" Iya, sekalipun kamu menikah dengan wanita lain, kamu juga bisa menjalin hubungan denganku. Kamu menikah dengan wanita lain, bukan halangan bagiku “ Tegas Selly.
Padahal, Deva hendak di jodohkan dengan seorang wanita bernama Nindy, pilihan Ibunya. Akan tetapi, Deva benar - benar sudah cinta mati dengan Selly dan menjalin hubungan gelap dengannya. Lantas, bagaimanakah kelanjutan hubungan antara ketiganya ? Akankah Deva akan selamanya menjalin hubungan gelap dengan Selly ? atau dia akan lebih memilih Nindy ?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vitra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perpisahan yang Palsu
“Bagaimana Ibu bisa setega itu pada Selly?!” bentak Deva kepada ibunya.
“Kenapa kamu membela mati-matian wanita seperti Selly? Apa istimewanya dia?!” sanggah Ibu, tak mau kalah berdebat dengan anak laki-lakinya itu.
“Selly sudah menjalin hubungan denganku selama lima tahun! Bagaimana bisa, tiba-tiba Ibu memintaku berpisah dengannya?”
“Ibu tahu siapa wanita terbaik yang pantas menjadi istrimu!” jawab Ibu tegas.
“Mungkin Ibu bukan istri yang baik untuk Bapak. Makanya Ibu bercerai dengannya,” ucap Deva dengan nada getir.
Plak!
Ibu menampar pipi kanan Deva.
“Anak kurang ajar! Demi Selly, kamu sampai berani berkata seperti itu kepada Ibumu sendiri?!” seru Ibu dengan mata membelalak, menahan amarah yang memuncak.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Deva memilih meninggalkan ibunya dan masuk ke kamar.
Di dalam kamar, Deva menangis. Ia sangat kesal. Ia merasa ibunya aneh—kenapa tiba-tiba ingin menjodohkannya dengan wanita lain, padahal ia sudah lima tahun menjalin hubungan dengan Selly. Bahkan ibunya sudah cukup mengenal Selly dengan baik.
Sementara itu, Ibu juga menangis di ruang tamu. Ia menundukkan kepala, tak menyangka Deva bisa berkata begitu menyakitkan. Selama tiga puluh tahun hidup bersama anak semata wayangnya, baru kali ini Deva mengatakan sesuatu yang menusuk hati.
Ibu Deva bernama Bu Lastri, seorang ibu tunggal. Sejak Deva duduk di bangku SMP, ia sudah membesarkannya sendirian. Ia memilih bercerai karena diselingkuhi oleh suaminya. Trauma pernikahan membuatnya tidak ingin menikah lagi.
Bukan tanpa alasan Bu Lastri menolak hubungan Deva dan Selly. Sejak awal Selly dikenalkan, Bu Lastri sudah tidak menyukainya. Itu karena Selly pernah menyelingkuhi Deva. Sebelum Deva mengenalkannya secara langsung, ia sempat bercerita bahwa Selly pernah mengkhianatinya.
Bagi Bu Lastri, melihat wanita yang pernah berselingkuh dengan anak semata wayangnya sama seperti membuka luka lama. Ia merasa perselingkuhan adalah bentuk kecanduan—sekali dilakukan, kemungkinan besar akan terulang lagi.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
“Apa? Kamu meminta putus denganku?” tanya Selly, terkejut.
“Iya. Aku ingin kita putus,” jawab Deva singkat.
“Perasaan hubungan kita baik-baik saja. Kenapa tiba-tiba kamu ingin berpisah?”
“Semalam aku sudah mencoba membelamu. Aku juga sudah menolak dijodohkan dengan anak teman Ibu,” jelas Deva.
“Hah? Apa katamu? Kamu dijodohkan oleh Ibumu? Kenapa kamu tidak bilang dari awal?”
“Aku awalnya tidak ingin memberitahumu alasan sebenarnya. Tapi ternyata aku tidak bisa menyembunyikannya darimu,” ucap Deva, suaranya melemah.
Selly menatap Deva, mulai menyadari sesuatu.
“Kamu yakin ingin putus denganku? Kamu yakin akan bahagia menikah dengan wanita pilihan Ibumu?”
Deva terdiam. Ia hanya menatap Selly, penuh dilema.
Melihat ekspresi itu, Selly melanjutkan, “Aku tahu kamu masih berat melepasku. Itu terlihat dari caramu yang tak bisa menjawab pertanyaanku. Baiklah, kalau kamu memang ingin berpisah…”
Ia tersenyum—bukan senyum sedih, tapi senyum yang penuh makna.
“Asalkan kamu tahu, Deva. Hatiku akan selalu terbuka untukmu, bahkan jika kamu menikah dengan wanita lain,” bisik Selly sambil tersenyum licik.
Deva mengernyit. “Maksudmu?”
“Ya. Sekalipun kamu menikah dengan wanita lain, kamu tetap bisa menjalin hubungan denganku. Pernikahanmu bukan halangan bagiku,” tegas Selly.
Karena buta oleh cinta, Deva ikut tersenyum. Ia memeluk Selly dengan erat.
“Terima kasih, Sel. Maafkan aku karena tidak bisa menjadikanmu istri. Setidaknya, aku masih bisa tetap bersamamu.”
Selly tersenyum penuh kemenangan di balik pelukan itu.
Kemudian, dengan suara pelan namun tajam, Selly berkata, “Berpura-puralah seolah kita sudah berpisah dan jadi mantan kekasih. Itu lebih baik daripada kamu berpura-pura bahagia dengan wanita pilihan Ibumu.”
Deva terdiam sesaat setelah Selly membisikkan sesuatu di dekat telinganya. Kata-kata yang ia dengar langsung dari mulut Selly membuat dadanya terasa sesak—ia semakin terjebak dalam dilema.
"Haruskah aku melakukan hal seperti yang baru saja kamu katakan padaku?" tanya Deva sambil menatap Selly dalam-dalam.
Dengan kepercayaan diri yang penuh, Selly mendekatkan wajahnya ke arah Deva, lalu berkata tegas, “Iya. Menurutku, itu memang yang harus kamu lakukan... kalau kamu memang mencintaiku dan masih ingin bersamaku.”
Deva terdiam lebih lama kali ini. Ia menatap kedua mata Selly, mencari sesuatu di balik tatapan itu—keyakinan, harapan, atau mungkin tekanan. Ia tahu, meninggalkan Selly bukanlah pilihan yang mudah. Bukan hanya karena kecantikannya yang nyaris sempurna—yang mungkin sulit ia temukan lagi di luar sana.
Lebih dari itu, ada kenyamanan yang Selly tawarkan. Kehadiran Selly membuatnya merasa dibutuhkan, diterima, dan diinginkan. Sesuatu yang tak lagi ia rasakan dalam hubungan yang sebelumnya. Namun, suara hatinya terus bertanya: apakah semua ini layak diperjuangkan... atau justru akan menghancurkannya?
Namun, dengan sekuat tenaga batinnya, Deva mencoba meyakinkan diri sendiri bahwa menjalin hubungan terlarang dengan Selly adalah pilihan terbaik baginya saat ini.
“Menurutku, kamu benar,” ucap Deva dengan mantap. “Lebih baik aku berpura-pura berpisah denganmu daripada harus pura-pura bahagia menjalani hidup dengan wanita pilihan ibuku. Itu justru akan menyiksa batinku.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Nindy terkejut ketika ayahnya, Pak Danu, mengatakan bahwa ia hendak dijodohkan dengan anak dari rekan kerjanya.
Sebenarnya, Nindy belum siap menjalin hubungan, apalagi menikah. Ia sudah terlalu nyaman dengan status single-nya.
“Tapi, Ayah harus tahu. Aku belum siap berkenalan atau menjalin hubungan, apalagi menikah dalam waktu dekat,” ucap Nindy, nada suaranya sedikit kesal.
“Lantas? Mau sampai kapan kamu begini? Tahun ini kamu hampir menginjak kepala tiga. Bukankah kamu sudah berusia dua puluh delapan?” jawab Pak Danu, berusaha meyakinkan.
Mendengar perdebatan itu, Bu Narmi, ibunya, ikut menimpali.
“Apa yang dikatakan Ayahmu itu benar, Nindy. Jangan sampai kamu terlalu nyaman dengan kesendirianmu.”
Nindy mendengus kesal.
“Ya, memangnya kenapa kalau aku nyaman sendiri? Ayah dan Bunda tahu sendiri, laki-laki yang mendekatiku hanya mempermainkanku. Mereka cuma penasaran. Aku sudah lelah dekat dengan laki-laki,” tegas Nindy.
Ayahnya menarik napas panjang, lalu berkata, “Baiklah. Kalau kamu memang masih ingin sendiri, Ayah tak bisa memaksamu. Tapi tak ada salahnya, kan, kalau kamu mencoba berkenalan dulu? Kalau di pertemuan pertama kamu merasa tidak cocok, kamu boleh langsung menolaknya. Bagaimana?”
Nindy terdiam beberapa menit. Lalu ia mengangguk pelan.
“Baiklah. Aku akan mencobanya. Tapi Ayah harus menepati janji. Jika di pertemuan pertama aku tidak nyaman, Ayah harus sampaikan kepada teman Ayah bahwa aku menolak.”
Pak Danu mengangguk mantap. “Tentu. Ayah pasti menepati janji.”
Mendengar kesepakatan itu, Bu Narmi merasa campur aduk. Di satu sisi ia lega karena Nindy bersedia mencoba. Tapi di sisi lain, ia masih khawatir kalau-kalau hati Nindy benar-benar sudah tertutup untuk cinta.