Pada tahun 2050, bumi dilanda kekeringan dan suhu ekstrem. Keitaro, pemuda 21 tahun, bertahan hidup di Tokyo dengan benteng pertahanan anti-radiasi. Namun, tunangannya, Mitsuri, mengkhianatinya dengan bantuan Nanami, kekasih barunya, serta anak buahnya yang bersenjata. Keitaro dibunuh setelah menyaksikan teman-temannya dieksekusi. Sebelum mati, ia bersumpah membalas dendam.
Genre
Fiksi Ilmiah, Thriller, Drama
Tema
1. Pengkhianatan dan dendam.
2. Kekuatan cinta dan kehilangan.
3. Bertahan hidup di tengah kiamat.
4. Kegagalan moral dan keegoisan.
Tokoh karakter
1. Keitaro: Pemuda 21 tahun yang bertahan
hidup di Tokyo.
2. Mitsuri: Tunangan Keitaro yang mengkhianatinya.
3. Nanami: Kekasih Mitsuri yang licik dan kejam.
4. teman temannya keitaro yang akan
muncul seiring berjalannya cerita
Gaya Penulisan
1. Cerita futuristik dengan latar belakang kiamat.
2. Konflik emosional intens.
3. Pengembangan karakter kompleks.
4. Aksi dan kejutan yang menegangkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rifky Aditia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 28: PENANAMAN DIMULAI
Pagi itu, setelah sarapan, tim kembali berkumpul. Keitaro memberikan arahan singkat tentang tugas masing-masing sebelum mereka mulai.
Reina dan Ayane berjalan mengelilingi area benteng, membawa peta kecil yang telah mereka buat sebelumnya.
“Kita butuh tempat yang dapat menerima sinar matahari cukup, tapi juga terlindungi dari angin kencang,” kata Ayane sambil menunjuk beberapa lokasi di peta.
Reina setuju. “Mungkin area di dekat tembok timur. Tanahnya cukup subur, dan sinar matahari pagi bisa masuk dengan baik.”
Setelah diskusi singkat, mereka menetapkan lokasi itu dan mulai membersihkan area dari batu dan sampah kecil, mempersiapkannya untuk proses penanaman.
“Setidaknya, ini lebih ringan daripada memasang tembok besar,” canda Reina.
Ayane tersenyum. “Ya, tapi tetap saja ini pekerjaan yang penting.”
Sementara itu, Keitaro dan Kenta tiba di kota dengan truk besar mereka. Mereka langsung menuju toko alat-alat pertanian dan mulai membeli sekop, cangkul, selang air, pupuk, dan berbagai jenis benih serta biji-bijian.
Namun, kehadiran mereka tidak luput dari perhatian orang-orang di kota. Beberapa mulai berbisik, memperhatikan Keitaro yang menghabiskan jutaan yen untuk membeli perlengkapan bertani.
“Apa yang sedang mereka lakukan? Bukankah mereka baru saja membangun benteng besar?. Dan sekarang mereka ingin bertani didalam sana?.” bisik seorang wanita kepada temannya.
“Mungkin dia ingin bermain perang-perangan. Lihat saja, dia kelihatan seperti anak kecil yang terobsesi dengan istana,” ejek seorang pria sambil tertawa kecil.
Namun, tidak semua orang berpikiran buruk. Ada juga yang kagum dengan Keitaro.
“Kalau dipikir-pikir, benteng itu sangat kokoh. Mungkin mereka sedang mempersiapkan sesuatu yang besar,” ujar seorang pedagang sambil mengangguk kagum.
Kenta, yang mendengar beberapa komentar itu, mendekati Keitaro dengan cemberut. “Mereka benar-benar suka bergosip, ya.”
Keitaro hanya tersenyum santai. “Biar saja. Mereka tidak tahu apa yang kita tahu. Fokus saja pada tugas kita.”
Kenta tertawa kecil. “Kau benar. Lagipula, mereka pasti akan berubah pikiran kalau mereka tahu yang sebenarnya.”
Setelah menyelesaikan belanja mereka, Keitaro dan Kenta membawa semua barang kembali ke truk dan pulang ke benteng tanpa memedulikan komentar orang-orang.
Di benteng, Shoji sibuk dengan kegiatannya sendiri. Dia mempelajari peta sekitar benteng untuk mengidentifikasi potensi ancaman.
“Jika ada yang mencoba menyerang, mereka kemungkinan besar akan datang dari sisi barat. Itu satu-satunya jalan masuk yang tidak terlindungi oleh medan alami,” gumamnya sambil mencatat strategi pertahanan di buku kecilnya.
Dia juga memeriksa senjata-senjata yang mereka miliki dan memastikan semuanya dalam kondisi siap pakai. “Tidak ada yang boleh meremehkan benteng ini,” katanya dengan nada tegas pada dirinya sendiri.
Saat Keitaro dan Kenta tiba kembali di benteng, Reina dan Ayane telah selesai membersihkan area yang akan digunakan untuk menanam. Mereka membantu menurunkan barang-barang dari truk, sementara Keitaro memberikan penjelasan singkat tentang jenis-jenis benih yang mereka beli.
“Ini jagung, ini kentang, ini kacang-kacangan, dan ini beberapa jenis sayuran seperti wortel dan bayam,” kata Keitaro sambil menunjukkan masing-masing kantong benih.
Reina terlihat antusias. “Kita benar-benar akan punya kebun kecil di sini!”
Kenta tersenyum. “Ya, dengan adanya kebun ini kita tetap bisa memakan makanan sehat nanti"
“Baiklah, mari kita mulai!” seru Keitaro dengan semangat.
Mereka bekerja sama menggali tanah. Shoji dan Kenta mencangkul dengan kekuatan penuh, menciptakan alur-alur di tanah untuk menanam benih. Ayane dan Reina mengikuti di belakang mereka, menebar pupuk dengan hati-hati.
Beruang, yang tampak ingin membantu, bergabung dengan mereka. Ia menggunakan tangannya yang besar dan kuat untuk menghaluskan tanah, agar lebih mudah untuk ditanami.
“Beruang ini benar-benar serba bisa,” kata Reina sambil tertawa kecil.
Ayane mengangguk. “Dia lebih efektif dari alat modern.”
Setelah tanah siap, mereka mulai menanam benih satu per satu. Reina dan Ayane menanam sayuran seperti wortel, bayam, dan kacang-kacangan. Di sisi lain, Keitaro mengambil bibit pohon yang ia beli dari kota dan mulai menanamnya di sekitar benteng.
“Pohon-pohon ini akan membantu menjaga udara tetap segar dan menciptakan lingkungan yang lebih sejuk saat kiamat panas tiba,” ujar Keitaro sambil menanam bibit pertama.
Setelah semua benih dan bibit tertanam, Keitaro berdiri di tengah kebun yang baru saja mereka buat. Ia menutup matanya dan mengaktifkan kemampuan bertani khususnya. Dalam sekejap, sesuatu yang luar biasa terjadi.
Bibit pohon yang baru saja ditanam mulai bercahaya, memancarkan warna hijau yang lembut. Cahaya itu menjalar melalui batang pohon kecil dan merambat hingga ke dedaunan kecilnya.
Di tanah, benih-benih yang ditanam Reina dan Ayane juga memancarkan sinar kecil dari dalam tanah, seolah-olah menyala dengan kehidupan baru.
Semua orang terdiam, tercengang melihat pemandangan yang begitu ajaib.
“Apa yang baru saja terjadi?” tanya Reina dengan mata membelalak.
Keitaro membuka matanya dan tersenyum. “Ini kemampuan bertani khusus yang ku ceritakan. Tanaman tanaman ini tidak akan layu atau mati. Meski pertumbuhannya lebih lambat, mereka akan tetap hidup, bahkan saat kiamat panas tiba. Bahkan dengan kemampuan ini memungkinkan kita dapat menghijaukan alam kembali”
Ayane menatap tanaman-tanaman itu dengan kagum. “Jadi, kita tidak hanya membangun benteng, tetapi juga harapan untuk masa depan.”
Shoji, yang biasanya sinis, mengangguk pelan. “Ini luar biasa. Kita benar-benar punya peluang untuk bertahan.”
Beruang mendekati salah satu bibit pohon yang bercahaya dan mengendusnya dengan penasaran. Ia lalu duduk di samping pohon itu, mengibaskan ekornya dengan riang.
“Lihat, bahkan beruang pun tahu ini istimewa,” kata Kenta sambil tertawa.
Keitaro memandang timnya dan berkata, “Ini baru awal. Kebun ini adalah langkah kecil, tapi sangat penting untuk kelangsungan hidup kita. Terima kasih untuk kerja keras kalian hari ini.”
Malam itu, mereka berkumpul di ruang utama benteng, duduk melingkar sambil menikmati makan malam sederhana. Mereka berbagi cerita tentang pengalaman membangun kebun sepanjang hari.
“Aku masih tidak percaya pohon itu bercahaya. Rasanya seperti sedang berada di dunia fantasi,” kata Reina sambil tersenyum lelah.
Kenta mengangguk. “Dan beruang kita benar-benar pekerja keras. Aku mulai merasa dia lebih hebat dari kita.”
Semua tertawa kecil, kecuali Keitaro. Wajahnya sedikit murung, pikirannya melayang jauh. Ia teringat kembali hutan tempat beruang itu ditemukan. Hutan yang dipenuhi dengan makhluk-makhluk misterius, kuat, dan seolah-olah memiliki kecerdasan seperti manusia.
“Ada apa, Keitaro? Kau terlihat murung,” tanya Ayane, menyadari perubahan ekspresinya.
Keitaro menghela napas pelan. “Aku hanya memikirkan hutan tempat tinggal beruang sebelumnya. Ada sesuatu yang aneh dengan tempat itu. Bagaimana bisa makhluk-makhluk seperti dia yang kuat, cerdas, dan berbeda dari beruang biasanya lahir dari sana? Apa yang sebenarnya disembunyikan oleh hutan itu?”
Suasana ruang utama menjadi hening. Shoji bersandar di kursinya, wajahnya berubah serius. “Kau benar. beruang yang kita kenal jauh berbeda dari beruang biasanya, lalu ada 2 lagi yang lebih besar dari dia?”
Keitaro tiba tiba fokus. “Ya, rasanya… kita belum selesai dengan tempat itu. Mungkin ada sesuatu yang harus kita temukan atau pahami.”
Reina tampak gelisah. “Kau ingin kembali ke sana?”
Keitaro menggeleng. “Tidak sekarang. Tapi suatu saat, kita mungkin harus mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di sana.”
Beruang yang duduk di sudut ruangan mendongak, seolah memahami percakapan mereka. Matanya memancarkan ketenangan yang aneh, membuat suasana terasa semakin misterius.
“Kalau begitu, kita harus bersiap lebih baik,” kata Ayane mencoba mengalihkan kecemasan yang mulai menyelimuti mereka.
Keitaro mengangguk, pandangannya tetap tertuju pada beruang. “Ya, tapi untuk saat ini, mari fokus pada apa yang ada di depan kita.”
Malam itu, meski lelah, pikiran Keitaro terus dipenuhi pertanyaan tentang hutan misterius itu. Apa yang sebenarnya disembunyikan tempat tersebut? Dan bagaimana hal itu terkait dengan kiamat panas yang semakin dekat?