Arunika
Hai, kenalin, namaku Adeeva. Aku adalah seorang guru honorer di desaku. Guru honorer termuda diantara guru-guru yang lain. Aku baru saja lulus dari bangku SMA dan langsung mendaftar untuk bakti disalah satu sekolah dasar di desa ini.
Sebagai seorang guru, aku tentunya harus mengabdikan diriku untuk mendidik tanpa melihat seberapa besar aku digaji. Yah, kalian tentu tahu berapa gaji seorang guru honorer. Cuma cukup untuk membeli segelas affogato dingin. Tapi ini bukan tentang affogato sih.... Ini tentang 'KAMI'.
...Jadi begini ceritanya......
...****************...
Kriingggg..... Kriiinggg...
Alarm terus berbunyi kencang memecah kesunyian kamarku. Namun aku masih enggan untuk bangkit dari tempat tidurku karena semalam sungguh sangat melelahkan. Warung mi yang dikelola oleh ayahku sangat ramai pembeli. Memang sama seperti hari-hari biasanya sih, namun entah mengapa semalam sangat diluar ekspektasi kami.
"Adeeva.... Adeeva... " suara ibu menusuk gendang telingaku. Seperti samar-samar terdengar. Aku bergegas bangun dan membukakan pintu kamar.
"Ya bu... " jawabku lirih dengan mata masih setengah tertutup.
"Sudah jam berapa ini? " tanyanya.
Aku menolehkan kepala ke arah jam dinding kamarku. Ya Tuhan, sudah pukul 6.30 ? Aku langsung berlari masuk ke dalam kamar mandi. Hari ini senin ada upacara. Kalau sampai aku terlambat, aku pasti akan sangat malu. Anak-anak murid ku pasti menganggapku bukan guru yang baik dan patut untuk dicontoh. Kepala sekolah juga pasti akan menegurku. Bagaimana ini?
Ibu hanya tersenyum melihat aku yang kocar kacir tidak menentu. Ibu sangat tahu bagaimana karakter anak gadisnya ini. Susah sekali untuk bangun pagi. Bahkan sholat subuh saja aku sering kesiangan. Kebiasan buruk yang sepertinya sudah boleh untuk aku buang jauh-jauh.
Sebenarnya dulu aku sangat mudah untuk bangun pagi, tapi sejak kami membuka usaha warung mi yang buka sampai tengah malam, aku jadi sering kesiangan bangun pagi. Jadi sekarang siapa yang harus disalahkan? Aku? Atau warung mi ayah?
Setelah selesai berkemas, aku langsung turun ke bawah. Ibu menyuruhku untuk sarapan dulu, tapi aku sudah tidak punya waktu. Segera aku berlari untuk mengambil sepatu heel ku yang aku beli lewat majalah trendy. Heel dengan tinggi 10 cm itu bagaikan sendal jepit bagiku kalau dalam situasi seperti ini.
"Bu... Adeeva pergi ya..." teriakku berpamitan.
“Kamu nggak sarapan dulu Deev?” Tanya ibu.
“Adeev uda telat nih Bu... Besok aja lagi ya?” kataku sambil terus berlari keluar warung.
Ibu cuma bisa geleng-geleng kepala melihat tingkah ku.
Aku langsung berlari-lari kecil melewati toko-toko. Bertemu banyak orang dengan berbagai aktivitas mereka. Ada seorang ibu tukang sapu. Sepasang suami istri tua yang baru keluar dari masjid. Abang-abang yang hendak membuka toko-toko mereka. Aku memberi senyum pada mereka meski dalam situasi genting seperti sekarang ini. Sebab melempar senyum pada mereka sudah seperti kebiasaan bagiku setiap pagi.
Matahari pagi yang cerah kemerahan, mulai muncul malu-malu disebalik gunung yang hijau. Ini adalah pulau yang indah. Di sini tak banyak fasilitas yang memadai. Pembangunan di desa ini juga dapat dikatakan belum merata. Mungkin karena pulau, jadi pemerintah belum menjangkaunya sampai ke sini. Namun soal pemandangan, pulau ini sangatlah Indah. Kalau tidak masuk dalam rekomendasi pulau yang wajib di kunjungi, mana mungkin warung kami sering kedatangan pembeli bule dari luar negeri.
Seperti beberapa hari yang lalu, saat ayah sedang memasak mi pesanan pelanggan. Seorang bule masuk dan menanyakan apakah ada daging?
"Excuse me, is there meat? "
"Mit.. mit apa? ' tanya ayah yang tidak mengerti maksud si bule.
" Meat... meat... " Bule itu kembali mempertegas namun ayah tetap tidak mengerti. Si bule sepertinya tidak begitu mahir berbahasa Indonesia dan ayah juga buta akan bahasa Inggris. Mereka memang sangat cocok jika bertemu. Hehe.
Langsung ayah menyuruh ibu untuk memanggilku. Aku sih memang tidak begitu hebat juga dalam berbahasa Inggris, yah tapi setidaknya ada beberapa kosa kata yang aku mengerti artinya.
"Meat...? Oh daging.. ? " Aku menunjukkan padanya daging sapi. Dia mengangguk dengan ekspresi bahagia.
"Daging yah... dia minta mi pakai daging. " Jelasku pada ayah.
Bule itu kembali bertanya...
" Cold drinks? "
" Here... " Aku menunjukkan kulkas minuman di dekat rak jus. Bule itu langsung membukanya dan mengambil dua botol teh botol.
Kalau ingat kejadian itu, aku dan ayah juga ibu suka tertawa. Lucu. Ditambah saat bule itu akan membayar. Ayah tak tahu cara mengatakan tagihan yang harus dia bayar dalam bahasa Inggris. Akhirnya aku sebutkan jumlah tagihan makanannya. Bule itu tampak takjub mendengar bahasa inggris ku yang lumayan bagus.
Dia mengatakan... "Nice... very nice.. " Aku pun mengucapkan terimakasih padanya. Dan berharap dia akan mampir lagi ke warung kami di lain waktu. Jika ingat kejadian itu, aku berasa seperti menjadi tourget.
"Buru-buru amat dek? " sapa salah seorang penjaga toko
"Iya nih, uda telat bang...” Jawabku seraya terus melangkah.
Jarak dari warung ibu ke sekolah memang lumayan jauh. Mungkin sekitar 1 kilometer, tapi aku sudah terbiasa dengan heel-ku berjalan sejauh itu untuk sampai ke sekolah. Aku juga sebenarnya tidak sendiri, nanti di tengah jalan aku akan bertemu dengan teman seperjuanganku. Namanya Kak Una. Kak Una sudah lebih dari 15 tahun mengabdi sebagai guru honorer. Umur nya juga mungkin sudah sekitar 38 tahunan... dia belum menikah.
"Assalamu'alaikum... kak Una..." Aku memanggilnya dari luar.
"Iya waalaikumsalam. Yuk..." Ajak kak Una.
Kami pun kemudian berangkat bersama menuju sekolah. Dari rumah kak Una ke sekolah memang tidak jauh lagi, mungkin sekitar 500 meteran.
Letak SDN 1 tempat aku mengajar berada di kaki gunung. Lokasinya jauh dari jalan raya. Jadi tidak ada bising kendaraan yang mengganggu kegiatan belajar mengajar. Di sana lah ratusan anak menimba ilmu untuk masa depan mereka. Berbagai latar belakang mereka dan karakter mereka aku temui disini. Ada yang mudah di mengerti ada juga yang sangat sulit untuk didekati. Ada yang patuh, tapi ada juga yang suka menentang. Namun aku tahu, aku disini bukanlah hadir sebagai hakim untuk menghukum mereka jika salah, aku hadir disini adalah sebagai lentera untuk menerangi mereka dengan ilmu pengetahuan. Jadi, seberat apapun yang kujalani dalam mendidik mereka, aku senang dan bahagia. Aku harus ikhlas. Harus punya kesabaran yang luas. Sebab aku sadar, jika aku sedang mendidik masa depan negeri ini. Yang mana juga akan menjadi masa depanku dikemudian hari.
Sesampainya disekolah. Kak Una mengajakku untuk sarapan terlebih dulu mumpung bel belum berbunyi. Makanan favorit kami adalah nasi goreng Wak Ti di kantin sekolah. Ditambah dengan mi gorengnya sedap sekali. Untung aku tidak terlambat, jadi sempat sarapan. Kalau tidak... bisa sempoyongan saat upacara.
Belum lama kami menyantap makanan kami, bel pun berbunyi. Aku dan Kak Una bergegas menuju kantor untuk menaruh tas. Bersiap menuju ke lapangan untuk mengikuti upacara bendera. Hari ini kepala sekolah sendiri yang menjadi pembina upacara. Semua siswa sudah berkumpul di lapangan. Membentuk barisan rapih dan tertip. Tapi namanya anak-anak SD, sudah di arahkan tapi masih saja ada yang tidak mau mengikuti. Apalagi murid-murid dari kelas 1, sungguh menguji ke imanan dan kesabaran. Heh...
Siswa kelas enam menyanyikan lagu Indonesia Raya saat bendera sedang di naikkan. Semua mengangkat tangan hormat pada Sang Saka Merah Putih. Bendera kebanggaan kita semua. Dan hari ini, upacara berjalan dengan lancar dan khitmad.
" Hari ini ngajar dikelas berapa?" Tanya kak Una selesai upacara bendera.
" Kelas 3 kak " jawabku.
" Haduh, yang sabar ya... " Kak Una membuatku tersenyum.
" Emangnya kenapa kak? " Tanyaku.
" Si Fedi tau kan? Keponakannya kepala sekolah. Ampun dah, itu anak bandelnya luar biasa. Kakak selalu habis kesabaran kalau sama dia. " Kak Una berkata setengah berbisik. Dia mungkin takut jika ibu kepala sekolah mendengarnya.
" Ada-ada aja kakak... " Jawabku sambil tertawa.
"Serius Deev. Kakak ya kalau masuk kelas Si Fedi ini,.dijamin kalau migrain kakak bakalan kambuh. Ya uda ya, kakak mau ke kelas 6 dulu.. " Katanya sambil berlalu.
Aku menarik nafas panjang. Bagiku sih sebenarnya tidak ada anak yang nakal, tapi yang ada hanyalah anak yang mencari perhatian. Aku tahu cerita tentang Fedi ini. Dia anak yang ditinggal oleh ibunya. Ayahnya kemudian menikah lagi dan tidak membawanya turut tinggal bersama mereka. Jadi Fedi di asuh oleh ibu kepala sekolah. Namanya anak yang tidak mendapatkan kasih sayang dari kedua orangtuanya, sudah tentu dia tumbuh menjadi anak yang tidak terarah. Dia jadi gampang emosi. Suka melawan. Tidak mau mendengar dengan baik. Itu semua dipengaruhi oleh rasa sedihnya yang tak dapat dia ungkapkan.
Aku melangkah menuju ruang kelas 3. Suara hiruk pikuk dan tangisan seorang anak sudah terdengar dari luar. Aku langsung mempercepat langkah kakiku. Saat aku tiba di depan pintu, Fedi sedang menarik rambut salah seorang murid perempuan.
"Ya Allah, Fedi... Lepasin... " Aku berteriak dari depan pintu kelas. Namun Fedi tidak menghiraukan teriakan ku. Aku lantas menghampirinya dan memegang tangannya dengan cepat.
"Fedi... ada apa ini Nak? " Tanyaku. Dia menatapku tajam. Auranya jelas dia sedang menentangku.
"Biarin... " Katanya lalu dia berlari ke kursinya.
"Sakit? " Tanyaku pada anak perempuan itu. Dia hanya menganggukkan kepala.
"Rasain... " teriak Fedi.
"Fedi... nggak baik kayak gitu Nak. Sekarang minta maaf sama temannya." Perintahku padanya.
"Nggak mau... " Dia lalu berlari keluar kelas.
Aku tidak mengejarnya. Aku membiarkan dia melakukan apa yang bisa membuat jiwanya lebih tenang. Aku menyuruh semua murid untuk kembali duduk dan memulai kegiatan belajar.
Anak itu unik. Mereka tak dapat kita tebak. Apa yang membuatnya sering marah dan menentang kita itu semua hanya dia yang tahu. Namun yang harus kita pelajari adalah bagaimana untuk menumbuhkan rasa sabar yang besar saat berhadapan dengan jenis anak seperti ini.
Fedi mungkin salah satu murid yang sulit untuk di mengerti. Masalah hidupnya yang begitu kompleks harus dia rasakan diusianya yang masih 10 tahun itu, membuat dia tumbuh menjadi pribadi yang emosian. Karena dia tidak tahu, harus dengan cara apa untuk mengungkapkan rasa marahnya, kecewanya atau pun sedihnya.
Selang beberapa menit dari Fedi meninggalkan kelas. Tiba-tiba dia kembali lagi.
“Permisi Bu Adeeva...” kepada sekolah sudah berdiri didepan pintu kelas.
“Iya Ibu Kepala...” jawabku sambil menoleh ke arah pintu kelas. Aku melihat Ibu kepala sekolah sudah berdiri di depan pintu kelas. Dia bersama Fedi, keponakannya.
“Masuk kamu...” Kepala sekolah menyuruh Fedi masuk ke dalam kelas.
Aku lalu menghampiri mereka. Ku lihat Fedi wajahnya murung sekali. Seperti orang yang baru selesai menangis. Dia berjalan perlahan kembali duduk dikursinya.
“Kasih tahu saya ya Bu, kalau dia berani keluar kelas lagi saat jam belajar.” Kepala sekolah terdengar menahan emosinya. Suasana kelas seketika hening.
“Baik bu...” jawabku seraya tersenyum.
"Dia itu, memang su... sah sekali untuk dinasehati Bu. Saya kadang kehabisan kata kalau mengajarinya. " Kepala sekolah tampak putus asa.
"Sabar Bu, suatu hari nanti, dia pasti akan mengerti. Untuk saat ini, mungkin masih terlalu dini bagi dia untuk memahami keadaannya."
"Saya sebenarnya kasihan Bu sama dia. Kalau buka saya yang peduli padanya, siapa lagi? "
"Saya paham Bu... " Aku mencoba untuk menenangkan Ibu Kepala Sekolah yang sudah sangat emosional.
"Ya udah Bu, kalau gitu saya kembali ke kantor. "
"Baik Bu... "
Kepala sekolah kemudian meninggalkan ruang kelas tiga. Aku menghela nafas panjang. Aku cuma bisa berharap, semoga Fedi tidak membuat ulah lagi. Aku mau dia bisa belajar dengan baik, karena ini demi masa depannya.
“Baik anak-anak, kita lanjut kan belajarnya ya?” kataku pada semua murid.
“Baik bu...” jawab mereka serempak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 85 Episodes
Comments
S. M yanie
semangat kak, aku baru belajar nulis, semoga bisa sebagus cerita kakak..
2024-05-29
1
Claudia - creepy
Bisa baca cerita berkualitas tanpa perlu keluar rumah, siapa sangka? 🙌
2024-05-15
1