JANGAN DI BOM LIKE PLISSS 😘🥰
Dhev si duda dingin dan tidak berperasaan akhirnya bisa jatuh cinta lagi dan kali ini Dhev mencintai gadis yang usianya jauh lebih muda.
Dhev, Nala dan Kenzo. Di dalam kisah mereka terdapat kesedihan masa lalu dan harapan untuk hidup bahagia.
Mampir? Jangan lupa tinggalkan jejak like, komen dan gift/votenya, ya. Terimakasih 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mala Cyphierily BHae, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Seperti Mimpi
Amira segera memanggil dokter keluarga untuk memeriksa keadaan Nala yang memprihatinkan.
Setelah diperiksa dan diberi obat, Amira dan Dhev membiarkan Nala untuk istirahat.
Dan sebenarnya, Dhev tidak begitu menyukai gadis kecil itu menempati tempat tidur adiknya yang sedang studi di luar negeri.
Tetapi, Dhev tidak bisa berbuat apa-apa karena itu perintah dari Amira. Dhev yang merasa lelah segera pergi ke kamarnya sendiri.
Sementara Nala, ia tertidur dalam tangisnya yang masih tidak percaya kalau Bobi sudah tiada.
Walau matanya terpejam, sesekali terdengar suara isak tangisnya dan Amira yang masih berada di sana semakin merasa bersalah.
"Ya Tuhan, maafkan aku," lirih Amira seraya mengusap wajahnya.
Amira terus menunggu sampai tertidur di sofa kamar Nindy. Sekarang malam yang dingin dan kelabu itu sudah berganti waktu, pagi sudah memancarkan sinarnya dan Amira membuka mata sudah tidak mendapati Nala di ranjang.
Amira segera bangun dan mencari-cari keberadaan Nala.
"Nala!" seru Amira seraya keluar dari kamar, karena tergesa tak sengaja Amira hampir menabrak cucu kesayangannya yang berusia 7 tahun.
"Kenzo, kamu sudah rapi, mau sekolah, ya?" tanya Amira seraya membelai wajah cucunya.
"Iya, Oma kenapa? Siapa Nala?" tanya Kenzo seraya menatap Amira.
"Tante Nala, perempuan yang tomboi, semalam tidur di kamar ini, kamu lihat?"
Kenzo menjawab dengan menggelengkan kepala, setelah itu Kenzo pergi begitu saja turun ke lantai bawah.
"Mang Dadang, buruan! Ken nggak mau telat!" teriaknya, padahal yang diteriaki sudah menunggu di halaman rumah, sudah siap dengan mobilnya untuk mengantarkan Tuan Mudanya ke sekolah.
"Anak itu," lirih Amira seraya menatap Kenzo dari tempatnya berdiri.
"Kenapa, Mah?" tanya Dhev yang baru saja keluar dari kamar dengan menenteng tas kerjanya.
"Kamu lihat Nala?" tanya Amira dan Dhev menjawab dengan menggelengkan kepala. Setelah itu pergi meninggalkan Amira yang masih menatapnya.
"Ayah dan anak sama saja," kata Amira dalam hati.
Setelah itu, Amira menyusul Dhev untuk sarapan bersama. Di meja makan, keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Lalu, Amira menanyakan tentang Nala pada asisten rumah tangganya yang sedang menyajikan teh dan kopi hangat.
"Bibi lihat perempuan yang semalam di kamar Nindy?"
"Perempuan yang tangan dan kakinya luka?"
"Iya, di mana dia?" tanya Amira dengan semangatnya.
"Tadi pagi pergi dari rumah, Nyonya," jawab Bi Rasiah, setelah itu bibi kembali bekerja.
"Hmmm." Dhev menggelengkan kepala melihat Amira yang terlihat cemas, walau begitu Dhev tidak ingin tau urusan tentang anak itu.
"Kamu harus bantu Mamah! Cari dia sampai dapat!" perintah Amira seraya bersedekap dada.
"Dhev sibuk, Mah. Kalau nggak sibuk nggak mungkin Dhev pulang larut malam, Dhev berangkat dulu," kata Dhev seraya bangun dari duduknya.
"Lalu, kapan kamu ada waktu untuk Ken?" tanya Amira masih dengan posisi yang sama.
Dhev mendengar pertanyaan itu tetapi memilih untuk diam, melanjutkan langkah kakinya.
****
Sementara itu, Nala sedang memeluk pusara ayahnya.
"Ayah, Nala tidak mau kehilangan ayah. Ayah kenapa pergi, seharusnya kita hidup bahagia saat ini," lirih Nala seraya menghapus air matanya.
"Nala sudah tidak punya siapa-siapa lagi, Ayah. Siapa yang akan menjaga Nala?" tangisnya.
Setelah itu, Nala merasakan kalau ponselnya bergetar, Nala merogoh saku celananya mengambil ponsel itu, baru saja Nala menggeser tombol hijau dan saat itu pula ponselnya mati karena kehabisan daya baterai.
"Ririn," lirih Nala saat mengetahui siapa yang menelepon. Ririn adalah sahabatnya, walau orang tua Ririn tidak menyukai Nala yang miskin. Keduanya menjalin persahabatan dengan sembunyi-sembunyi.
Sekarang, Nala bangun dari duduknya dan ingin segera bertemu dengan Ririn. Nala pergi ketempat mereka biasa bertemu, di taman dekat sekolah SMPnya dulu. Nala duduk di bawah pohon dengan menekuk lututnya, menyembunyikan wajahnya di sana.
Kemudian Nala merasakan tepukan di bahunya, benar saja, Ririn datang menemui Nala. Nala yang masih bersedih itu segera memeluk Ririn, menangis tersedu, sesenggukan sampai tenggorokannya tercekat.
"Kenapa?" lirih Ririn seraya mengusap punggung Nala, Ririn sendiri ingin bertanya banyak hal setelah melihat keadaan temannya yang sangat lusuh dan terdapat luka di kepala, lengan dan kakinya.
Ririn merasakan kalau pelukan itu semakin erat, bahkan Ririn yang belum mengetahui apa yang terjadi ikut menitikkan air mata.
Kemudian, Ririn melepaskan pelukan itu, merangkum wajah sahabatnya, menatap lekat wajah yang terlihat sembab, terlihat mata Nala yang membengkak.
Melihat itu, Ririn kembali membawa Nala ke dalam pelukan. "Nala, kamu bisa cerita kalau sudah tenang. Sekarang kita pulang dulu!" ajak Ririn dan Nala menganggukkan kepala. Sekarang, Ririn membantu Nala untuk bangun dari duduknya, menuntun Nala ke mobilnya.
Selama perjalanan pulang, keduanya hanya diam, terlihat Nala yang masih memejamkan itu tidak berhenti meneteskan air mata.
Sesampainya di rumah kontrakan yang kecil dan lusuh itu Nala memperhatikan di mana tempat biasa gerobak ayahnya berada, sekarang tempat itu kosong. Gerobaknya sudah hancur dan Nala tidak melihatnya lagi setelah masuk ke mobil ambulan.
"Ayah kamu kemana, Nala? Tumben gerobaknya nggak ada?" tanya Ririn dan Nala kembali menjawabnya dengan menangis membuat Ririn menjadi bingung, merasa serba salah dan tidak tau harus berbuat apa yang Ririn tau hanya bisa menemani dan berada di sisi Nala saat ini.
Nala merogoh saku celananya mengambil kunci rumahnya, membuka pintu lalu masuk ke kamar untuk mengganti pakaian.
Sementara Ririn yang sedang berdiri menunggu di depan pintu itu mendengar Nala berteriak memanggil ayahnya.
Ririn mengira kalau Bobi telah tega pergi meninggalkan Nala seorang diri, Ririn mengira kalau Bobi sudah tidak sanggup lagi menanggung beban hidup dan memilih untuk pergi.
"Tapi, paman bukan orang seperti itu, paman sangat menyayangi Nala, apa telah terjadi sesuatu dengan paman dan Nala?" tanya Ririn dalam hati.
Gadis dengan penampilan feminim itu mengetuk pintu. "Nala, buka pintunya!"
Tidak lama kemudian Nala yang sudah mengganti pakaiannya itu membuka pintu.
Berdiri dengan wajah yang ditekuk.
"Di mana paman?" tanya Ririn.
Nala mengangkat wajahnya dan dengan bibir yang bergetar Nala menjawabnya, "A-ayah... sudah tidak ada."
Setelah itu Nala berjongkok dan mengusap dadanya yang terasa nyeri, kemarin mereka masih merasakan kebersamaan, Nala membantu Bobi berbelanja bahan dagangan di pasar, sepulang dari pasar Nala melihat Bobi yang sedang mencuci gerobaknya, setelah itu Bobi yang mengolah semua bahan seperti menggoreng kerupuk, memasak ati dan ampela juga memasak ayam untuk campuran nasi gorengnya.
Ririn masih belum mengerti juga dan kembali bertanya pada Nala.
"Maksud kamu apa, Nala?" tanya Ririn seraya ikut berjongkok.
Nala mengusap air matanya, mencoba untuk tabah dan tersenyum pada sahabatnya.
"Kami kecelakaan," lirih Nala, bibirnya tersenyum tetapi kesedihan dari tatapan matanya tak dapat dapat di sembunyikan.
Bersambung.
Jangan lupa untuk klik like dan komen, tap lovenya juga ya 🥰