Nabil seorang anak berkepala besar
bayu ayahnya menyebutnya anak buto ijo
Sinta ibu bayu menyebuutnya anak pembawa sial
semua jijik pada nabil
kepala besar
tangan kecil
kaki kecil
jalan bungkuk
belum lagi iler suka mengalir di bibirnya
hanya santi yang menyayanginya
suatu ketika nabil kena DBD
bukannya di obati malah di usir dari rumah oleh bayu
saat itulah santi memutsukan untuk meninggalkan bayu
demi nabil
dia bertekad memebesarkan nabil seorang diri
ikuti cerita perjuangn seorang ibu membesarkan anak jenius namun dianggap idiot
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
ingatan Nabil yang luar biasa
“Gimana, Laras? Pak Darmawan telepon aku terus,” suara Bayu terdengar dari balik pintu kamar mandi, nadanya penuh tekanan.
Laras duduk di tepi ranjang, tubuhnya masih dibalut daster tipis yang sudah lusuh. Ia mengatupkan kedua tangan, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berdebar sejak pagi. “Aku bingung, Mas,” jawabnya pelan.
“Ini semua karena ibumu! Harusnya dia bantu kamu!” bentak Bayu, keluar dari kamar mandi dengan handuk di leher, wajahnya merah padam.
Laras menunduk. Suaranya nyaris seperti bisikan. “Mas, selama ini Ibu banyak bantu kita. Waktu kamu kehilangan pekerjaan, waktu kamu jatuh sakit... Ibu aku yang bantu, Mas.” Air matanya jatuh satu per satu, tanpa bisa ia cegah.
Bayu mendengus. “Gitu aja kamu nangis. Dasar cengeng. Udah, sekarang kita jual aja mobil kamu.”
Laras diam. Hatinya bergetar. Mobil itu...
Itu bukan sekadar kendaraan. Itu lambang kebebasan, harga diri, hasil dari hari-hari penuh kerja keras, lembur tanpa libur, makan hemat, dan menolak belanja barang mewah. Mobil putih itu adalah bukti bahwa ia bisa berdiri sendiri. Bisa menjadi perempuan yang dihormati. Dan sekarang... Bayu ingin menjualnya?
“Mas… coba kamu minta bantuan Ibu kamu dulu,” ucap Laras, pelan tapi mantap.
“LARAS!” hardik Bayu tiba-tiba, suaranya memecah udara. “Kamu hina ibuku, hah?! Kamu tahu kan, ibu aku nggak punya uang! Kamu suruh aku minta-minta? Kamu tuh memang nggak berguna!”
Tubuh Laras mengejang. Tak berani menatap Bayu. Dadanya sesak, tenggorokannya seperti tercekik. Ia tahu, membalas hanya akan memicu pertengkaran lebih besar.
“Brakk!”
Bayu membanting pintu apartemen dan menghilang ke luar. Suara langkahnya menghentak tangga, membelah keheningan.
Laras hanya bisa menangis. Sendiri. Lagi.
Ada sesal yang tiba-tiba merayap masuk ke relung hatinya. Dulu, ia rela menjadi selingkuhan Bayu. Rela menghancurkan rumah tangga Santi. Dan ketika Bayu mengajaknya menikah, ia pikir itu akhir yang bahagia.
Ia salah.
Malam itu Bayu tak pulang.
Laras tidur sendiri, berpeluk bantal yang basah oleh air mata. Rasa bersalah, kesepian, dan kehancuran harga diri menggulung seperti ombak besar. Tapi ia tidak punya siapa-siapa lagi. Bahkan ibunya pun kini jauh—dihindari sejak ia memilih Bayu.
“Brakk!”
Pagi belum sepenuhnya terang saat pintu apartemen terbuka.
“Laras!” seru Bayu, suaranya penuh urgensi.
Laras duduk perlahan dari ranjang. “Ada apa, Mas?”
“Teman aku mau beli mobil kamu. Harganya bagus, 300 juta.”
Laras terdiam. “Mas…” bisiknya, nyaris tak terdengar.
“Kamu tega lihat aku mendekam di penjara? Hah?” suara Bayu naik satu oktaf.
Dan siang itu, pria yang katanya teman Bayu datang. Ia membawa koper berisi uang dan kontrak yang sudah disiapkan. Laras berdiri di sisi mobil putihnya, memegang kunci erat-erat.
Mobil itu mengilat di bawah matahari. Dua tahun lalu, saat ia membelinya, ia sempat memotret dirinya berdiri di sampingnya, senyum bangga mengembang lebar. Kini, ia berdiri di tempat yang sama, tapi dengan mata sembab dan tangan bergetar.
Kunci itu... seolah tak ingin lepas dari genggamannya. Ia tahu, kalau ia menyerahkan kunci itu, ia juga menyerahkan sebagian dirinya. Harga diri. Kebanggaan. Martabat.
Tapi Bayu berdiri di belakangnya. Mata pria itu tajam, penuh desakan.
Dengan pelan, Laras menyerahkan kunci itu. Teman Bayu mengambilnya dan memberikan koper berisi uang.
Selesai. Hanya butuh dua menit untuk menghancurkan dua tahun perjuangan.
Bayu mengeluarkan selembar kuitansi dan meminta Laras menandatangani. Ia menurut. Tangannya gemetar.
“Sayang,” ucap Bayu setelah pria itu pergi, “aku butuh pegangan sedikit. Kasih aku empat puluh juta ya. Buat uang jalan.”
Laras menatap suaminya. Wajah yang dulu ia cinta mati-matian, kini hanya menyisakan kehampaan. Tapi ia tak sanggup berkata tidak.
Ia mengangguk, menyerahkan tumpukan uang, dan memalingkan wajah agar Bayu tak melihat air matanya.
Setelah Bayu pergi lagi, Laras duduk di pojok kamar kos yang dingin. Koper uang sudah habis. Kuitansi penjualan mobil masih di tangan kiri. Di tangan kanan, secarik kertas utang Bayu yang katanya akan dilunasi dengan uang itu.
---
Tenda kecil di depan ruko sederhana itu tampak ramai. Bukan oleh dekorasi ulang tahun atau balon warna-warni seperti pesta anak kebanyakan. Tidak ada badut. Tidak ada panggung. Tidak ada musik keras. Yang ada hanyalah tumpukan paket nasi bungkus, teh hangat dalam termos, dan kue ulang tahun buatan tangan, disusun rapi di atas meja plastik.
Hari ini, bagi Santi, adalah hari yang sangat spesial. Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia bisa merayakan ulang tahun Nabil. Bukan karena ingin pamer, bukan karena ingin dianggap mampu, tapi karena ingin berbagi kebahagiaan yang selama ini hanya bisa disimpannya dalam hati.
Santi pernah bermimpi bisa memberikan pesta kecil untuk anaknya. Tapi bertahun-tahun ia hanya mampu menatap kue ulang tahun di etalase toko sambil menggenggam tangan Nabil erat-erat. Kini, saat usahanya mulai berjalan, saat ia bisa berdiri di atas kaki sendiri, ia tak ingin menunda lagi. Meski sederhana, tapi inilah momen yang ia tunggu-tunggu.
Yang diundang pun bukan orang-orang penting. Mereka yang datang adalah para pengemudi ojek online, anak-anak yatim dari sekitar, dan beberapa ibu dari panti asuhan. Dan ide acara ini? Dari Nabil sendiri.
"Aku maunya dibagiin makanan aja, Bu. Biar yang lain ikut senang," katanya polos waktu itu.
Di tengah keramaian, seorang anak tiba-tiba berseru lantang, “Kata orang, Nabil itu umurnya 9 tahun tapi badannya kayak anak 6 tahun. Tapi mukanya kayak udah 15. Aneh!”
Tawa pun meledak dari beberapa anak lain. Santi sempat mendekat, waspada. Tapi Nabil hanya duduk diam, mengetuk-ngetukkan pergelangan tangannya dalam ritme yang teratur. Kebiasaan yang dilakukannya setiap kali ia mencoba menenangkan diri atau sedang berpikir.
Seorang ibu berjilbab tersenyum dan mendekat, lalu bertanya pelan, “Nabil sayang, sekarang umur berapa?”
“Umurku 9 tahun. Lahir 21 April 2016. Itu hari Kamis. Sama kayak Ibu Kartini. Dia lahir 21 April 1879, hari Senin.” Jawaban itu meluncur begitu saja, datar, tanpa ekspresi. Jarinya tetap mengetuk-ngetuk.
“Ih, bener loh!” seru seorang ojol sambil menunjukkan hasil pencarian Google di ponselnya.
Si ibu terperangah. “Kalau Ibu lahir 19 Agustus 1980, itu hari apa ya?”
“Selasa,” jawab Nabil tanpa jeda.
“Wow! Hebat!” kata si ojol, matanya membesar.
“Nggak cuma itu,” sahut Nabil tenang, “19 Agustus juga hari kemerdekaan Afghanistan. Tahun 1919.”
Tawa dan sorakan meledak. Anak-anak mendekat. Salah satunya mengangkat tangan. “Coba tanggal 30 Mei 2008!”
“Jumat.”
“25 Desember 1991?”
“Rabu.”
“14 Februari 2020?”
“Jumat.”
Jawaban Nabil datang seperti kilat. Tepat, cepat, tanpa keraguan. Seolah ia menyimpan kalender dunia dalam otaknya. Mereka mencoba lagi dan lagi—tanggal lahir, hari ulang tahun, hari wisuda. Dan Nabil menjawab semuanya. Benar.
Seorang ojol yang baru datang berhenti di tengah langkahnya. Ia memegang ponselnya, mulai merekam diam-diam. “Anak ini... bukan anak biasa. Ini luar biasa.”
Lalu, sambil tertawa, seorang ojol bercanda, “Kalau motor saya, kamu ingat nggak?”
Nabil menoleh ke arah parkiran, lalu berkata, “Yamaha Lexi hitam. Pelat B 2783 GQ. Kamu pertama kali ke sini 11 Maret. Duduk di pojok, pesan kopi susu dua kali. Hari itu Selasa.”
Hening sesaat.
"wah gila benar gua aja ga inget plat nomer motor gua" ucap ojol sambil melihat STNK nya.
Ojol itu hanya menatap, tak bisa berkata-kata. Satu per satu yang lain ikut mencoba.
“kalau Saya? Beat merah?”
“Betul. Pelat F 3240 JI. Datang pertama kali tanggal 18 Januari, Sabtu. Motornya basah, kamu pinjam handuk dari Ibu buat lap jok.”
Sang ojol menelan ludah. Tangannya sedikit gemetar.
“Nabil itu kayak komputer!” seru seorang anak sambil tertawa lepas.
“Bukan! Dia kayak Doraemon! Tahu segalanya!” seru yang lain.
Tapi Nabil hanya diam di kursinya. Tidak tersenyum. Tidak tertawa. Tapi matanya—oh, matanya—berbinar. Tangannya masih mengetuk pergelangan kirinya, irama yang hanya bisa ia mengerti.
Dari belakang tenda, Santi berdiri. Ia tak ikut kerumunan. Hanya menatap dari kejauhan, memegang ujung lengan bajunya erat-erat. Ada sesuatu dalam dadanya yang mengembang, hangat, getir, tapi juga membuncah.
Air mata itu akhirnya jatuh, pelan. Menetes di ujung kerudungnya, satu-satu.
Anak yang tak pernah diharapkan bapaknya menjadi pusat perhatian karena ketajaman ingatanya
Anak yang disebut Buto ijo oleh keluarga suaminya hari ini menjelma menjadi anak yang mencengangkan banyak orang.
Mungkin fisik Nabil tidak sempurna tapi dia punya hati dan kecerdasan luar biasa
mantap sekali bu laras..😘😘😘
yukk lanjut thor