Raya yang baru saja melakukan ujian nasional, mendapatkan musibah saat akan datang ke tempat tinggal temannya. Kesuciannya direnggut oleh pria tak dikenal. Raya memutuskan untuk melaporkannya ke polisi. Bukannya keadilan yang dia dapatkan, namun ancaman. Tidak hanya sampai di situ saja, dia dinyatakan hamil akibat insiden itu. Lagi-lagi bukannya keadilan yang dia dapatkan, namun perlakuan buruk yang dia terima.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ROZE, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
2 Bimbang
Dia ragu untuk melaporkan ke polisi. Dilihat dari wajah dan penampilan pria itu, dia langsung tahu kalau pria itu pria kaya raya. Uang yang akan bicara. Hukum bisa disumpal dengan uang. Apalah dia yang baru saja lulus sekolah, bahkan belum menerima ijazahnya.
Lagi pula, dia malu. Ini adalah aibnya. Bagaimana nanti orang-orang akan memandang dirinya? Mungkin ada yang menatapnya kasihan. Mungkin juga akan ada yang menatap hina. Mungkin ... ah, bukan mungkin, tapi pasti akan ada yang menganggap dia mencari sensasi, ingin pansos dan lainnya. Dia sering melihat di sosial media, di mana korban menjadi tersangka akibat para netizen julid. Apalagi jika pelakunya adalah orang kaya dengan wajah tampan. Mungkin juga pria itu adalah orang penting? Raya tidak tahu. Dia hanya tahu, kalau orang-orang yang tinggal di gedung apartemen ini adalah orang kaya yang memiliki rekening tabungan di mana.
Tidak seperti dirinya.
Dia tidak memiliki rekening tabungan di bank mana pun. Bahkan uang yang dia punya, hanya numpang lewat saja, untuk memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Beruntungnya dia yang berteman seorang teman sekelasnya yang kaya.
Raya menatap wajahnya yang sebab di kaca kamar mandi.
[Raya, maaf ya, aku gak bisa datang, mau ke luar kota dengan kedua orang tuaku. Kamu menginap saja di sana berapa lama pun yang kamu mau. Ada stok makanan di kulkas dan lemari makanan.]
Raya tidak membalasnya. Dia hanya membuka lemari pakaian. Kepalanya terus saja berdenyut dengan otak yang berpikir keras.
Haruskah dia ke kantor polisi?
Haruskah dia ke rumah sakit untuk melakukan visum?
Tapi dia tidak punya uang. Uang ada, tapi tidak banyak, hanya cukup untuk hari ini saja, itu pun untuk ongkos pergi dan pulang kerja.
“Apa yang harus aku lakukan?”
Tapi aku tidak mau pasrah begitu saja. Dia lalu meraih ponselnya, dan mengirimkan pesan pada temannya.
[Riz, aku mau pinjam uang, boleh?]
[Boleh. Berapa?]
Berapa?
Raya tidak tahu berapa uang yang dibutuhkan untuk melakukan visum. Dengan cepat, dia segera mencari informasinya di internet. Hanya sekilas saja yang dia lihat, tidak dia baca seluruhnya .
Oke, ternyata bisa dilakukan di puskesmas.
[Satu juta, ada?]
[Ada. Untung saja aku menyimpan uang cash di sana. Kamu ambil saja di laci kamar, ya.]
[Makasih, Riz. Aku usahakan ganti secepatnya, tapi nyicil, ya.]
[Santai saja.]
Raya lalu mengambil baju yang tadi malam dia pakai, ingin membuangnya ke tempat sampah. Baru ingin memasukkan ke tempat sampah, tangannya berhenti. Ini adalah salah satu bukti pelecehan yang dia miliki. Hasil visum saja mungkin tidak akan cukup, dia butuh bukti lainnya meskipun dia masih ragu, apakah akan melaporkan semua ini ke kantor polisi atau tidak.
Raya lalu mengambil uang satu juta di laci, dan segera pergi ke puskesmas terdekat. Kakinya gemetaran menuju puskesmas.
“Permisi, Mbak.”
“Ya, ada yang bisa saya bantu?”
Raya menggigit bibirnya. Keringat dingin besar-besar mulai mengalir dari keningnya.
“Hm, Saya mau ....”
Raya melirik kiri kanan. Ini masih sangat pagi, di puskesmas ini banyak orang yang akan berobat.
“Apa keluhannya?” tanya mbak itu dengan khawatir melihat wajah Raya yang pucat dan berkeringat.
“Mau ... mau nanya soal ....”
“Ya?”
Untung saja mbaknya sabar, atau Raya akan dimaki-maki karena sudah memperlambat pekerjaan dan mengganggu yang lain.
Seorang pria yang memperhatikan sejak tadi, mengeryitkan keningnya. Pria itu lalu mendekat.
“Ada apa?”
Tubuh Raya semakin gemetaran dengan keringat yang semakin banyak.
“Mba, punya kartu puskesmas?”
Raya menggeleng, tangannya terkepal kuat.
“Bisa pinjam kartu identitasnya?”
“Hmmm ....”
Oke, mereka harus bersabar menghadapi remaja yang masih muda ini.
“Sa ....”
Raya ragu. Haruskah dia mundur atau tetap maju. Oke, dia memang miskin, tapi dia tidak mau ditindas dan diinjak-injak harga dirinya.
“Saya mau nanya soal ... visum,” ucap Raya dengan sangat pelan, takut ada orang lain lagi yang mendengar.
Kedua orang berjenis kelamin berbeda di hadapan Raya itu, tertegun. Bisa mereka lihat kalau gadis itu tertekan, bahkan sangat tertekan, hampir menangis.
“Ayo, kamu ikut saya,” ucap pria itu.
Bukannya ikut, Raya tetap diam namun menunjukkan sikap yang ketakutan.
“Nia, kamu dampingi dia.”
“Baik, Dok.”
“Ayo, jangan takut. Saya akan mendampingi kamu.”
Mereka melewati bagian lain dari puskesmas itu, lalu masuk ke ruangan lain yang tidak ada orang. Raya semakin ketakutan.
“Jangan takut, saya dokter Bian,” ucap dokter itu.
“Jadi, kamu mau melakukan visum?”
“Iya, Dok. Berapa biayanya?”
Dokter Bian dan Nia memperhatikan kondisi Raya. Bajunya bukan baju mewah, jadi bisa dipastikan dia bukan anak orang kaya, apalagi sampai pergi ke puskesmas yang biasanya didatangi masyarakat ekonomi menengah ke bawah.
“Kamu tidak didampingi oleh pihak keluarga?”
“Gak punya.”
Nia meringis, jadi ingin menangis.
Dokter Bian menghela nafas berat.
“Kamu ... sudah melaporkan ke polisi?”
Raya langsung mengangkat wajahnya yang sejak tadi terus menunduk.
“Apa?”
“Laporkan ke polisi!”
Raya menggeleng.
“Begini, visum tidak bisa dilakukan begitu saja oleh dokter tanpa surat pengantar dari kepolisian. Jadi, kamu harus melaporkan dulu kasus kekerasan yang kamu alami, lalu pihak kepolisian akan memberikan surat pengantar.”
“Kamu, akan melaporkan masalah ini ke kepolisian, kan?”
Raya mengangguk, tapi juga menggelengkan kepalanya. Dia tidak mau salah melangkah, meski hati kecilnya sangat ingin mendapatkan keadilan. Melihat keterdiaman perempuan muda di hadapannya ini, dokter Bian langsung paham. Banyak korban dari pelecehan seksual yang tidak mau melaporkan kasus itu ke polisi, dengan banyak alasan. Seperti takut aibnya diketahui banyak orang dan menjadi malu, takut kalah, dan lainnya.
“Siapa yang menjadi wali kamu?”
“Ibu panti asuhan.”
“Kamu harus menceritakan masalah ini ke ibu panti, lalu minta beliau untuk mendampingi kamu ke kantor polisi. Jangan takut, kebenaran bukankah harus ditegakkan?”
Raya semakin gemetaran. Rasanya jalannya—yang bahkan belum dimulai, sudah terasa sangat berat. Niat hati hanya ingin melakukan visum untuk jaga-jaga saja, ternyata tak semudah itu. Kalau ujung-ujungnya harus memiliki surat pengantar dari kepolisian dulu, bukankah sama saja dia melaporkan kasus yang menimpanya ini?
“Di mana panti asuhan kamu?”
“Ada di perbatasan kota, Dok.”
“Segera kamu temui ibu panti kamu, dan laporkan kasusnya ke kantor polisi.”
Mereka bisa melihat jelas keraguan di wajah Raya.
“Semua keputusan ada di tangan kamu, jangan sampai salah mengambil langkah. Ini semua demi masa depan kamu.”
Entah perkataan itu sebagai dukungan untuk melaporkannya, atau sebagai tanda apakah dia harus berhenti di sini saja, rasanya Raya tidak tahu bedanya.
“Kalau begitu, saya permisi, Dok.”
Dengan langkah gontai, Raya pergi dari klinik itu. Dia termenung di halte, memikirkan semua hal, apa yang harus dia lakukan. Masa depannya hancur di tangan pria yang sama sekali tidak dia kenal. Hidupnya saja sudah cukup kacau, ditambah masalah baru yang tidak pernah dia sangka sebelumnya. Raya memejamkan matanya, menghela nafas berat berkali-kali.
Dokter Bian yang baru saja keluar dari klinik, melihat Raya yang duduk sendirian di halte. Ada perasaan kasihan. Melihat wajah Raya, dokter Bian yakin kalau Raya masih sangat muda, mungkin masih sekolah. Wajah cantiknya yang putih mulus, tidak seperti wajah kebanyakan remaja yang suka memoles dengan alat rias. Dokter Bian masih memperhatikan Raya, menunggu sampai remaja itu pergi. Entah kenapa ada perasaan khawatir, meski sebenarnya mereka tidak saling mengenal.
Raya tersadar dari lamunannya, tapi masih seperti orang linglung.
Aku harus bagaimana ini?
Raya menepuk kepalanya berkali-kali, berharap dengan begitu semua beban ini akan hilang, meski sebenarnya dia juga sadar, kalau tidak ada gunanya, malah akan membuat dirinya semakin pusing saja.
Raya akhirnya menaiki bis, menuju panti asuhan tempat dia di besarkan. Di dalam bis pun, dia masih saja sibuk berpikir. Haruskah dia melapor atau tidak? Ini bukan hanya sebuah laporan tentang kehilangan barang berharga. Jika saja dia kehilangan emas atau uang, mungkin dia masih bisa mengikhlaskan meski berat, karena dia pun bukan orang kaya.
Tidak terasa Raya sudah tiba di halte tujuannya. Dia turun dan berjalan kaki menuju rumah panti. Sebenarnya jarak dari halte menuju panti kasih cukup jauh, tapi dia harus berhemat sebaik mungkin.
Hampir setengah jam berjalan kaki, Raya akhirnya tiba.
“Bu.” Raya sudah memantapkan hati untuk menceritakan masalahnya ke pada ibu panti, entah apa mati yang akan ibu panti katakan. Dia akan mengikuti saran dari ibu panti, karena yakin itulah yang terbaik.