Siapa sangka, Annisa yang memiliki keinginan untuk menikah di usia tiga puluh tahun. Harus tiba-tiba menikah di usia dua puluh satu tahun dengan seorang duda beranak satu lagi!
Annisa tahu ini salah dirinya, karena panik saat orang tuanya memilih untuk menjaminkan dirinya dengan rentenir. Dia nggak mau menikahi rentenir tua itu untuk menutupi hutang kakaknya.
Tapi ... akibat kecerobohannya, kini dia sudah menikah. Apa yang harus Annisa lakukan? Apakah dia bisa menjadi istri yang baik? dan .. bagaimana dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon slwarulla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Berusaha Nggak Peduli
Setelah tiba di rumah, Bram langsung mengajak Annisa ke kamar dan menunjukkan foto yang di maksud dan detik itu juga, Annisa dibuat terkejut karena mereka memang benar-benar berbeda. Mungkin kalau melihat mereka sepintas, nggak ada yang sadar kalau mereka ini kembar.
“Mas ... ini beneran?”
Bram mengangguk, “makanya saya nggak mungkin salah kan? Karena mereka berdua memang benar-benar berbeda. Oh iya, nggak cuman itu aja. Tingkah laku mereka juga beda, bahkan saya udah bisa lihat dari foto. Jadi, yang kamu omongin selama ini memang benar-benar Sakilla bukan Aqilla. Toh saya tahu kalau Aqilla ada di negara lain.”
“Tapi ... mas udah punya kabar kah tentang mbak Sakilla?”
“Untuk itu, saya masih mencarinya. Sepertinya mereka pakai identitas baru yang nggak di ketahui sama saya. Jadi cukup sulit untuk melacaknya. Tapi, saya akan terus berusaha untuk mencari mereka. Sesuai dengan permintaan kamu juga untuk mencari mereka, saya akan datang kan kakak kamu ke sini. Kamu cukup menunggu saja ya.”
Annisa menunduk dan menarik napas dalam.
“Kamu baik-baik aja?” tanya Bram sambil menatap khawatir ke arah Annisa yang wajahnya malah menjadi pucat. Bram menyentuh kening Annisa dengan punggung lengannya, ia menatap khawatir pada istrinya itu.
Annisa melangkah mundur, supaya lengan Bram nggak ada di keningnya lagi. Perempuan itu mengangguk dan tersenyum kecil. “Aku baik-baik aja kok.”
“Nggak ... kamu nggak baik-baik aja, jangan sembunyikan apa pun dari saya. Kamu keliatan pucet banget? Nggak lagi sakit kan? Atau karena mikirin masalah ini? Beneran deh, kalau memang lagi sakit jangan maksain diri?"
"Hahaha ... enggak, kaget aja. Hidup aku ternyata punya banyak plot twist nya. Kayak yang aneh aja gitu. Tapi di sisi lain, aku juga harus semangat gitu. Ah tau ah, aku juga gak paham sama diri aku sendiri."
Bram menatap bingung istrinya.
"Hahaha ... sebenarnya kamu ke napa? udah-udah, nggak usah di pikirin sama sekali. Kamu juga ga perlu takut sama dia. Karena dia beneran orang baik dan selalu ada di pihak aku. Nggak usah terlalu di pikirin. Dan juga ... kamu gak usah terlalu mikirin masalah ini. Biar mas yang urus semua ini, apa lagi kamu juga gak pernah ngelewatin ini semua sendiri kan? jadi ... cukup rawat mas sama Rama aja tanpa mikirin masalah yang lain."
"Iya mas ... maaf ya kalau aku ga bisa bantu apa-apa."
"Cukup ada di samping mas terus aja, kamu udah berguna banget kok."
Dengan pikiran yang masih kacau, akhirnya Annisa memilih keluar dari kamar suaminya. Baru mau masuk ke kamarnya ponsel Annisa kembali berdering. Perempuan itu merogoh kantung celananya. Wajahnya semakin mengeras melihat nama ibunya yang ada di layar ponsel.
"Aish! ibu mau apa lagi sih. Apa gak cukup kemaren aku yang marah sama ibu. Atau ibu masih kekeh mau uang dengan nominal banyak itu?"
Annisa jelas tau tipikal ibunya yang nggak akan pernah berhenti kalau belum mendapat apa yang dia mau. Tapi lihat dong, kalau cuman minta sekitar lima ratus sampai satu juta. Mungkin Annisa masih bisa usahain. Tapi kalau sampai lima puluh juta mah, Annisa bener-bener ga ada dan dia gak mau kalau ibunya jadi kebiasaan begini.
Annisa mengacak rambutnya dan melangkah dengan emosi menuju kamarnya, berusaha menghiraukan ponselnya yang terus menyala itu.
"Mah ... itu ada telepon loh, kok nggak di angkat?"
Langkah Annisa terhenti dan dia menoleh pada anaknya yang menatap dengan bingung. Perempuan itu menarik napas dalam dan mengangguk pelan, "iya ini mau mamah angkat kok, nanti pas di kamar."
"Jangan lupa di angkat ya mah!"
Annisa mengangguk dan melewati Rama begitu saja, membuat anak itu menatap dengan bingung dan hanya berakhir mengangkat baju acuh.
Akhinya dengan sangat terpaksa, Annisa mengangkat telepon itu setelah masuk ke dalam kamarnya.
"Ibu ... mau apa lagi sih? ibu masih mau maksa aku, buat mintain uang itu? ya ampun, bu. Beneran deh. Aku nggak bisa sama sekali. Nominal uangnya terlalu besar dan untuk minta mobil sementara ibu sama bapak nggak ada yang bisa bawa mobil itu berlebihan banget."
"Alah ... kamu beneran nggak takut sama ancaman yang ibu kasih tau ya? kamu tau kan kalau semua orang sampai tau tentang kakak kamu? uh ... yang ada kamu malu! ibu sih ga peduli."
Annisa menahan emosi yang menggebu.
Di saja masih pusing memikirkan kakaknya, tapi sang ibu malah mengatakan hal yang membuat dia benar-benar makin pusing. Ia menarik napas dalam dan mengangguk, telah mengambil keputusan.
"Mulai sekarang, terserah ibu. Aku beneran angkat tangan kalau ibu terus gini. Kalau ibu mau bongkar kakak, juga silahkan aja. Palingan ibu sama bapak yang malu. Karena aku nggak akan pulang lagi ke sana. Aku tegas kayak gini juga karena ibu. Ibu terus minta tanpa pernah mikir perasaan aku sama sekali."
"Perasaan apanya ... ini mah, emang kamu nya aja yang pelit. Dasar kamu tuh memang benar nggak tau di untung sama sekali yah. Kamu nggak inget berapa biaya yang ibu sama bapak keluarkan untuk kamu? tapi sekarang baru minta gini aja kamu udah protes? memang dasar anak durhaka. Nggak tau di untung sama sekali!"
Annisa menarik napas dalam sembari menggeleng.
"Kalau ibu mah bahas untung-untungan, aku coba mau ingetin ibu kalau selams sekolah. Aku selalu beli ini itu pakai uang sendiri. Dari kecil aku selalu kerja. Dan aku masih inget uang tabungan aku yang udah banyak banget diambil sama ibu dan bapak. Banyak loh yang udah aku kasih ke ibu sama bapak. Aku nggak pernah mau ungkit masalah ini. Tapi kalau ibu sama bapak mau ungkit lebih dulu. Mau nggak mau, aku juga bakalan ungkit hal ini."
"Kamu semenjak nikah sama laki-laki itu, jadi sok banget ya. Hadeh .. tinggal tunggu suami kamu sadar aja. Pasti dia bakal ninggalin kamu!"
Annisa menghembuskan napas kasar.
"Sekarang terserah ibu deh!" marah Annisa yang sudah menangis. "Buat uang, aku nggak akan kasih ke ibu. Aku nikah sama mas Bram bukan karena uangnya. Terserah ibu mau ngatain aku perempuan bodoh atau apa! tapi tolong. Jangan doakan aku yang buruk."
Suara Annisa semakin tercekat. Tak sengaja tangannya menekan tombol merah di ponselnya, mematikan panggilan. Tubuh Annisa luruh ke lantai dan dia menangis tersedu-sedu seperti itu.
Sementara,
Tanpa sepengetahuan Annisa, perempuan itu lupa menutup pintu kamarnya dan sejak tadi sudah ada Bram yang melihat terkejut keadaan Annisa yang seperti ini.