancuran bagi mereka yang pernah menyakitinya. Namun, semakin dalam ia melangkah, semakin ia terseret dalam kobaran api yang ia nyalakan sendiri. Apakah balas dendam akan menjadi kemenangan yang ia dambakan, atau justru menjadi neraka yang menelannya hidup-hidup?
Ketika masa lalu kembali menghantui dan batas antara korban serta pelaku mulai kabur, Cintia dihadapkan pada pilihan: terus membakar atau memadamkan api sebelum semuanya terlambat.
Ikuti terus kisah Cintia...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maurahayu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 29 KEPEDULIAN ARAF.
Cintia meremas rambutnya, frustrasi. Ini bukan dirinya. Ia sudah merencanakan segalanya dengan matang, dan sekarang, hanya karena beberapa kata dari Araf, ia ragu?
Ia bangkit dari kursi, berjalan ke jendela. Dari celah tirai, ia bisa melihat jalanan yang mulai lengang. Pikirannya berputar. Apakah ia benar-benar akan menghancurkan dirinya sendiri dalam proses ini?
Tangannya kembali ke laptop, membuka file rekaman itu lagi. Suara Raditya terdengar jelas—nada ketakutan yang ia sukai, suara seorang pria yang akhirnya merasakan sedikit dari apa yang ia rasakan dulu.
Tapi ada sesuatu yang mengganjal.
Ia menutup mata, membayangkan Araf. Lelaki itu adalah satu-satunya yang melihatnya bukan sebagai korban, bukan sebagai seseorang yang perlu dikasihani atau ditakuti. Araf hanya melihatnya sebagai Cintia—dan itu membuat segalanya lebih rumit.
Cintia menghela napas. Mungkin ada cara lain.
★★★
Pagi berikutnya, Cintia duduk di sebuah kafe kecil, menunggu. Ponselnya tergeletak di meja, layar menyala dengan pesan singkat yang baru dikirimnya.
Cintia: "Kita ketemu sekarang. Sendirian."
Tak lama, Raditya muncul. Ia tampak lelah, seakan semalaman tidak bisa tidur. Ia duduk di kursi di seberang Cintia, menatapnya waspada.
"Apa lagi yang kamu mau?" tanyanya tanpa basa-basi.
Cintia menyandarkan punggung. "Aku berubah pikiran."
Raditya mengerutkan kening. "Maksud kamu?"
Cintia memainkan cangkir kopinya. "Aku masih bisa menjatuhkan kamu kapan saja. Kamu tahu itu. Tapi aku juga sadar, aku nggak mau cuma menghancurkan kamu, Radit. Aku mau lebih dari itu."
Raditya menegang. "Lebih dari itu?"
Cintia mencondongkan tubuh ke depan, menatapnya tajam. "Aku mau kamu ngerasain apa yang aku rasain dulu. Ketakutan, ketidakpastian, kehilangan kendali. Dan aku mau kamu tetap hidup dengan itu."
Raditya menelan ludah, jelas tidak menyukai arah pembicaraan ini.
"Jadi, apa yang kamu inginkan dariku?" tanyanya akhirnya.
Cintia tersenyum samar. "Aku mau kamu melakukan sesuatu untukku."
Raditya terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Kalau itu bisa membuatmu berhenti, aku akan lakukan."
Cintia menatapnya, memastikan ia serius. Kemudian, ia menyodorkan secarik kertas ke Raditya.
"Baca ini," katanya.
Raditya mengambilnya, dan saat matanya mulai membaca, wajahnya berubah tegang.
Cintia memperhatikannya dengan ekspresi dingin. "Kalau kamu benar-benar menyesal, kamu akan melakukan ini tanpa banyak bertanya."
Raditya mengangkat kepalanya, menatap Cintia dengan ekspresi bercampur antara takut dan bingung. "Kamu serius?"
Cintia mengangguk. "Kamu punya waktu sampai besok."
Raditya menatap kertas itu sekali lagi sebelum akhirnya menggenggamnya erat dan bangkit dari kursinya. Tanpa berkata apa-apa, ia pergi.
Cintia menghela napas panjang, menatap secangkir kopinya yang sudah mulai dingin.
Ia tidak tahu apakah ini keputusan yang benar. Tapi untuk pertama kalinya, ia merasa sedang mengendalikan sesuatu tanpa perlu menghancurkan dirinya sendiri.
Atau mungkin... ia hanya menunda kehancuran itu.
...****************...
★★★
Cintia menatap pintu luar toko, pikirannya melayang. Ia sudah mengambil keputusan, tapi entah mengapa, kegelisahan masih bersarang di dadanya.
Ponselnya bergetar. Sebuah pesan masuk.
Araf: "Kita bisa ketemu?"
Cintia menatap layar cukup lama sebelum akhirnya membalas.
Cintia: "Di mana?"
Araf: "Tempat biasa."
Ia menghela napas. Mungkin inilah saatnya ia menghadapi Araf dengan jujur—atau setidaknya, mencoba.
★★★
Senja mulai turun saat Cintia tiba di tempat mereka biasa bertemu—sebuah taman kecil yang jarang dikunjungi orang. Araf sudah di sana, duduk di bangku kayu dengan kepala menunduk.
Ketika Cintia duduk di sebelahnya, Araf tidak langsung bicara. Beberapa saat, hanya ada keheningan di antara mereka.
"Jadi," Araf akhirnya membuka suara. "Kamu mau cerita sekarang?"
Cintia menggigit bibirnya. Ia bisa saja berbohong. Bisa saja mengatakan sesuatu yang membuat Araf tetap berada di sisinya tanpa tahu kebenaran. Tapi kali ini, ia memilih untuk tidak melakukannya.
"Aku mau lihat dia jatuh, Raf," katanya pelan. "Sama seperti dia menjatuhkan aku dulu."
Araf menoleh, menatapnya lama. "Itu saja?"
Cintia tidak menjawab.
Araf menghela napas. "Aku nggak tahu detailnya, tapi aku bisa lihat ini bukan cuma soal balas dendam, Cin. Ini soal kamu yang nggak bisa melepaskan masa lalu."
Cintia mengepalkan tangan di pangkuannya. "Kamu nggak ngerti."
"Jelaskan ke aku, biar aku ngerti," desak Araf.
Cintia akhirnya menoleh padanya, matanya penuh emosi yang selama ini ia tekan. "Aku nggak bisa melupakan, Raf. Aku mencoba. Aku mencoba menjalani hidup seperti nggak ada yang terjadi. Tapi ingatan itu selalu ada. Setiap kali aku melihat mereka bahagia, aku ingat bagaimana mereka menghancurkan aku dulu. Aku ingat bagaimana rasanya sendirian di ruangan gelap itu, bagaimana rasanya diteriaki, dikucilkan. Kamu nggak akan ngerti karena kamu nggak pernah ada di posisiku!"
Araf menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Bukan amarah, bukan kekecewaan, tapi kesedihan.
"Cin..." Araf meraih tangannya, menggenggamnya erat. "Aku mungkin nggak bisa ngerti sepenuhnya. Tapi aku tahu satu hal—kamu nggak akan menemukan kedamaian dengan cara ini."
Cintia terdiam.
"Apa setelah kamu menghancurkan Raditya, semuanya akan jadi lebih baik?" lanjut Araf. "Apa setelah dia jatuh, kamu akan merasa lebih bahagia? Lebih tenang?"
Cintia ingin menjawab ya. Ia ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa semuanya akan lebih baik setelah ini. Tapi di lubuk hatinya, ia tahu kebenarannya tidak sesederhana itu.
"Kalau kamu terus berjalan di jalan ini, kamu nggak akan bisa berhenti," kata Araf lagi. "Dendam itu nggak akan pernah cukup, Cin. Kamu akan terus mencari orang lain untuk disalahkan. Kamu akan terus merasa kosong."
Cintia menunduk, dadanya terasa sesak.
"Aku nggak bilang kamu harus memaafkan mereka," lanjut Araf. "Aku cuma mau kamu tanya ke diri sendiri—apa yang sebenarnya kamu cari?"
Cintia menutup mata. Apa yang sebenarnya ia cari?
Keadilan?
Atau sesuatu yang lebih dari itu?
Keheningan di antara mereka semakin pekat. Araf masih menggenggam tangannya, memberikan kehangatan yang sudah lama tidak ia rasakan.
Dan untuk pertama kalinya, Cintia merasa ragu.
Bukan ragu pada balas dendamnya.
Tapi ragu apakah ia masih bisa kembali... sebelum semuanya terlambat.
★★★
Malam itu, di dalam kamarnya, Cintia kembali menatap laptopnya. File rekaman Raditya masih ada di sana, siap untuk digunakan.
Tangannya melayang di atas touchpad, jari-jarinya gemetar.
Satu klik saja.
Satu klik, dan semuanya akan berakhir.
Tapi wajah Araf kembali muncul di pikirannya.
"Apa setelah dia jatuh, kamu akan merasa lebih bahagia?"
Cintia menarik napas dalam-dalam.
Lalu, untuk pertama kalinya...
Ia mematikan laptopnya tanpa mengunggah rekaman itu.
kebanyakan dari lingkungan gw, ya emang gitu. baik support kita nyatanya orang yg seperti itu yg berbahaya. Keren Thor.
aku mampir kak, kalau ada waktu boleh lah support balik ke karya baru aku ok👌🤭