NovelToon NovelToon
Naik Status: From Single To Double: Menikah

Naik Status: From Single To Double: Menikah

Status: tamat
Genre:Tamat / Nikah Kontrak / Mengubah Takdir / Fantasi Wanita / suami ideal
Popularitas:6.7k
Nilai: 5
Nama Author: Ai

Embun, seorang wanita berumur di akhir 30 tahun yang merasa bosan dengan rutinitasnya setiap hari, mendapat sebuah tawaran 'menikah kontrak' dari seorang pria di aplikasi jodoh online. Akankah Embun menerima tawaran itu?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ai, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 33

Semalam aku hampir tidak bisa tidur. Perkataan pria itu memenuhi kepalaku. Berbagai pertanyaan bergantian memenuhi kepalaku. Dan terkadang, aku merasa seolah melihat sesuatu di pojok ruangan. Aku lebih memilih berada di rumah sakit, bisa memanggil perawat hanya dengan satu pencetan, daripada di sini. Di kamar yang asing tanpa ada siapapun. Aku tidak bisa memanggil pria itudatang padaku, kan?

Aku terbangun ketika cahaya matahari bersinar masuk. Aku tidak mematikan lampu semalam, terlalu gelap dan menakutkan. Sepertinya aku tertidur beberapa saat. Di luar dugaan, aku tidak bermimpi buruk sama sekali. Mungkin karena tidur singkat?

Tiba-tiba terpikir olehku. Kenapa aku dikeluarkan dari rumah sakit di saat kondisiku belum pulih? Apakah itu karena permintaanku untuk pulang? Lalu, seorang pasien yang memaksa keluar dari rumah sakit sebelum waktunya, tidak mendapatkan obat untuk diminum atau tidak harus melakukan pemeriksaan? Aku tidak mendapatkan penjelasan apapun dari siapapun.

Aku turun dari ranjang, mencoba berdiri. Kakiku lebih kuat dari kemarin. Aku harus menggunakannya hari ini, kalau aku memanjakannya, aku mungkin berakhir tidak bisa menggunakan kedua kakiku sama sekali seumur hidupku.

Langkah pertamaku agak canggung, seolah aku baru belajar berjalan. Langkah kedua masih canggung, langkah ketiga mulai terbiasa dan langkah-langkah seterusnya menjadi lebih mudah lagi. Aku mencapai pintu kamar mandi lebih cepat dari yang aku duga, meskipun lebih lambat dari yang seharusnya.

Aku ingin mandi. Entah sudah berapa lama aku tidak mandi. Ketika memandangi diriku di cermin, aku melihat bekas luka di dahiku. Di mana lagi ada bekas luka? Kemarin aku hanya melihat yang di kaki, tangan dan kaki. Aku tidak fokus ketika berganti pakaian kemarin, tidak memperhatikan apapun. Aku memeriksa tubuhku dan mendapati luka lebam di bagian punggung dan paha. Luka di pergelangan kakiku sudah membaik, hanya di bagian tangan yang masih agak nyeri. Setidaknya aku tidak mengalami luka berat.

Aku keluar dari kamar, menuju dapur. Perutku tidak berhenti berbunyi ketika aku di kamar mandi tadi, sekarang aku harus menuruti keinginannaya.

Di dapur tidak tidak ada siapapun. bisakah aku makan? Ini bukan rumahku, tidak seharusnya aku sembarangan melihat-lihat, apalagi isi lemari dan kulkasnya. Di mana pria tampan itu?

Kerongkonganku terasa kering. Langkahku menuju kulkas terhenti, mendengar ada suara langkah dari belakang.

Lagi-lagi aku mendapatinya di belakangku. Dia masuk ke dalam dapur, seolah tidak melihatku

“Ehm... selamat pagi.” ucapku kikuk.

Tidak ada sahutan.

“Ehm... aku haus. Aku... minum... ehm...” tidak tahu apa lagi yang harus aku katakan.

Inikah rasanya ketika seseorang tertangkap basah akan mencuri? Tapi, aku tidak ingin mencuri. Aku hanya ingin minum. Tapi, minum tanpa bertanya kepada pemiliknya mungkin disebut mencuri juga? Mencuri segelas air?

Dia meletakkan segelas air minum di meja dapur, di depanku. Aku meraihnya perlahan dan menenggaknya habis.

“Ehm, terima kasih.” Dan aku pun melangkah keluar dari dapur.

“Duduklah. Sarapan.”

Langkahku terhenti hampir di depan meja tempat aku duduk makan semalam. Haruskah aku tinggal di sini? Duduk diam memandangi dia menyiapkan sarapan?

“Selamat pagi, Nyonya.” Assis muncul di pintu ruang makan. ‘Syukurlah.’ batinku dalam hati.

“Selamat pagi, Tuan.” katanya lagi setelah melihat si tampan ada di dalam ruangan juga.

Tuan? Kenapa dia memanggilnya ‘Tuan’? Apakah jabatannya lebih tinggi dari Assis? Kalau begitu siapa dia?

Tidak ada balasan dari pria yang sibuk bolak-balik menyiapkan sarapan di dapur..

“Bagaimana kabar Nyonya hari ini?” tanyanya memperhatikan aku yang berdiri tegak.

“Baik. Terima kasih.”

Syukurlah Assis datang, ada begitu banyak pertanyaan yang ingin aku ajukan, yang tidak akan dijawab si tampan. Tapi, pertanyaan pertama yang keluar dari mulutku adalah pertanyaan bodoh yang kurang penting.

“Siapa dia?” kugerakkan kepalaku menunjuk pada si tampan dengan suara berbisik.

Assis mengalihkan pandangannya pada si tampan yang tanpa aku sadari sudah berdiri di belakangku memegang sebuah piring berisi dua roti panggang.

Dia meletakkan piring di depan kursi tempat aku duduk semalam dan berkata, “Xenith.”

Xenith. Aku terdiam. Aku pernah mendengar nama itu di suatu tempat. Ini bukan nama yang umum bahkan untuk orang barat. Pikiranku bekerja keras. Apakah aku mendengarnya di film? Tidak mungkin. Aku terdiam entah berapa lama memandangnya.

Suatu ingatan tiba-tiba muncul dengan jelas seolah itu sedang terjadi di depanku saat ini juga. Peristiwa itu sesuatu yang terjadi tanpa benar-benar aku perhatikan. Nama itu disebutkan dalam sebuah percakapan, ketika aku lewat di belakang orang-orang itu. Aku tidak berniat menguping, hanya saja spontan mendengar nama yang tidak umum itu dan tercatat dalam ingatanku.

“Assis, bawa aku pergi dari sini.”

Assis yang mendengarku benar-benar terkejut. “Maaf, Nyonya?”

“Aku ingin keluar dari tempat ini. Bawa aku kembali ke rumah atau ke hotel, ke manapun.” Rasa marah memuncak, aku tidak ingin lagi berada di tempat ini bersama pria ini. Aku melangkah ke luar ruang makan, tapi sebelum aku tiba di pintu, langkahku terhenti.

“Kamu tidak akan ke manapun. Duduk dan makan.” Suara pria itu menahanku. Aku ingin pergi, tapi ada otoritas dalam suaranya yang tidak bisa aku bantah. Tapi, hatiku sangat tidak ingin berada di sini bersama dengannya.

Aku tidak menuruti perkataannya dan hendak melangkah keluar, tapi terhenti, lagi.

“Kamu tahu kamu tidak bisa ke manapun.”

Perkataannya yang menyebalkan memang benar. Aku tidak bisa pergi ke manapun kalau dia bilang tidak bisa. Tapi, aku sangat tidak ingin tinggal bersamanya di sini.

“Aku ingin kembali ke rumah.” Dia tahu rumah yang aku maksud.

“Duduk.”

Tidak ingin aku turuti.

Assis yang kini berdiri hampir sejajar denganku berkata dengan lembut, tapi kali ini tidak tersenyum, “Tolong duduklah, Nyonya.”

Pandangannya mengandung makna, dia ingin aku duduk. Bahkan kalau aku tidak salah menangkap, ada raut memohon aku untuk duduk. Aku menatapnya cukup lama dan kemudian berbalik. Aku tidak ingin memandang pria yang sedang duduk di kursi yang sama seperti semalam, tapi aku tidak mungkin duduk di kursi tanpa melirik kepadanya. Mata kami bertemu, dia sedang memandangku lurus tanpa ekspresi, tapi aku bisa membaca kalau dia menginginkanku untuk duduk sekarang juga, di tempat yang sama seperti semalam, di depan piring berisi roti.

Begitu berat langkahku menuju kursi yang hanya berjarak sekitar lima langkah dariku. Assis menarik kursi keluar dan aku duduk. Duduk dengan sopan dan memandangi roti di depanku.

Tidak ada yang bicara. Namun, aku merasakan pandangan menusuk dari samping kananku. Dia bisa membunuhku jika terus memandang seperti itu tanpa berkata apapun.

“Ceritakan.” Ini bukan hal yang aku harapkan akan dia katakan untuk memecahkan suasana yang membeku. Tapi, memang hanya itu yang dia inginkan, bukan? Ceritaku.

Aku mengangkat wajahku dan menatapnya. “Sudah aku katakan, aku tidak ingat.” Aku menonjolkan kata-kata terakhir.

Pandangannya terasa semakin menusuk. Aku tidak ingin menceritakan insiden itu. Sangat mengerikan untuk mengingatnya kembali. Kenapa dia terus memaksaku untuk bicara? Dia tidak tahu rasanya.

“Nyonya, tolong ceritakan yang telah terjadi, sehingga bisa diproses lebih lanjut.” Assis mencoba mencairkan suasana.

“Proses? Proses apa? Apakah dia sudah tertangkap? Maksudku... si... si... pria... itu?” tanyaku tergagap. Aku juga ingin mengetahui yang telah terjadi.

“”Ceritamu lebih dulu.” sela si pria.

Aku memandangnya marah. Ingin aku melontarkan kata-kata amarah, tapi itu akan percuma.

“Apa yang telah terjadi di kamar Nyonya?” Assis perlahan menanyaiku.

“Ceritakan dari awal. Jangan membuang waktu.” sela si pria lagi-lagi.

Tidak tahan dengan perlakuannya, aku berdiri. “Aku tidak akan menceritakan apapun kepadamu.” Wajahku memerah marah.

“Padaku atau tidak pada siapapun.”

Kenapa dia memaksa? Kenapa aku harus menceritakan padanya?

“Aku akan menceritakannya pada polisi.” kataku berkeras.

“Siap diinterogasi?”

Tidak. Aku tidak ingin diinterogasi, oleh siapapun. tidak juga olehnya.

“Kenapa aku harus menceritakannya padamu.” Aku menatapnya marah.

Hening.

“Aku suamimu.”

Pernyataan ini sama sekali tidak pernah aku bayangkan akan dikatakan olehnya, oleh suamiku, suami secara status. Ini menggelitikku sekaligus membuatku semakin marah. Aku tidak tahu bagaimana harus meresponinya. Hanya mataku seperti membesar dan kakiku seperti kehilangan tenaga. Aku terduduk kembali ke kursi.

“Aku tidak ingin menceritakannya.” kataku pelan, seperti untuk diriku sendiri.

“Hiduplah dalam ketakutan.” sambungnya tajam.

Sakit mendengarnya, tapi benar. Aku tidak ingin hidup dalam ketakutan, tidak ingin bermimpi buruk setiap kali tertidur, tidak ingin berkeringat dingin setiap kali berada dalam gelap. Aku ingin kehidupan normalku, meskipun aku hanya akan berdiam di dalam rumah selama 24 jam sepanjang minggu.

“Beri... aku waktu.”kataku memandangnya sambil lalu, kembali menatap roti yang tidak lagi membuatku lapar.

Tidak ada tanggapan. Aku hanya merasa terus-terusan dipandangi.

“Makanlah.” Dia, suamiku, berdiri dan beranjak ke dapur, kembali dengan baki berisi bermacam-macam makanan, mendekatiku, dan meletakkan semuanya di depan piring roti.

Aku memandangi semuanya tanpa selera. Aku hanya ingin kembali ke kamar dan tidur, tidak, berpikir. Apalagi yang harus aku pikirkan? Aku harus menceritakannya sekarang. Tidak, aku belum siap. Aku ingin mengumpulkan keberanian terlebih dahulu.

“Aku ingin kembali ke kamar.” ucapku kepada makanan di depanku. Tidak ingin aku menatapnya.

“Tidak sebelum kamu makan dan minum obat.” Diletakkannya sebuah wadah obat di depanku.

Aku menatapnya, bertanya dalam diam tentang kegunaan obat itu.

“Membantumu tidur.” katanya seolah bisa membaca pikiranku.

Obat penenang, tentu saja. Aku tidak butuh itu. Tapi, apalagi obat yang harus diberikan padaku? Aku tidak menderita luka dalam, sejauh yang aku rasakan, karena aku tidak tahu bagaimana hasil pemeriksaan dokter.

Mataku terus tertumbuk ke obat itu dan tersadar ketika sebuah gelas diletakkan di sampingnya.

“Aku tidak lapar.” kataku tanpa berpikir.

“Makan!” perintahnya dengan nada suara agak tinggi.

Aku tahu, aku tidak bisa membantahnya. Tangan kiriku mengambil sebuah roti dan meraih botol selai cokelat dengan tangan kananku. Saat aku mengoleskan selai menggunakan pisau ke rotiku, mataku tertuju kepada pisau di tangan kananku. Bayangan kejadian waktu itu seolah menyerbuku. Aku menutup mata, mencoba mengenyahkannya, tapi rangkaian peristiwa itu terus berhamburan datang silih berganti tak berurutan. Seluruh tubuhku bereaksi karena pikiran-pikiranku. Aku tidak ingin menceritakan semua hal ini pada siapapun, karena aku tidak ingin mengingat-ingat semua kejadian itu lagi.

Tiba-tiba, tanganku terasa hangat. Aku membuka mata pelahan. Aku tidak ingin melihat darah lagi seperti waktu itu. Tolong.

Putih. Putih kecokelatan. Tangan.

“Lepaskan.” Aku mendengar suamiku berkata sambil berusaha melepaskan pisau dari tanganku. Aku memandangi tangan kananku yang meremas pisau dengan kencang sehingga terbentuk garis kemerahan di telapak tanganku setelah aku melepaskan pisau itu. Dan di tangan kiriku, aku melihat roti yang berupa remah teremas di dalam genggamanku. Aku membuangnya di atas meja.

Kali ini ada rasa hangat di pipiku. Tangan kiriku yang masih terasa ada remah roti menyeka pipiku. Basah. Aku menatap tangan kiriku, melihat air mata bening yang aku seka. Aku tidak ingin bercerita, aku tidak ingin mengingat. Aku takut. Aku sangat ketakutan.

Aku dibopong kembali ke kamar oleh suamiku setelah dia memaksaku untuk minum obat tanpa makan. Dia membaringkan aku di ranjang dan menyelimutiku.

“Tidurlah.” Kali ini suaranya lebih lembut.

Mataku terbuka lebar menatapnya. Dia seperti menyuruhku pergi menuju mimpi buruk. Aku tidak ingin tidur, aku tidak ingin bermimpi buruk. Tapi, rasa kantuk menyerbuku. Perlahan aku menutup mata, bukan karena keinginanku, tapi karena ada sesuatu yang memaksa mataku untuk tertutup.

1
Arvilia_Agustin
Sampe disini Thor, nanti di lanjut lagi
Bilqies
aku mampir nih thor
Bilqies
semangat terus Thor menulisnya...
Bilqies
aku mampir Thor
Arvilia_Agustin
Sampai disini dulu ya ka, 😊
Arvilia_Agustin
Mahal-mahal sekali harga jacket nya
Alletaa
mampir lagi Thor
Ai: Makasih
total 1 replies
xoxo_lloovvee
satu mawar untukmu thor, jangan lupa mampir ya 😉
Ai: Makasih, ya
total 1 replies
xoxo_lloovvee
Apa ini akuu? 😭😭
Ai: Semangat /Smile/
total 1 replies
Bilqies
aku mampir lagi Thor /Smile/
mampir juga ya di karyaku
Ai: Makasih /Smile/
total 1 replies
marrydianaa26
semangat thor,nanti mampir lagi
Ai: Makasih /Smile/
Semangat juga
total 1 replies
Zeils
Bagus, pemilihan kata dan alurnya cukup baik dan mudah dipahami.
Hanya saja, perbedaan jumlah kata di bab satu dan dua membuatku sedikit tidak nyaman saat membacanya. Perbedaannya terlalu signifikan.
Ai: Makasih udah berkunjung.
Novel pertamaku mmg banyak kekurangannya, makasih udah diingatkan lagi.
Bisa mampir di novel keduaku, bisa dibilang lbh stabil dr yg ini. Mohon sarannya jg 🙏🏻
total 1 replies
Arvilia_Agustin
Aku kasih bunga ni thor
Arvilia_Agustin: sama-sama
Ai: Makasih /Heart/
total 2 replies
Alletaa
done ya, sudah mampir nih
Bilqies
hai Thor aku mampir niih
marrydianaa26
mampir thor nyicil wkwkkw,semangat updatenya walau aku bacanya nyicil😄
Bilqies
aku mampir lagi Thor /Smile/
Bilqies
aku mampir Thor /Smile/
Bilqies
aku mampir lagi Thor
mampir juga ya di karyaku
terima kasih 🙏
Angel Beats
sudah mampir yah kak
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!