Elzhar Magika Wiratama adalah seorang dokter bedah kecantikan yang sempurna di mata banyak orang—tampan, disiplin, mapan, dan hidup dengan tenang tanpa drama. Ia terbiasa dengan kehidupan yang rapi dan terkendali.
Hingga suatu hari, ketenangannya porak-poranda oleh hadirnya Azela Kiara Putri—gadis sederhana yang ceria, tangguh, namun selalu saja membawa masalah ke mana pun ia pergi. Jauh dari tipe wanita idaman Elzhar, tapi entah kenapa pesonanya perlahan mengusik hati sang dokter.
Ketika sebuah konflik tak terduga memaksa mereka untuk terjerat dalam pernikahan kontrak, kehidupan Elzhar yang tadinya tenang berubah jadi penuh warna, tawa, sekaligus kekacauan.
Mampukah Elzhar mempertahankan prinsip dan dunianya yang rapi? Atau justru Azela, dengan segala kecerobohan dan ketulusannya, yang akan mengubah pandangan Elzhar tentang cinta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Biqy fitri S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Balas Dendam
Hari Keenam – Unexpected Jealousy
Hari itu Azel datang lebih rapi dari biasanya. Rambutnya ia ikat setengah, make-up tipisnya membuat wajahnya manis alami. Ia merasa cukup percaya diri setelah treatment beberapa hari terakhir.
Begitu masuk klinik, ia melihat Elzhar sedang berbicara dengan seorang pasien wanita cantik—berpakaian glamor, tawa renyahnya terdengar jelas dari pintu. Wanita itu bahkan berani menepuk lengan Elzhar dengan akrab.
Azel refleks berhenti melangkah. Dadanya terasa sesak. Kenapa gue jadi nggak suka liatnya…?
“Zel?” suara Elzhar menyadarkannya. “Sini, gue mau kenalin.”
Dengan terpaksa, Azel berjalan mendekat.
“El, ini siapa?” wanita itu menyeringai sambil melirik Azel dari ujung rambut sampai ujung kaki. “Pacar lo?”
Elzhar mengangguk tenang. “Iya, ini Azel.”
Wanita itu mendengus kecil. “Hmm… beda banget sama tipe lo biasanya, El.”
Kalimatnya bagai pisau. Azel merasa ditusuk di dadanya.
Namun sebelum Azel bisa menanggapi, Elzhar meraih pinggangnya, menariknya lebih dekat. “Gue nggak butuh tipe. Gue butuh yang asli kayak dia.”
Azel terbelalak. Wajahnya memanas seketika. Ia bahkan bisa mendengar jantungnya berdetak keras. Gila… kenapa dia ngomong semanis itu di depan orang lain?!
Wanita tadi hanya tersenyum kaku, lalu pamit pergi. Begitu langkahnya menjauh, Azel langsung melepaskan diri dari genggaman Elzhar.
“Lo… ngomong apaan sih barusan?!” wajahnya memerah, campuran malu dan gugup.
Elzhar santai, meneguk air mineral. “Kenapa? Gue kan harus meyakinkan orang kalau lo beneran pacar gue.”
“Tapi nggak usah pake narik gue gitu juga kali!” Azel menunduk, wajahnya makin panas.
Elzhar menatapnya sekilas, lalu tersenyum miring. “Kenapa? Lo jadi salah tingkah, Zel?”
Azel menatapnya dengan jengkel, tapi matanya berkilat gugup. “Siapa juga yang salah tingkah! Gue cuma… nggak biasa aja.”
“Hmm,” Elzhar hanya mendengus kecil, tapi jelas senyum puas tersungging di bibirnya. Ia tahu Azel baru saja salting.
---
Sepulang dari klinik, sepanjang perjalanan mobil terasa canggung. Azel sibuk menatap keluar jendela, mencoba menenangkan detak jantungnya.
Tiba-tiba Elzhar berucap pelan, suaranya dalam.
“Zel, lo nggak perlu minder soal siapa pun. Buat gue… lo udah cukup.”
Kata-kata itu menghantam hati Azel. Tangannya yang menggenggam tas tiba-tiba gemetar. Ia hanya bisa menunduk, menyembunyikan wajah yang semakin memerah.
Bahaya… ini bahaya banget. Gue nggak boleh beneran jatuh hati sama dia. Tapi kenapa… kenapa gue jadi seneng banget dengernya?
Suasana mobil sempat hening. Hingga tiba-tiba ponsel Elzhar berdering. Nama yang muncul di layar membuatnya mendengus malas.
“Halo?” sapanya singkat.
Suara tawa sinis terdengar dari seberang.
“L, hati-hati dengan apa yang kalian lakukan. Karena setiap gerak-gerikmu selalu dalam pengawasan.” Suara tante Monic terdengar penuh ejekan, lalu diakhiri dengan tawa puas.
Mata Elzhar langsung menajam, ia otomatis melirik kaca spion. Dan benar saja—tak jauh di belakang, mobil hitam milik Monic mengikuti.
Dengan kesal ia menutup telepon.
“Ada apa?” tanya Azel heran, melihat wajah Elzhar sedikit tegang.
“Sial… tante Monic dari kemarin ngikutin kita,” gumamnya sambil mengetukkan jari ke setir.
Azel melongo, lalu tertawa kecil. “Waduh, rajin banget tante lo. Emang dia nggak ada kerjaan lain?”
Elzhar menoleh sekilas, lalu menarik napas berat.
“Pokoknya mulai sekarang, di mana pun kita ketahuan bareng, kita harus keliatan romantis. Kayak pasangan beneran. Oke?”
Azel menatapnya sebentar, lalu mengangguk pelan. “Ya udah, iya. Lo udah banyak bantu gue, jadi gue juga bakal bantu lo, L.”
Elzhar sempat tersenyum tipis. “Iya, Zel. Kita saling.”
Tak lama mobil mereka berhenti di depan rumah Azel. Dari kaca spion, Elzhar bisa melihat mobil Monic juga ikut berhenti tak jauh di belakang. Ia mendengus sebal. Cihh, kentara banget.
Tanpa ragu, ia turun dari mobil lalu bergegas membukakan pintu untuk Azel. Dengan suara rendah ia berbisik, “Pura-pura peluk gue. Abis itu lambaikan tangan.”
Azel melotot, mendesis pelan, “Hilih, cari kesempatan lo.” Tapi akhirnya ia menurut, memeluk Elzhar dengan canggung sambil terkekeh terpaksa.
“Dadahhh…” Azel melambaikan tangan manis, seolah-olah mereka pasangan harmonis yang sedang kasmaran.
Dari kejauhan, Monic mendengus kesal di balik mobilnya, sementara Elzhar justru tersenyum menang karena rencananya berjalan mulus.
Hari ke Tujuh - Balas Dendam
Sore itu, setelah beberapa pasien pulang, Elzhar menyempatkan diri mampir ke kafe milik Divo. Sudah jadi kebiasaannya membeli kopi di sana hampir setiap hari. Ia duduk santai di pojok ruangan, menatap layar ponselnya.
Tak lama, seorang wanita cantik berpenampilan elegan masuk. Dengan percaya diri, ia menghampiri Elzhar.
“Hai, L. Sudah lama banget kita nggak ketemu. Gimana kabar lo?” sapanya, lengkap dengan cipika-cipiki.
Elzhar hanya menanggapinya datar. “Baik.” Ia bahkan sempat membuang muka.
Wanita itu adalah Aluna—mantan pacarnya. Sosok yang dulu cukup membuatnya trauma. Meski begitu, karena mereka sama-sama di dunia medis, Elzhar tetap menjaga hubungan baik. Sekadar formalitas.
Belum lama mereka duduk, Divo datang dengan gaya khasnya yang heboh.
“Wah, wah, wah! Kalian balikan, ya?” serunya keras-keras.
“Apaan sih lo, Vo. Nggak ada tuh kita balikan,” jawab Elzhar ketus.
“Lo emang selalu heboh dari dulu,” timpal Luna, mencoba mencairkan suasana.
Divo mengedarkan pandangan ke Luna, lalu menyeringai. “Tapi gue akuin, Luna sekarang makin cantik… makin seksi.”
“Ya jelas lah. Itu mah karya gue,” sahut Elzhar datar, menyindir.
Divo melotot. “Maksud lo?”
“Elzhar yang operasiin gue,” jelas Luna sambil tersenyum tipis.
Divo malah ngakak. “Wah, berarti lo udah liat dada sama bokongnya Luna dong, L! Hahaha!”
“Gak lucu, Vo,” Elzhar menatapnya tajam, jelas mulai kesal.
Luna buru-buru memotong suasana canggung. “Udah, udah. Gue ke sini mau kasih undangan reuni SMA besok malam. Sekalian ada acara amal. Jadi… kalian wajib hadir.”
“Oke, gue pasti datang!” Divo langsung antusias.
---
Malam itu, seperti biasa, Azel mampir ke klinik Elzhar. Namun sebelumnya ia sempat menerima pesan singkat darinya: “Gue lagi di kafe Divo.” Jelas, Elzhar sengaja memberi tahu untuk sedikit menggertak Divo.
Beberapa menit kemudian, bel pintu kafe berbunyi. Semua kepala menoleh, termasuk Divo. Seorang wanita masuk dengan aura yang jauh berbeda dari Azel yang dulu ia kenal. Penampilannya elegan, riasannya pas, dan cara berjalannya penuh percaya diri.
Divo, yang tidak mengenali Azel, langsung berdiri dengan gaya sok ganteng.
“Halo, nona. Ada yang bisa saya bantu?” tanyanya genit.
Azel menoleh, menatapnya dingin.
Divo sempat tertegun. Pandangannya menelusuri wajah itu lebih lama, sampai akhirnya ia menyadari. “Zel… ini beneran lo? Astaga, lo berubah banget! Gila… cantik banget sekarang.”
Azel hanya tersenyum samar. “Maaf, siapa ya? Kayaknya saya nggak kenal.”
Divo terkejut. “Hah? Zel, ini gue, Divo! Lo… lo ke sini nyari gue, kan? Ayo, sini sayang…” Ia bahkan hampir merangkul Azel.
Namun sebelum tangannya menyentuh, sebuah suara berat terdengar.
“Jangan sentuh pacar gue.”
Elzhar berdiri, langkahnya mantap menghampiri. Ia merangkul lembut bahu Azel, seakan mempertegas kepemilikannya.
Divo melongo. “APA? Pacar??”
“Iya,” jawab Elzhar tenang. “Sekarang gue pacaran sama dia. Jadi jangan ganggu.”
“Tapi… dia kan mantan gue!” suara Divo mulai meninggi.
“Sekadar mantan. Gue nggak ngerampas dia dari lo.”
Azel menatap Divo dengan tatapan tegas. “Vo, cukup. Semua perasaan gue ke lo udah gue hapus. Dan sekarang… gue milih Elzhar. Gue bakal cintai dia dengan tulus.”
Divo terdiam, wajahnya campur aduk antara kaget dan kecewa.
Luna, yang dari tadi hanya menyimak, ikut terkejut. Dalam hati, ia tak menyangka Elzhar benar-benar sudah membuka hati untuk orang lain.
“Udah, sayang. Kita pergi.”
Elzhar menuntun Azel keluar dengan tenang, tangannya mantap menggenggam tangan Azel seolah menegaskan kepada seluruh dunia: ini milik gue.
Divo hanya bisa terpaku di tempat, matanya membelalak tak percaya. Tubuhnya kaku, dadanya sesak, seperti kehilangan sesuatu yang berharga tapi sudah terlambat untuk diraih kembali.
Beberapa detik setelah pintu kafe berayun menutup, Divo meledak.
“AZEEEELLL!!! Jangan pergi sama dia! Itu gueee, Divo!” teriaknya dengan suara parau.
Beberapa pengunjung kafe menoleh, sebagian menahan tawa, sebagian lainnya geleng-geleng kepala melihat tingkahnya yang seperti anak kecil kehilangan mainan.
Air mata benar-benar jatuh dari mata Divo. Ia menepuk-nepuk meja, menendang kursi dengan kesal. “Sialan! Kenapa harus sama Elzhar?! Gue masih cinta sama lo, Zel!”
Di meja sebelah, Luna hanya menghela napas panjang. Ia menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan wajah lelah.
“Divo… dari dulu lo nggak pernah berubah,” gumamnya lirih. Pandangannya mengikuti punggung Elzhar dan Azel yang semakin menjauh. Ada rasa getir di hatinya, tapi ia tak ingin menunjukkannya.
Tak lama, Luna berdiri. Dengan elegan ia merapikan tasnya, lalu meninggalkan kafe tanpa menoleh ke belakang. Sementara Divo masih terisak konyol, diperhatikan puluhan pasang mata yang menonton drama murahan yang ia buat sendiri.