Kisah Nyata : Adakalanya cinta itu memang harus dilepas, bukan karena jika bersama akan saling menyakiti, Namun...jika terus bersama, akan ada banyak hati yg tersakiti.
Diangkat dari kisah nyata, Adeeva seorang guru honorer yang di buat jatuh cinta oleh Adrian, seorang pria berprofesi sebagai polisi. Kegigihan Adrian membuat Adeeva luluh dan menerimanya.
Namun masalah demi masalah pun mulai bermunculan. Membuat Adeeva ingin menyerah dan berhenti. Bagaimana cara mereka menyelesaikan permasalahan yang ada? Akankah mereka bisa bersatu atau justru harus saling merelakan?
Temukan jawabannya di novel ini. Yang akan membuatmu masuk ke dalam kisah percintaan yang mengharukan.
Note : Demi menjaga privasi tokoh sebenarnya, semua nama dan lokasi kejadian sudah di rahasiakan.
follo saya di
Fb : Cut elvi anita
Ig : cut_elvi_
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LV Edelweiss, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Niat Mau putus malah...
Sudah beberapa hari aku mengabaikan pesan dan telpon dari Adrian. Aku masih butuh waktu untuk mencerna setiap cerita tentangnya yang datang begitu saja padaku tanpa aku cari. Seolah Tuhan ingin membuka mata ku, jika dia bukanlah orang yang tepat untukku. Seakan-akan aku memang di perintahkan untuk mengakhiri hubungan ini.
Ponselku masih terus berdering. Aku tetap tidak mau mengangkatnya. Adrian kembali mengirim pesan.
"Angkat sebentar penting." Tulisnya di pesan. Aku akhirnya perlahan mulai luluh. Saat dia menelpon lagi aku pun mengangkatnya.
"Hah... akhirnya... " Katanya begitu aku angkat telponnya. "Kemana aja sih? Kenapa nggak mau angkat lagi abang telpon? " Tanyanya.
"Lagi pingin sendiri... " Jawabku lirih. Aku mengusap-usap wajahku. Bingung akan hubungan aneh ini.
"Marah? abang ada buat salah ya? " Tanyanya lagi. Iya, banyak. Salah abang banyak sekali. Nggak cukup satu jam kalau dijabarkan. Kataku membatin.
"Menurut abang? " Aku malah bertanya balik.
"Yah abang nggak tau. Kalau nggak ngomong gimana mau tau? " Nada bicaranya mulai sedikit tinggi.
"Kok sekarang jadi abang yang marah? Harusnya kan adek yang marah. " Aku juga ikut-ikutan naik tensi.
"Ayuk kita ketemu... " Ajak nya.
"Untuk apa lagi? " Tanyaku ingin menolak.
"Ya bicara. Kalau nggak bicara kita bakalan gini terus. Salah paham lagi. Marah-marah lagi. " Jelasnya.
"Oke Fine... " Aku pun setuju.
Aku lalu menutup telponnya tanpa salam. Kekecewaan ku kian memuncak. Seperti bom atom yang siap meledak sewaktu-waktu. Aku selama ini berusaha mempercayainya, apapun yang orang-orang katakan tentang profesinya. Aku pikir dia berbeda. Aku kira dia tulus. Ternyata sama saja.
***
Aku berjalan perlahan masuk ke cafe yang dia sebut di telpon tadi. Cafe biasa tempat kami makan berdua. Cafe yang tidak jauh dari warung mi ayah. Menginjakkan kaki lagi di cafe ini membuat aku kembali teringat kami pernah makan di sini. Saat itu lampu padam. Dia menghubungiku menyuruhku datang ke sini. Untuk menemaninya makan.
"Mau nasi goreng nggak? ' Tanyanya saat itu.
" Enak nggak? " Tanyaku sambil tersenyum.
"Lumayan, tapi masih enakkan nasi bikinan adek... " Jawabnya.
"Jelas dong... adek gitu loh.. " Aku pun tertawa.
"Hmmm... nggak bisa dipuji dikit. Langsung deh... " Dia pun ikut tertawa.
Ya, dimeja itu. Meja yang paling depan. Yang dekat dengan taman. Kami pernah sebahagia itu meski malam gelap gulita. Tapi malam ini, cafe ini terang benderang justru hatiku yang gelap. Apakah malam ini akhir dari hubungan kami, Arunika?
Aku sudah melihatnya dari jauh. Dia duduk sambil tertunduk melipat kedua tangannya. Dia, Laki-laki yang pernah berjuang lama untuk mendapatkanku. Benarkah itu semua hanya obsesinya cuma karena rasa penasarannya saja dan bukan cinta?
Aku berdiri sejenak saat sudah dekat dengan meja. Dia mengangkat kepalanya saat mendengar suara sepatuku. Dia tersenyum.
"Uda sampai? " Tanyanya. Aku diam tak menjawab sepatah katapun.
"Mau nasi goreng nggak? " Tanyanya lagi. Masih sama, aku diam seribu bahasa.
"Minumnya mau jus sirsak? " Dia masih ingat jus buah kesukaanku.
"Siapa Windi?" Tanyaku to the point.
"Apanya? Ditawarin makan malah ngebahas lain. Cepet mau apa ? " Dia bertingkah seolah-olah tak tahu apa-apa. Sok lugu pikirku.
"Erika? Siska? Dhea? Abang kenal kan? Mereka siapa?" Nada bicaraku mulai tinggi.
"Abang nggak tau. "jawabnya lirih.
" Bohong! " Aku sedikit berteriak. Mungkin orang-orang melihatku. Tapi aku tak peduli karena sudah terlalu kesal.
"Malu diliatin orang dek... " Dia mencoba membuatku tenang. Tapi aku terlanjur panas.
Emosiku sudah tidak terbendung lagi. Aku kecewa. Kecewa yang teramat dalam.
Aku lalu duduk menyandarkan badanku di kursi. Mulai menggigit jariku untuk menahan emosi. Airmata jangan ditanya lagi, sudah pasti siap tumpah hanya saja masih ku tahan sekuat tenaga. Sesaat kemudian pelayan datang mengantarkan pesanan kami.
"Bang... ada permen nggak? " Tanya Adrian pada pelayan tersebut.
"Permen bang? Nggak ada bang. Buat apa bang? " Tanya pelayan itu.
"Nih, mau kasih dia, nangis minta permen. " Kata Adrian sambil meledekku. Dia tersenyum. Pelayan itu juga sedikit tertawa.
"Ih... jahat... Adek lagi serius malah di candain." Aku bangkit dan memukulnya pakai tas sampingku.
"Ampun... ampun. sakit... " Kata Adrian. Aku kemudian kembali duduk. Raut wajah cemberut sudah pasti aku pasang karena tingkahnya yang membuatku malu.
"Mereka mantan abang... " Dia menjawab sambil meminum jus.
"Mantan apa selingkuhan? " Tanyaku masih kesal.
"Mantan... sumpah! Ngapain bohong? " Katanya dengan nada serius.
"Trus... kenapa mereka marah-marah sama adek.. Juga, dari mana coba, mereka tahu nomor kontak adek? " Tanyaku
"Abang yang kasih... " Jawabnya dengan santainya. Sesudah memberi nomor ponselku pada sembarang orang, dia masih bisa sesantai ini.
"Hah... Abang nggak sopan ngasih nomor HP adek sama orang lain tanpa izin.Buat apa coba abang kasih? Biar adek diserang? " Tanyaku kesal.
"Mereka nggak Terima abang putusin. Abang bilang, abang mau nikah. Sama adek. Abang serius sama adek. Jadi nggak mau lagi main-main sama mereka. " Jelas Adrian.
Ehem, aku hampir terbawa terbang lagi oleh kata-katanya. Jangan percaya Adeeva, dia itu pembohong. Dia pintar bermain kata. Jangan percaya. Bukannya dia pernah menghilang lama dulu. Masa kamu lupa Adeeva, bisik roh ku.
"Nggak percaya.! " Kataku.
"Ya terserah... Tapi abang jujur. " Katanya sambil menyantap nasi goreng.
Aku diam sejenak. Rasanya nggak mungkin Pacar-pacarnya berani menghubungi aku. apa ini cuma akal-akalan Adrian saja? Biar aku berhenti marah padanya. Tapi buat apa?
"Masih nggak percaya? " Tanyanya lagi.
Aku menggelengkan kepala. Mana mungkin aku bisa langsung percaya pada apa yang belum aku ketahui faktanya. Tapi yang pasti, malam ini sepertinya tak jadi malam terakhir kami. Adrian selalu punya 1001 cara agar membuat hatiku luluh. Niat mau putus, malah semakin serius... Huft...
kawen aja truss sama pak Edward udah beress.. gak banyak kali abis episode..