Zhavira adalah seorang gadis yang manja. Dibesarkan oleh ayahnya seorang diri setelah mamanya pergi entah kemana.
Kehidupan zha berubah total ketika ayahnya meninggal, terutama setelah seorang pria datang dan mengambilnya atas wasiat sang ayah. Pria bernama Edo Lazuardo itu mengemban amanat untuk mengurus zha setidaknya hingga ia dewasa.
Zha merasa hidupnya terkekang bersama Om bekunya, dan selalu saja ada masalah diantara mereka berdua. Apalagi dengan jarak usia yang cukup jauh untuk saling mengerti satu sama lain.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erna Surliandari, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Firasat
Siang ini om edo tengah mengadakan rapat bersama beberapa kolega di kantornya. Ia ditemani Rania_salah seorang sekretarisnya. Awalnya semua berjalan lancar, hingga kemudian om edo seperti diserang perasaan yang tak tenang.
"Tuan, kenapa?" tanya rania padanya.
Om edo menggelengkan kepala, tapi tangannya mengusap leher belakangnya yang terasa sedikit berat. Ia juga seperti sulit untuk membagi fokusnya hari ini.
"Ada kabar tentang zha?" tanya Om edo yang langsung menoleh tajam pada rania.
"Belum, Tuan. Terakhir, Nona sedang melakukan sesi pengambilan nilai olahrga. Itu saja," jelas rania padanya.
Om edo mengangguk. Ia kembali meraih beberapa dokumen yang ada didepan mata dan membacanya. Ia berusaha fokus meski rasanya itu amat sulit, tapi tak ingin jika tak dianggap menghormati semua kolega yang ada disana.
Hingga akhirnya tangan dan kakinya yang tak bisa diam dengan segala kegelisahannya. Memainkan pena ia putar-putar, dan kakinya terus bergetar begitu sulit ia kendalikan. Kadang ia justru merasa dadanya juga begitu berdebar hingga beberapa kali ia tepuk pelan-pelan.
*
Van menunggu zha yang masih pingsan di brankarnya. Ia bersama dinda, yang saat itu sibuk mengoles minyak kayu putih di beberapa bagian tubuh zha, yang bahkan membuat van membuang muka.
Dinda menjelaskan awal mula kejadian secara runut ketika van mulai bertanya, bahkan menceritakan ketika Lidya bahkan juga sempat membully hp butut itu sebelum zha simpan di lokernya.
Van termenung, meraih hp zha yang diataruh di nakas. Memorinya ada, tapi entah bagian itu zha simpan dimana hingga ia histeris dan merasa begitu kehilangan semua kenangan yang ada. Benar-benar basah, sepertinya memang terendam cukup lama di air got sekolah mereka.
"Ayah_" panggil Zha yang mulai perlahan membuka matanya.
"Zha?" Van langsung meraih tangan zha dan menggenggamnya.
"Kak Van, hp zha mana? Masih bis hidup ngga? Disana ada voice note dari ayah, suara terakhir ayah sebelum meninggal." Zha menangis lagi mencari hpnya.
Akan tetapi, sayangnya hp itu sudah benar-benar tak bisa diselamatkan. Sempat hidup, tapi hanya bayas logo saja dan tak bisa masuk ke aplikasi utama. Dengan sesal, Van memberikannya lagi pada zha.
Gadis itu meraih hpnya, berusaha menekan sana sini berharap agar hidup kembali. Dan akhirnya, hanya tangis yang bisa meluapkan semua perasaan yang ada saat ini.
"Terus gimana? Gimana zha mau denger suara ayah sebagai pengantar tidur buat zha? Zha harus gimana?" perih sekali rasanya mendengar rintihan zha saat itu, tapi mereka tak bisa berbuat apa-apa untuknya.
"Ambil tas zha dikelas, kita antar dia pulang," titah van pada dinda, yang langsung dijawab anggukan olehnya.
Dinda segera berlari menuju kelas lalu mengambil semua perlengkapan zha, tak terkecuali yang ada di lokernya. Ia segera kembali pada van dan zha, dan seperti biasa dinda akan berjalan dibelakang mereka berdua. Saat itu zha berada dalam gendongan van, dan dinda menjaganya.
Pemuda itu meminjam mobil salah seorang guru mereka, dan ia menyetirnya sendiri sembari menanyakan alamat rumah yang zha tempati saat ini. Tapi zha diam, ia hanya melamun dan menyandarkan kepala dijendela mobil itu. Ia menatap kosong keluar, jiwanya seakan sudah hampa tiada rasa dan semangat perjuangan lagi saat ini.
Dinda saat itu membuka tas zha, dan ia mencari sebuah petunjuk disana. Dan berhasil, dinda menemukan sebuah alamat yang tertulis di selembar kertas dan terselip dikotak penanya. Dinda segera memberikan alamat itu pada van agar ia segera sampai disana.
Melihat alamatnya saja, Van sudah tahu jika itu adalah sebuah kompleka perumahan elit dan terbesar dikota mereka. Penghuninya rata-rata pengusaha kelas atas dengan penghasilan trilyunan disetiap tahunnya.
Hingga keduanya tiba dirumah besar itu. Seorang satpam kompleks membukakan palang pintu ketika melihat zha ada didalam mobil mereka, dan bahkan menunjukkan arah rumah besar tempat tinggalnya.
Van teecengang ketika masuk kehalaman rumah itu, apalagi dinda yang mulutnya sampai ternganga melihat rumah mewah yang ada didepan mata. Karena itu mungkin dua kali atau bahkan tiga kali lipat besarnya dengan rumah milik orang tua dinda. Sedangkan van hanya kagum, karena bangunannya yang menarik dan mewah menurut pandangannya.
"Nona! Astaga!" Salah seorang maid keluar dan terkejut melihat zha yang tengah dibopong oleh van. Ia segera berteriak memanggil nama wika untuk membantu mereka menaruh zha di kamarnya.
"Permisi, kami temen sekolah zha." Dinda memperkenalkan diri pada yang ada disana.
Wika keluar, lalu meminta van membawa zha masuk kedalam kamar dan segera menidurkannya. Meski sadar, tapi zha hanya diam tanpa bicara apapun pada mereka semua disana termasuk wika. Hingga akhirnya dinda menjelaskan bagaimana kronologi kejadian yang menimpa zha dan membuatnya seperti ini.
Wika terkejut. Ia amat perihatin dengan apa yang di alami anak asuhnya itu, hingga membuatnya diam dan dipenuhi dengan trauma. "Sayang?" Wika lantas menghampiri dan mengusap rambut zha yang cukup berantakan disana.
Saat itu, seseorang menghubungi om edi dikantornya. Ia yang masih rapat, bergegas pamit untuk segera pulang menemui zha. Dan ia menyerahkan semua pada sekretarisnya. Dan untung saja memang hanya tinggal mendengar keputusan atas apa yang tengah mereka bicarakan, dan mereka paham betul apa yang dirasakan bos itu saat ini.
Om edo menyetir mobilnya sendiri. Ia melaju dengan kecepatan tinggi membelah jalanan yang cukup ramai dengan mobil mewahnya. Hingga ia tiba dirumah dan segera berlari masuk menemui zha di kamarnya.
"Kak Van pulang aja ngga papa. Dinda juga, dan makasih udah anter zha pulang. Maaf, kalau zha ngerepotin kalian." Zha akhirnya bicara.
"Aku akan pulang, jika aku yakin bahwa air matamu tak akan tumpah lagi." Van meraih tangan itu kenbali dan mengenggamnya.
"Bahkan rasanya sudah habis dan kering," balas Zha, yang suaranya benar-benar serak saat itu.
Dinda juga membujuk zha agar bangkit, dan tak terpuruk dalam kesedihan yang ia alamni. "Meski aku ngga tahu, bagaimana rasa sakit itu," sambung dinda dengan kepala tertunduk.
Zha sesegukan. Tapi memang air matanya sudah tak bisa mengalir lagi saat itu, dan hanya tinggal dadanya saja yang sesak. Tenggorokannya sendiri terasa amat kering, dan matanya meremang seperti ingin terpejam. Namun ketika ia mulai memejamkan mata, kejadian pilu itu terngiang dan kembali perih dalam hatinya.
"Zha!" panggil om edo, yang masuk ke kamar dengan langkah pelan dan wajah datar, tapi tak menutupi ekspresi dengan wajah khawatir pada gadisnya.
Sayangnya saat itu om edo fokus pada van yang tengah menggenggam tangan zha dengan begitu erat, dengan tatapan mata yang begitu perhatian pada zha.
"Om, saya teman zha. Nama saya dinda, dan dia Kak zavan namanya." Dinda kembali memperkenalkan diri, dengan tujuan agar om edo mengurangi ekspresi tegangnya ketika melihat van dan gadisnya yang mesra didepan mata.