Rain, gadis paling gila yang pernah ada di dunia. Sulit membayangkan, bagaimana bisa ia mencintai hantu. Rain sadar, hal itu sangat aneh bahkan sangat gila. Namun, Rain tidak dapat menyangkal perasaannya.
Namun, ternyata ada sesuatu yang Rain lupakan. Sesuatu yang membuatnya harus melihat Ghio.
Lalu, apa fakta yang Rain lupakan? Dan, apakah perasaannya dapat dibenarkan? bisa kah Rain hidup bersama dengannya seperti hidup manusia pada umumnya?
Rain hanya bisa berharap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon H_L, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mural
Pagi hari sekitar pukul 9, sudah banyak orang yang berkumpul di gedung jurusan. Baik Rain maupun mahasiswa/i seni rupa sudah mempersiapkan alat dan bahan yang akan mereka gunakan dalam acara mural ini.
Bukan hanya mahasiswa seni rupa saja yang hadir, selain para dosen yang bertugas sebagai panitia dan dibantu mahasiswa, ada juga beberapa orang yang bukan dari seni rupa sekedar untuk menonton. Bahkan Willy juga hadir di sana.
Ghio banyak menggerutu sejak tadi. Pasalnya, Willy selalu berada di dekat Rain. Entah apa lagi tujuan pria itu.
Sementara semua berjalan menuju dinding tembok yang akan menjadi media melukis, Rain sengaja tinggal di belakang. Ia sudah menyuruh teman-temannya untuk pergi terlebih dahulu.
"Nanti Jagan coba-coba mengacau. Ingat itu." peringatan Rain pelan. Namun tatapannya tegas.
Ghio mengangguk. "Tapi, kalau si Willy-Willy itu mengganggu kamu, aku tidak akan diam."
Rain menatap jenuh. Masalah Willy lagi. Sepertinya, Rain harus bisa menghindari pria itu agar makhluk di depannya ini tidak mencak-mencak lagi.
"Iya-iya. Lagian, nanti dia cuma nonton aja."
Menatap sekelilingnya takut di lihat orang, Rain segera menyudahi obrolannya. Ia segera menyusul yang lain.
Acara mural itu diawali dengan pembukaan dari para panitia, lalu dilanjut dengan pengumuman tata acara dan lain-lain. Selanjutnya, yang ditunggu-tunggu, menggambar dinding akhirnya di mulai. Untungnya, kelas Rain berada di samping paling ujung. Jadi, Ia tidak perlu berdesak-desakan dengan kelas lain.
"Menurut kalian, tema nya itu udah sesuai gak sama gambar kita ini?" tanya seseorang dari kelas Rain.
Yang lain tampak berpikir dan memperhatikan kembali gambar yang akan mereka buat. Ada juga yang langsung menjawab sesuai.
Rain ikut meneliti kembali gambar mereka. Sepertinya gambar itu akan lebih bagus jika ditambahkan sesuatu. Rain ingat lukisan dalam kontrakannya. Lukisan Ghio.
"Aku bisa contek lukisan kamu, gak?" tanya Rain kepada Ghio yang berada di sampingnya.
"Lukisan apa?"
"Lukisan yang ada di kontrakan. Kayaknya cocok kalo digabung sama ini." Rain menunjukkan lukisan yang mereka rancang dalam ponsel.
Ghio diam memperhatikan gambar itu. Tangannya memegangi dagu seolah berpikir. "Bisa. Bagus juga," katanya kemudian. "Lebih cocok kalo dibuat di tengah. Kamu bisa menyeimbangkan mereka, kan? Seperti ini. Bagian ini ubah warnanya. Cocokkan dengan warna ini, atau bisa juga dengan warna biru langit. Sepertinya warna ini menyatu dengan warna biru." Ghio menjelaskan sambil menunjuk gambar dalam ponsel Rain.
Rain menggambarkan semua apa yang Ghio katakan dalam otaknya. Setelah Ghio selesai menjelaskan, Rain terpukau dengan bentuk yang ia lihat dalam otaknya.
Rain menatap takjub ke arah Ghio. Bukan kaleng-kaleng. Selama ini, Rain sudah merasa kalau ide-ide gambarnya itu bagus. Ternyata, Ghio lebih pro dibanding dirinya. Tidak salah lagi kalau Ghio memang anak seni yang hebat.
"Keren! Aku paham... Aku paham," kata Rain antusias.
"Rain?"
Rain menoleh ke samping kanannya. Teman-temannya menatap heran ke arahnya. Seketika Rain sadar bahwa ia baru saja bicara kuat.
"Lo sakit, ya? Belum minum obat Lo?"
Rain meringis pelan. Ia memaksakan senyumnya.
"Ngomong kok sendirian?"
"Gue dapat ide, guys." kata Rain tersenyum lebar, mengabaikan ucapan teman-temannya.
"Ide apa?"
"Kita Tambah lagi gambarnya. Gue udah dapat satu gambar." Rain langsung berjalan ke tengah tembok bagian mereka. Ia menunjuk bagian tengah. "Gue bagian tengahnya, karena gue mau tambahkan di sini. Kalau gue buat sketsanya sekarang di HP, gue gak yakin lukisan kita bakal siap hari ini. Jadi, bagian itu gue aja yang buat." katanya panjang lebar.
Melihat teman-temannya diam, Rain langsung menambahkan. "Tenang aja. Gue gak akan mengecewakan kalian."
"Gue sih, yakin-yakin aja. Selama ini juga lukisan Rain gak main-main bagusnya," kata satu orang.
Yang lain menyahut dan mengangguk.
"Atau kasih ke Andre aja. Dia kan suhu," kata seseorang.
"Idenya kan ide Rain. Andre bisa emang baca pikiran Rain? Udah biar aja Rain yang buat."
"Tapi, kan, Rain bisa bilang idenya ke Andre."
"Nih anak agak lain. Udah di bilang gak sempat." omel Mina. Kesal juga dia melihat teman satu kelasnya ini. Punya dendam kesumat kah dia kepada Rain?
"Rain aja Rain. Yok, guys! Saatnya bekerja!" Pria bernama Andre itu segera menghentikan obrolan mereka.
Semua orang akhirnya mulai bergerak. Seperti keputusan, Rain mengambil bagian tengah. Entah ada yang tak suka atau tidak terima, Rain tidak peduli.
Sementara semuanya sibuk berkarya, Ghio hanya memusatkan perhatiannya kepada Rain. Gadis itu nampak cantik dengan ekspresi seriusnya. Bahkan, wajah gadis itu sudah dihiasi dengan cat. Meskipun begitu, kadar kecantikannya malah semakin bertambah.
"Bidadari dari mana dia ini?" gumam Ghio sambil senyum-senyum sendiri.
Mungkin mata Ghio terbilang mata yang langka. Disaat semua orang melihat Rain sebagai gadis yang tomboi dan lebih mirip ke gadis tampan, maka Ghio melihat Rain sebagai gadis yang sangat cantik. Bukan hanya wajahnya, tapi hatinya juga cantik. Ghio benar-benar jatuh cinta dengan gadis ini.
Saat semua sibuk dengan kegiatan masing-masing, Rain menyempatkan diri untuk menyingkir sebentar. Ia akan beristirahat berkisar satu atau dua menit, sekedar minum.
"Kenapa kamu menatap ku seperti itu?" Mata Rain menyipit. "Jangan kira aku gak sadar, ya." katanya.
Ghio berkedip cepat sebentar, lalu detik berikutnya bibirnya menukik. "Jangan ge-er, aku melihat lukisan mu, bukan kamu."
Rain mendelik. "Heleh, kamu gak pandai berbohong. Oh, ya. Gimana lukisan aku?" Rain siap siaga selalu. Sebelum ia berbisik kepada Ghio, ia memperhatikan sekeliling terlebih dahulu. Jangan sampai orang lain menganggapnya gila karena terlihat bicara sendiri.
Ghio memperhatikan lukisan yang setengah jadi itu. "Lumayan, sih."
"Lumayan aja?" tanya Rain, tak menduga dengan jawaban itu. Hanya lumayan? Tapi tidak apa. Ghio yang lebih pro pasti sudah tahu mana yang bagus dan tidak.
"Hm." Ghio tampak berpikir. "Aku merasa pernah melakukan hal seperti ini."
"Tentu saja sudah pernah. Oke. Aku lanjut lagi, ya. Kamu tetap di sini, Jagan kemana-mana." kata Rain, lalu ikut bergabung dengan teman-temannya.
"Aku seperti mengingat sesuatu," lanjut Ghio. Namun Rain tidak mendengarnya karena sudah agak jauh.
Ghio memperhatikan mahasiswa/i yang melukis itu. Dahi Ghio berkerut samar. Kejadian serupa dengan orang yang berbeda berseliweran di kepalanya, cepat dan sekilas. Ghio tidak dapat melihatnya dengan jelas. Hingga gambar-gambar seperti itu mulai berkeliaran dalam penglihatannya. Ghio memegang kepalanya tiba-tiba. Rasa sakit memenuhi kepalanya.
"Ahh..!" Ghio menggeram kesakitan. Kilatan-kilatan hitam bermunculan di depan matanya. Rasanya sangat sakit. Ghio tidak dapat menahannya lagi.
"Rain!" Setelah memanggil nama Rain, tubuh Ghio hilang begitu saja.
Rain yang mendengar suara panggilan Ghio langsung menoleh ke belakang. Alis Rain menyatu. Ghio tidak ada di sana. Kemana dia? Padahal, baru saja Rain merasa namanya dipanggil.
Rain mengedarkan pandangannya ke sekeliling, mencari keberadaan pria itu. Namun, ia sama sekali tidak menemukannya.
Rain tidak salah dengar, Ghio memanggilnya tadi. Lalu, kemana sekarang keberadaan pria itu.
"Mau kemana, Rain?" tanya Taro. Pria itu menatap Rain bingung. Pasalnya, Rain seperti mencari sesuatu, bahkan sekarang pergi meninggalkan kerumunan.
"Dia mau kemana?" tanya Mina.
Taro menggeleng. "Gak tahu gue. Kayak nyari sesuatu, deh."
"Nyari kak Willy kali," kata Mina.
"Noh!" Taro menunjuk ke kanan paling belakang. "Itu bang Willy. Rain perginya ke sana." Lalu ia menunjuk ke kiri belakang.
"Biarkan lah we, nanti Rain juga datang. Lanjut tuh painting-nya. Jangan sampai kelas kita paling terakhir selesainya." Bonar menimpali dari jauh.
Taro dan Mina hanya mengangguk. Mereka kembali melanjutkan kegiatan yang tertunda.
Mengabaikan Rain yang kini dilanda rasa khawatir, Taro malah berjalan ke arah kursi yang disediakan di samping tembok. Ia merogoh tas Rain yang mengeluarkan bunyi dering sejak tadi.
Rain lumayan jauh darinya. Gadis itu terlihat celingak-celinguk. Taro akhirnya menatap ponsel Rain yang tak berhenti berdering sejak tadi.
"Reno?" Taro membeo. "Siapa Reno?" Taro lagi-lagi menatap ke arah Rain.
"Rain!" panggilnya dengan keras. Tapi, gadis itu hanya menoleh sebentar. Taro mendelik. Apalagi, dering telpon itu sudah berhenti.
Taro hendak kembali, tapi langkahnya kembali dihentikan oleh dering ponsel Rain.
"Reno lagi?"
"Rain! Ada telpon dari Reno!" kali ini suara Taro lebih kuat. Orang-orang yang berada di dekatnya langsung menoleh cepat ke arahnya.
Rain yang berada di kejauhan, sempat merasa bingung. Tak lama kemudian ia segara menghampiri Taro dengan langkah cepat. "Apa?"
"Ada telpon, noh. Siapa Reno? Pacar Lo?" tanya Taro penasaran. Setahunya, Rain itu jarang dekat dengan pria selain teman-temannya dan juga Willy.
Teman-teman sekelas Rain yang ada di sana langsung menghentikan kegiatan. Mereka menajamkan telinga dan mata untuk mendengar obrolan mereka. Bukan apa, selama ini Rain terkenal dengan status singlenya. Dan tiba-tiba pembahasan mengarah kepada hal itu. Tentu saja mereka penasaran.
Rain tidak peduli dengan pertanyaan Taro atau pun tatapan teman-temannya. Ia mengangkat telpon dari Reno.
"Halo, kak!"
Setelah mengatakan itu dan mendengar suara dari seberang, mata Rain membola sempurna. Ia terkejut. Gurat wajahnya menunjukkan kepanikan yang luar biasa.
"Apa?" Rain menutup mulutnya merasa syok. " Gue kesana sekarang."
Buru-buru Rain menyimpan ponselnya, lalu menyambar tas ransel kecilnya.
"Taro. Izinin gue ke komting sekarang. Gue ada urusan penting." Rain berteriak sambil berlari.
Beberapa orang memandang aneh ke arahnya. Bahkan satu kelasnya melongo melihat gadis itu lari dengan cepat.
Sementara itu, Rain terus berlari. Ia tidak mempedulikan orang-orang yang sudah ditabraknya. Keadaan sangat genting sekarang. Rain tidak punya waktu.
"Rain! Mau kemana?" Willy berteriak saat melihat Rain berlari dengan wajah panik.
"Ghio. Rumah sakit! Tolong bilang sama komting gue!" teriak Rain dari jauh. Gadis itu meloncat ke motornya. Lalu langsung tancap gas.
Willy melotot kaget, berkesan takut, melihat Rain mengemudikan motornya dengan kecepatan yang tidak normal.
"Rain! Aduh! Dia kenapa, sih?" Taro, Mina dan Bonar sempat mengejar Rain sampai ke depan gedung. Beruntungnya Willy ada di sana, mereka langsung menghampiri pria itu.
"Bang. Rain bilang apa?" tanya Taro. Ia masih sempat melihat Rain berteriak kepada Willy.
Willy menatap tak biasa. Mungkin, ia sedikit khawatir. Rain seperti pembalap liar saja. Bagaimana jika terjadi sesuatu dengan gadis itu?
"Bang Willy!" panggil Bonar. Suaranya yang keras langsung menyadarkan Willy.
"Oh, itu. Katanya, Rain mau ke rumah sakit," jawab Willy cepat.
Ketiganya menatap bingung. "Siapa yang sakit?"
"Apa jangan-jangan, kak Asyama lagi." kata Mina panik.
"Bukan." Willy tidak tahu siapa Asyama. Tapi, sepertinya terjadi sesuatu dengan Ghio. Rain hanya mengatakan hal yang tidak jelas.
"Bukan? Trus siapa yang sakit?" tanya Taro.
"Laporin aja ke komting Lo. Bilang, Rain ke rumah sakit. Temannya kecelakaan. Itu aja. Udah sana." kata Willy cepat. Lalu, ia segera pergi dari sana.
Willy akan menyusul. Sebenarnya apa yang terjadi hingga Rain terlihat se-panik itu? Apakah Ghio sudah sadar? Atau sebaliknya, terjadi sesuatu dengan pria itu?
Untuk memastikan, Willy akan melihat sendiri.
___
Rain melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Ia benar-benar takut sekarang. Saat mendapat telpon dari Reno, pria itu bilang detak jantung Ghio tiba-tiba melemah. Bahkan, tubuhnya juga kejang-kejang.
Rain benar-benar takut. Ia takut terjadi sesuatu yang buruk kepada Ghio. Pantas saja pria itu menghilang tadi. Apa ini maksudnya?
Rain tidak ingin terjadi sesuatu dengan pria itu. Tanpa aba-aba, air mata Rain meluncur deras. Gadis itu menangis terisak dalam motor.
"Ghio. Tunggu aku," lirih Rain.
Sepertinya keadaan tidak mendukung Rain. Dalam keadaan genting seperti ini, bisa-bisanya jalanan macet.
Rain menekan klakson motornya tak santai, hingga membuat dirinya menjadi perhatian sekitar.
"Cepat, dong!" kesal Rain disertai dengan isakan tangis. Ia tidak bisa menahan air matanya.
"Hiks... Ghio. Jangan tinggalin gue." lirihnya.
Baru saja Rain bercanda dengan Ghio, tiba-tiba pria itu sudah membuatnya khawatir lagi. Kalau sampai sesuatu terjadi dengan pria itu, Rain tidak tidak tahu lagi bagaimana kehidupannya ke depan.
Rain sudah terlanjur bergantung dengan kehadiran pria itu. Ghio satu-satunya pria yang berhasil membuat Rain terlihat lemah seperti ini. Ghio satu-satunya pria yang bisa membuat Rain jatuh hati.
Ghio adalah cinta pertamanya. Dan Rain berharap seterusnya hanya ingin Ghio. Rain tidak mau lagi kehilangan orang yang dicintai. Rain sudah cukup sakit.
Dalam keadaan seperti ini, hanya doa yang mampu Rain rapalkan. Ia berharap Ghio baik-baik saja. Ia berharap Ghio tidak meninggalkannya secepat itu.
Lagi-lagi, air mata Rain mengalir semakin deras.