Hasrat Tertahan Presdir Tampan

Arneta mengambil tempat duduk yang dekat dengan jendela agar ia bisa menikmati perjalanannya.

Setelah mendapatkan tempat duduk, ia mengambil ponselnya yang ada di tas lalu mengirim pesan pada ibunya.

'Buk! Iyakan apa pun yang dikatakan sama Sevan, dia semalam sudah tau kalau aku pergi dari rumah. Ibu sama Bapak jaga diri baik-baik, setelah mendaftar di Universitas J, Neta akan langsung mencari pekerjaan part time untuk membantu melunasi semua utang kita. Do'akan Arneta semoga berhasil melalui semua dengan mudah.'

Ainun baru saja bangun dari tidurnya, ia mendengar notifikasi dari ponselnya. Wanita setengah baya itupun langsung beranjak dari tidurnya.

Melihat nama Arneta tertera di sana, ia pun langsung duduk di tepi ranjang, lalu meraih benda pipih itu dan membuka isi pesan tersebut.

Ainun membacanya sambil menahan air mata.

'Arneta, maaf! Selama ini Ibu selalu mendidikmu dengan keras, semua itu agar kamu tahu apa itu perjuangan dan pengorbanan, pahit dan manisnya kehidupan. Ibu ingin melihatmu dari sekarang agar tau cara berjuang dan agar kamu bisa merasakan apa itu luka, kecewa, sedih, dan bahagia. Apapun yang akan kamu lalui pasti mampu membuat mentalmu sekuat baja. Karena tidak selamanya Ibu dan Bapak akan selalu mendampingimu dan tidak selamanya juga tangan kami bisa memeluk dan membantumu, Sayang. Yang paling penting dari semua itu hanyalah satu, Nak. Tetaplah memiliki hati yang selembut sutra, iba terhadap saudara dan sesama jangan pernah memiliki rasa tinggi hati karena kakimu masih menginjak bumi. Hanya itu pesan Ibu, Sayang. Hati-hati dan jaga dirimu baik-baik, do'a Ibu selalu menyertaimu.'

Seiring dengan ketikan keyboard itu, tak terasa juga air mata sudah membanjiri pipi Ainun. Begitu pula Arneta yang membacanya. Ia menangis sesegukan, sampai banyak pasang mata yang melihatnya.

"Ada apa, Buk?" tanya Anang sambil mengucek matanya yang baru saja terbuka.

Sesegera mungkin Ainun mengusap air mata itu.

"Nggak apa-apa, kok, Pak. Ibu mau siap-siap dulu," ucap Ainun sambil menghapus pesan Arneta yang ada di ponselnya, ia benar-benar takut jika Anang mengetahui semuanya.

Pukul delapan pagi, di kediaman Toby.

"Sevan! Sevan! Bangun! Kamu nggak pergi ke kantor? Ini udah jam delapan, loh," teriak Eca sambil menggedor-gedor pintu kamar Sevan.

Sedangkan di lantai bawah, Ainun tengah membersihkan ruang makan dengan perasaan campur aduk. Apalagi setelah dirinya membuka pesan dari Arneta.

"Semoga, apa yang menjadi keputusanmu selalu diberi jalan sama Tuhan ya, Net," lirih Ainun.

.

Tak ada jawaban dari dalam kamar Sevan.

"Udahlah, Ma. Mungkin dia lelah," ucap Toby sambil mengelus bahu Eca.

Eca coba membuka pintu kamar perlahan rupanya tidak ada siapa pun di kamar tersebut.

"Pah! Sevan nggak ada di kamarnya!" teriak Eca.

Toby langsung mengikuti Eca masuk ke dalam kamar Sevan.

Toby mencari ke setiap sudut yang ada di sana.

Eca menemukan surat di atas nakas.

'Sebelumnya Sevan minta maaf ya, Ma. Sevan yakin, pasti Mama bakal cari aku di mana. Mama tenang aja, kalau ada yang tanya aku ke mana, bilang aja aku bulan madu. Aku akan tetap menghandle kantor dari jarak jauh. Mama tenang aja.'

"Anak durhaka! Dia benar-benar nekat!" pekik Eca.

"Ada apa, Ma?" tanya Toby penasaran.

"Sevan pergi dari rumah, Pa. Sama Kartika sama Arneta juga. Benar-benar anak siialan!" dumel Eca.

"Sabar, Ma ... ingat anak kita hanya Sevan seorang, jadi kita ikuti aja apa yang jadi keputusannya."

Toby menenangkan Eca sambil memeluknya lembut.

"Tapi, Pa. Dia nggak tau diri, nggak punya rasa terima kasih sama kita sebagai orang tua. Malah pergi dari rumah sama janda itu, Mama nggak abis pikir, kenapa Sevan bisa tergila-gila sama wanita itu!" pekik Eca penuh Amarah dalam pelukan Toby.

"Udah, Ma. Udah."

Dan selanjutnya Eca hanya bisa memberi tahu orang luar bahwa Sevan tengah berbulan madu ke luar negeri.