Prolog
Hujan deras mengguyur malam itu, membasahi jalanan berbatu yang dipenuhi genangan air. Siena terengah-engah, tangannya berlumuran darah saat ia berlari melewati gang-gang sempit, mencoba melarikan diri dari kematian yang telah menunggunya. Betrayal—pengkhianatan yang selama ini ia curigai akhirnya menjadi kenyataan. Ivana, seseorang yang ia anggap teman, telah menjebaknya. Dengan tubuh yang mulai melemah, Siena terjatuh di tengah hujan, napasnya tersengal saat tatapan dinginnya masih memancarkan tekad. Namun, sebelum kesadarannya benar-benar menghilang, satu hal yang ia tahu pasti—ia tidak akan mati begitu saja.
Di tempat lain, Eleanor Roosevelt menatap kosong ke luar jendela. Tubuhnya kurus, wajahnya pucat tanpa kehidupan, seolah dunia telah menghabisinya tanpa ampun. Sebagai istri dari Duke Cedric, ia seharusnya hidup dalam kemewahan, namun yang ia dapatkan hanyalah kesepian dan penderitaan. Kabar bahwa suaminya membawa wanita lain pulang menghantamnya seperti belati di dada
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon d06, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 32 pengecut
...**.✧⚔️ happy reading ⚔️*.✧*...
POV Cedric
Cedric menatap darah yang menetes dari ujung pedangnya. Tubuhnya dipenuhi luka gores, tapi dia tidak merasakan sakit. Hanya ada kemarahan yang membakar dalam dirinya.
Di sekelilingnya, aula utama kediaman Lord Edwin telah berubah menjadi medan pertempuran. Para ksatria yang setia padanya bertarung mati-matian melawan pasukan tuan rumah yang jauh lebih banyak. Cedric sudah menduga pengkhianatan ini, tapi tidak menyangka bahwa Lord Edwin berani bergerak secepat ini.
Seorang prajurit berlari ke arahnya, mengayunkan pedang. Cedric dengan sigap menangkis, lalu berbalik menusukkan belati ke leher lawannya. Prajurit itu jatuh bersimbah darah. Cedric mengatur napas, matanya menyapu ruangan, mencari sosok yang paling ingin dia temui—Lord Edwin.
"Lord Edwin pengecut," gumamnya. "Menyerang dalam gelap dan sekarang bersembunyi?"
Dari sudut matanya, Cedric melihat Luthair, terdesak oleh dua lawan. Cedric bergerak cepat, menebas salah satu prajurit musuh sebelum sempat menyerang Luthair dari belakang.
"Apa kau baik-baik saja?" tanyanya cepat.
Luthair mengangguk, meskipun wajahnya penuh keringat. "Mereka terlalu banyak. Kita harus segera mundur atau mencari posisi lebih baik!"
Cedric mengertakkan gigi. Jika mereka bertahan lebih lama di sini, mereka akan terkepung.
Namun, sebelum dia bisa memberi perintah, suara langkah kaki tergesa-gesa menggema dari lorong. Seorang prajuritnya berlari masuk, napas tersengal.
"Duke! Lord Edwin melarikan diri!"
Mata Cedric menyipit tajam. "Ke mana dia pergi?"
"Kami melihatnya menuju pelabuhan dengan beberapa pengawalnya."
Pelabuhan? Itu berarti… dia bisa saja mencoba kabur ke luar wilayah atau—
Mata Cedric melebar. Eleanor!
Jika Lord Edwin menyadari bahwa Eleanor melarikan diri ke arah yang sama, dia tidak akan tinggal diam. Cedric merasakan gelombang kecemasan yang jarang dia rasakan. Dia harus bertindak cepat.
"Kita kejar dia," perintahnya dingin. "Jika dia berhasil lolos, ini tidak akan berakhir hanya di sini."
Tanpa membuang waktu, Cedric dan beberapa ksatrianya segera meninggalkan medan pertempuran, mengejar pengkhianat itu sebelum terlambat.
...✨🍷✨...
Cedric berdiri tegak di depan Lord Edwin, matanya menyala penuh amarah. Angin malam di pelabuhan berhembus kencang, membuat jubahnya berkibar. Lord Edwin, yang seharusnya seorang bangsawan terhormat, kini tampak seperti tikus yang terpojok, dikelilingi beberapa pengawalnya yang terlihat lebih gugup dibanding dirinya.
"Kau pengecut, Lord Edwin," suara Cedric terdengar dingin dan tajam. "Kau yang memulai semua ini, tapi kau juga yang pertama kali melarikan diri. Bukankah kau mengincar kepalaku? Maka lakukanlah jika kau sanggup melawanku!"
Lord Edwin hanya tertawa, langkahnya mundur perlahan, tapi matanya menatap Cedric penuh ejekan. "Melawanmu? Untuk apa? Aku tidak sebodoh itu. Lagipula, kau bukan manusia biasa, kan?"
Cedric mengerutkan dahi.
"Monster… ya, kau adalah monster, Cedric," lanjut Edwin dengan nada penuh penghinaan. "Darahmu dingin, hatimu kosong, dan kau hanyalah alat Raja Asteria untuk membantai siapa pun yang menghalangi jalannya. Kau pikir rakyat benar-benar mengagumimu? Tidak! Mereka takut padamu!"
Cedric tidak merespons. Dia sudah terlalu sering mendengar penghinaan semacam ini. Namun, ketika Edwin melanjutkan kata-katanya, darah Cedric mulai mendidih.
"Dan perempuan itu…" Lord Edwin menyeringai. "Kau pikir dia benar-benar menerima keberadaanmu? Tidak, Cedric. Dia hanya tidak punya pilihan. Baginya, kau sama saja dengan musuh yang harus dia tunduki agar bisa bertahan hidup."
Tatapan Cedric menjadi gelap.
"Seorang wanita cantik seperti itu, bersama pria sepertimu?" Edwin melanjutkan, seolah menikmati setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Apa yang kau lakukan padanya? Memaksanya? Atau dia hanya menunggu waktu untuk menusukmu dari belakang?"
Cedric tidak bisa lagi menahan diri. Dalam sekejap, dia sudah bergerak.
Dengan satu ayunan pedangnya, salah satu pengawal Edwin tumbang sebelum sempat bereaksi. Yang lainnya mundur ketakutan. Lord Edwin sendiri tersentak, wajahnya kehilangan warna.
"Jaga mulutmu," suara Cedric rendah, tapi penuh ancaman. "Atau kau tidak akan punya kesempatan lagi untuk menggunakannya."
Lord Edwin mencoba melangkah mundur lagi, tapi Cedric sudah ada di depannya, menekan ujung pedang ke lehernya.
"Cedric… kita bisa bicara—"
"Terlambat."
Malam itu, pelabuhan diselimuti keheningan, hanya suara ombak yang menjadi saksi bagaimana Cedric akhirnya menuntaskan pengkhianatan Lord Edwin.
POV Cedric
Darah menetes dari ujung pedang Cedric, membasahi tanah di bawahnya. Lord Edwin jatuh berlutut, tangannya mencengkeram luka di lehernya yang tidak terlalu dalam—Cedric sengaja tidak langsung menghabisinya. Matanya penuh ketakutan, sadar bahwa hidupnya kini ada di tangan Cedric.
"Kau tak lebih dari seorang pengecut," Cedric menatapnya dengan dingin. "Menghina dari kejauhan, melarikan diri saat rencana kotormu gagal. Kau tidak layak memegang kekuasaan."
Lord Edwin berusaha bicara, tapi suaranya serak karena tekanan dari pedang Cedric. Tangannya terangkat, seolah meminta ampun. "A-aku hanya… mencoba mempertahankan apa yang seharusnya milikku… Kau tidak tahu apa pun, Cedric!"
Cedric mendengus. "Kau ingin menjatuhkan Raja, ingin membunuhku, tapi kau bahkan tidak bisa menghadapi konsekuensinya. Kau bilang rakyat takut padaku? Mereka jauh lebih takut pada seseorang seperti dirimu—yang tersenyum di depan mereka, tapi merampok mereka di belakang."
Lord Edwin mengatupkan rahangnya, matanya berkaca-kaca. "Aku… aku bisa menawarkan sesuatu. Kita bisa bernegosiasi!"
Cedric mengangkat alis, lalu mendekatkan wajahnya ke arah Lord Edwin. "Negosiasi?" Dia menyeringai sinis. "Apakah kau juga menawarkan negosiasi saat mengirim orang untuk membunuhku tadi malam?"
Lord Edwin terdiam, napasnya tersengal.
Cedric menatapnya sesaat, lalu menurunkan pedangnya. Tapi sebelum Lord Edwin bisa merasa lega, Cedric menendangnya ke belakang hingga pria itu jatuh terlentang di tanah.
"Aku tidak akan membunuhmu," ucap Cedric, suaranya datar. "Kematian terlalu mudah untukmu."
Dia menoleh ke arah teman-temannya dan beberapa prajuritnya yang kini sudah tiba di pelabuhan, membawa beberapa orang yang tampaknya adalah pasukan Edwin yang menyerah.
"Borgol dia," perintah Cedric. "Kita akan membawanya kembali ke Asteria. Aku ingin dia merasakan bagaimana rasanya kehilangan segalanya secara perlahan."
mereka mengangguk, lalu menarik Lord Edwin berdiri dan memborgol tangannya. Pria itu tidak lagi melawan, tubuhnya lemas dan matanya kehilangan harapan.
Cedric menyarungkan pedangnya, lalu mengembuskan napas panjang. "Sekarang, kita kembali. Aku harus memastikan Eleanor baik-baik saja."
...✨🥀 thanks for reading 🥀✨...
suka banget sama alurnya, pelan tapi ada aja kejutan di tiap bab...
lanjut up lagi thor