Imperfect Marriage

”Emh, aku... eh, sejak kapan aku pernah bilang aku menyukainya?” balasku cepat. David diam, ia malah asik mengunyah jajanan yang sudah kubuka. Aku berdecak, bingung sendiri bagaimana mana mau menjawabnya. ”yah, kalau dibilang masih suka... tsk, entah lah.”

Jawaban yang abstrak. Tapi bagi David itu sudah menjadi jawaban yang cukup untuk menjawab pertanyaannya selama ini. Bahkan di balik wajah tidak pedulinya, ia bertanya-tanya jika kehadiran Adam dan Fadi ada di masa lalu dan masa sekarangnya Tara. Maka, kehadirannya di hidup Tara ia anggap bagaimana?

Rumah singgah?

”Lalu... bagaimana dengan David? Apa David menyukai seseorang? Dengan Karina misalnya?”

....

Entah lah... David sendiri tidak tahu harus menjawab apa. Apa yang akan kedua mata polos itu tampilkan ketika ia menjawab pertanyaannya?

Ia tidak tahu bagaimana perasaannya yang sesungguhnya. Malam itu, David hanya bisa menjawab, “tidak... aku tidak pernah menyukai Karina, tapi aku pernah menyukai seseorang”

Tentu saja, semua orang di dalam hidup, walaupun hanya sekali, pasti pernah merasakan yang namanya jatuh cinta. Cinta adalah anugerah. Rasa bahagia dan berdebar ketika mengalami perasaan penuh cinta patut di syukuri. Siapa yang tahu di luar sana ada orang-orang yang di paksa terus hidup dengan hati yang sudah mati, alias mati rasa. Aku turut bahagia jika David pernah menyukai seseorang.

Maksudku, ayolah, cap lelaki dingin yang aku berikan pada David sudah terlalu melekat. Karena itu, terkadang aku berpikir dunia David itu hanya bekerja, bekerja, dan bekerja. Padahal semakin lama aku mengenalnya, aku paham, David sama seperti manusia kebanyakan. Lagi pula, siapa sih yang akan menolak cowok seperti David? Aku jadi teringat saat masa kuliah dulu, kak Tasya pernah bercerita tentang kesulitannya menghadapi penggemar David yang selalu mengganggunya. Jika kak Tasya dan David dulu berpura-pura berpacaran demi keuntungan masing-masing, lantas, cewek mana yang pernah di sukai David? Pasti cewek langka. Mengingat cewek-cewek yang sengaja mendekati David bukanlah cewek biasa. Bahkan model sekelas Karina saja ditolak David loh!

Hem... aku penasaran. Sebenarnya, tipe gadis yang di sukai David itu yang bagaimana? Cewek yang perfect? Tapi bukannya ia bilang ia tidak menyukai Karina. Tapi kan bukan berarti...

”Siapa?” Malam itu, aku bertanya kembali. David tampak ingin mengucapkan sesuatu, sebuah nama mungkin, tapi karena suara hujan, aku jadi tidak terlalu jelas mendengarkannya.

”Sudah makan?” aku terpegun. Pertanyaan David membuyarkan lamunanku. Seminggu berlalu dengan cepat. Malam ini adalah pesta peresmian yang diadakan oleh Adam. Sudah sedari sore aku berkutat di salon. Masalahnya, aku tidak terlalu jago menghias rambutku. Jadi dengan rambut yang sudah di sanggul dengan pita putih sebagai hiasannya, aku sudah merasa berani pergi ke pesta seorang diri. Sebenarnya aku berencana pergi dengan David, tapi entah kenapa David mendadak harus kembali ke kantor untuk menandatangani sesuatu. Jadilah malam itu aku harus pergi seorang diri. Tak apa, aku sudah terlatih untuk ini.

”Sudah,”

”Kamu nyakin mau memakai ini? Bagaimana jika Tara masuk angin nanti?”

Aku melirik singkat gaun putih yang aku kenakan. Gaun putih selutut dengan pita berwarna hitam yang membalut pinggangku. Tidak lupa dengan sepatu hak tinggi yang berwarna hitam manis. Simpel, apa yang salah? Yah, memang bagian bahuku agak sedikit terbuka sih. ”tenang saja, kalau ngerasa dingin, aku bawa sweater kok di tas.”

”Pakai sekarang.”

”Hah? Kenapa?”

”Aku tidak akan membiarkanmu pergi dengan bahu terbuka seperti ini.” lah, memangnya kenapa? Bukannya malah gadis-gadis di pestanya malah lebih terbuka dibanding pakaianku. ”mau aku yang pakaikan atau gimana?” tanya David kembali dengan wajah dingin. Aku terperanjat, dengan cepat aku merogoh isi tasku lalu mengeluarkan sweater putih yang kemudian dengan segera aku mengenakannya.

”Nih sudah!”

David mengangguk sekali. ”hem, ini lebih bagus.” bagus apaan? Untung warna sweater nya senada dengan warna gaunku.

”Aku tidak bisa mengantarmu, supir yang akan mengantarmu. Jadi jangan pergi sendiri. Setengah jam lagi aku akan menyusul mu di pesta. Jadi,”

”Jangan pulang sendiri,”

”Benar, dan,”

”Jangan pulang dengan orang lain,”

”Benar sekali. Tampaknya Tara sudah sangat mengerti dengan apa yang selalu kita bicarakan tempo hari.”

Aku tidak akan berbohong, bahkan kata-kata David sudah sangat menempel di isi kepalaku saking seringnya ia menasihatiku mengenai hal yang sama. Seakan aku ini kayak anak SD polos yang rawan di culik. Apa karena aku terlalu suka permen ya? Makanya David mikir aku bakal manggut aja kalau di sodori permen sama penjahat? Duh...