Anyelir Almera Galenka, tapi sudah sejak setahun yang lalu dia meninggalkan nama belakangnya. Wanita bertubuh tinggi dengan pinggang ramping yang kini tengah hamil 5 bulan itu rela menutupi identitasnya demi menikah dengan pria pujaan hatinya.
Gilang Pradipa seorang pria dari kalangan biasa, kakak tingkatnya waktu kuliah di kampus yang sama.
"Gilang, kapan kamu menikahi sahabatku. Katanya dia juga sedang hamil." Ucapan Kakaknya membuat Gilang melotot.
"Hussttt... Jangan bicara di sini."
"Kenapa kamu takut istrimu tahu? Bukankah itu akan lebih bagus, kalian tidak perlu sembunyi-sembunyi lagi untuk menutupi hubungan kalian. Aku tidak mau ya, kamu hanya mempermainkan perasaan Zemira Adele. Kamu tahu, dia adalah perempuan terhormat yang punya keluarga terpandang. Jangan sampai orang tahu jika dia hamil di luar nikah."
Tanpa mereka sadari, ada seseorang yang mendengar semua pembicaraan itu.
"Baiklah, aku akan ikuti permainan kalian. Kita lihat siapa pemenangnya."
UPDATE SETIAP HARI.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Erchapram, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tentang Ketakutan Gavin
Suasana kamar Anye mendadak canggung, karena Gavin si remaja itu menerobos masuk kamar tanpa alasan. Lalu meringkuk di atas sofa, seolah dia benar-benar ketakutan.
Anye dan Arrayan saling tatap, ingin mengusir tapi tidak tega. Akhirnya pengantin baru itu kembali ke ranjang tidur saling berpelukan, membiarkan Gavin tertidur di sofa.
Hingga tidak lama kemudian, Anye menangkap suara lirih seperti menggigil.
"Bee... Suara apa itu?" Tanyanya.
Dengan sigap, Arrayan beranjak dari tidurnya lalu mendekati Gavin yang sedang meracau dengan tubuh menggigil.
"Honey... Ke sini, lihat Gavin!" Anye turun perlahan kemudian melihat apa yang disuruh oleh suaminya. Gavin menggigil, tapi tubuhnya berkeringat.
Setelah Anye sentuh keningnya, panas... tubuh Gavin demam sangat tinggi.
"Dia sakit, tubuhnya panas sekali. Aku jadi curiga, sebenarnya apa yang telah dia lewati tanpa sepengetahuanku. Hubby, boleh kan kita bawa dia ke Rumah Sakit." Ucap Anye merasa iba, jujur ada rasa sayang yang tidak biasa saat sedang bersama Gavin.
Anye merasa seperti memiliki adik kandung, padahal Gavin adalah adik dari mantan suaminya. Adik ipar.
Arrayan tidak tega menyuruh Gavin bangun, sehingga dia memapah dia hingga masuk ke dalam mobil.
Perjalanan dari rumah Anye ke Rumah Sakit hening tanpa pembicaraan. Setelah menembus kegelapan malam, akhirnya mereka tiba di Rumah Sakit.
"Dokter... Tolong adik saya." Ucap Anye terlihat begitu sangat khawatir.
Arrayan merangkul pundak sang istri, dan memintanya untuk tetap tenang.
"Honey... Tenang ya, jangan terlalu khawatir dan emosi. Ingat kandunganmu semakin besar, dia butuh kenyamanan dalam perut Mamanya." Ucap Arrayan.
"Aku khawatir Bee, karena sudah aku anggap seperti adik sendiri."
"Iya, aku tahu. Tapi tetap prioritas utama adalah kesehatanmu sendiri. Aku, tidak ingin kamu sakit." Ucap Arrayan sedikit bersuara tegas.
Anye paham, akhirnya dia duduk menunggu di depan pintu UGD.
Setelah beberapa waktu, Dokter keluar dari ruang pemeriksaan. Menatap lekat ke arah Arrayan dan Anye.
"Apa pasien keluarga Anda berdua?"
"Iyaa... Dia adik angkat kami. Ada apa Dokter, sepertinya Anda terlihat ingin menyampaikan berita penting." Ucap Arrayan tahu jika Dokter menatap curiga ke arah mereka.
"Ada banyak bekas luka cambuk di punggung dan perut pasien. Ada yang masih baru dan ada yang sudah kering juga. Luka baru inilah yang infeksi."
"Penyebab demam tinggi, karena luka yang baru meradang dan bernanah. Tidak diobati justru tertutup rapat oleh pakaian Pasien, jelas sekali jika dia telah mengalami kekerasan. Kami juga sudah memeriksa darah dan urin pasien, tapi bersih tidak ada gejala pernah mengkonsumsi alkohol atau obat-obatan terlarang. Hanya saja psikisnya juga terganggu."
"Pasien seperti mengalami kecemasan dan ketakutan yang berlebih. Jika Anda keluarganya, kami harap Anda memberikan keterangan jujur sehingga kami bisa menangani dengan tepat." Ucap Dokter.
"Dia hanya keluarga angkat, yang baru hari ini kami bawa. Untuk kejadian sebelumnya, kami tidak tahu dan memang belum sempat mengbrol banyak dengannya." Jawab Arrayan.
"Tolong visum dia, dan berikan surat keterangan jika Gavin telah mengalami kekerasan dan juga penyiksaan. Saya ingin masalah ini dibawa ke jalur hukum." Tegas Anye.
"Honey... Apa perlu seperti itu?" Tanya Arrayan merasa khawatir jika berurusan lagi dengan keluarga mantan.
"Perlu... Sangat perlu, dan secepatnya akan aku urus." Jawab Anye.
Dokter mengangguk, kemudian kembali masuk ke dalam ruang pemeriksaan Gavin.
Anye bersandar di dada bidang sang suami, sambil melingkarkan tangannya.
"Nyaman sekali pelukan Mas Ray. Rasanya aku tidak pernah merasakan pelukan sehangat dan setulus ini." Gumam Anye tanpa sadar menutup mata, dan wanita itu tertidur.
"Sepertinya kamu kelelahan." Ucap Arrayan.
Malam pengantin bagi Arrayan dan Anye, cukup saling berpelukan saja. Karena mereka tidak mau melanggar batas yang harus mereka jaga. Sampai masa iddah Anye selesai.
Inilah yang dibutuhkan Anye, sebuah pelukan dari orang yang tersayang. Tanpa ikatan, Anye tidak akan seberani ini bersandar di dada Arrayan. Anye takut menimbulkan fitnah.
Malam semakin larut, Gavin sudah dipindah ke ruang rawat inap. Hasil visum keluar besok pagi. Menurut Dokter, luka-luka yang baru kemungkinan sudah seminggu didapatkan. Tidak diobati, tapi terus ditambahi.
Arrayan menggendong sang istri, dan merebahkan perlahan di kasur yang disediakan untuk keluarga yang berjaga di samping brangkar milik pasien.
Sementara itu Arrayan duduk menemani. Duda keren itu, tidak ikut merebahkan tubuhnya. Karena dia ingin menjaga sang istri dan adiknya.
Sementara itu, di rumah tua seorang wanita sedang gelisah sendirian.
"Bagaimana jika Gavin lapor polisi, aku tidak mau dipenjara karenanya. Kurang ajar, bisa-bisanya dia kabur." Gumam wanita itu sendiri.
Pagi telah datang, mengganti malam yang kelam. Sepasang suami istri sedang saling berpelukan di atas ranjang di ruang Rumah Sakit.
Gavin perlahan membuka kedua matanya.
"Aku di Rumah Sakit, apa mbak Anye yang bawa." Gumamnya.
Mereka berdua terlihat saling mencintai. Kasihan mereka karena bersatu setelah sama-sama menjalani pernikahan semu.
Tidak lama kemudian Arrayan bangun, kemudian dia juga membangunkan istrinya.
"Honey, sudah pagi." Ucap Arrayan.
"Euuuhhh... Rasanya tadi malam adalah tidur ternyenyakku sepanjang hidup." Ucap Anye kembali memiringkan tubuhnya dan memeluk erat tubuh sang suami
"Mbak Anye..." Panggil lirih Gavin.
"Loh Gavin kamu sudah bangun." Ucap Arrayan mendengar suara Gavin.
"Iya, kenapa bawa aku ke sini. Aku baik-baik saja." Ucap Gavin merasa tidak enak.
"Sebenarnya apa yang terjadi, tolong ceritakan semua dengan jujur." Ucap Anye menurunkan kedua tungkai kakinya.
Gavin diam, tapi kedua tangannya saling meremas. Jelas remaja itu menyimpan trauma yang begitu besar.
"Katakan supaya aku bisa membantumu."
"Tidak perlu Mbak, Mas, jangan terlibat lagi dengan keluargaku itu. Aku sudah lega kalian bisa melepaskan diri dari jeratan mereka. Biarkan saja yang telah terjadi, yang penting aku juga sudah tidak bersama dengan mereka lagi."
"Tapi, apa yang mereka lakukan termasuk tindak kekerasan. Yang harus mendapat hukuman setimpal." Ujar Anye.
"Tidak ada bukti yang menjelaskan jika mereka yang menyiksaku, Mbak. Apalagi Mama pasti pandai berkilah, bisa jadi Mbak yang akan kena masalah karena dianggap memfitnah."
"Kami ceritakan saja dulu, selebihnya biar aku dan suamiku yang urus masalah ini sampai tuntas."
"Baiklah, tapi tolong lindungi aku." Ucap Gavin terus menundukkan kepalanya.
"Aku merasa bukan anak Mama. Sejak kecil, aku sering dipukul jika sedikit saja melakukan kesalahan. Yang sebenarnya bukan kesalahan fatal. Aku bisa terus sekolah karena dapat beasiswa dan kerja sambilan. Mama tidak pernah memberiku uang. Bahkan sejak Mas Gilang menikah, dan Mbak Anye memberiku uang bulanan. Semua diambil oleh Mama."
"Terakhir aku disiksa karena tidak menginjinkan Mas Gilang menjual motorku. Motor yang Mbak Anye belikan itu dijual dan uangnya diberikan pada Zemi untuk bersenang-senang. Dengan alasan Zemi sedang hamil, dia ngidam beli barang mewah. Sedangkan semua kartu sudah diblokir. Pada akhirnya aku lagi yang harus berkorban sebagai bentuk baktiku."
"Entah kenapa Mama selalu mengungkit biaya hidupku, Mbak Gina dan Mas Gilang yang selalu menganggap aku musuh yang pantas disingkirkan. Jadi, apa salah jika aku berfikir mereka bukan keluarga kandungku."
"Kemarin aku seminggu disekap di gudang karena berencana menggagalkan pernikahan Mas Gilang dengan selingkuhannya itu. Tapi, lagi lagi aku kalah."
"Tuntutan Mama yang mengatakan aku harus tetap mendukung rencana mereka, atau aku harus membayar mahal jasa mereka yang telah merawatku. Padahal jelas-jelas di kartu keluarga aku adalah anak kandungnya. Singa saja tidak mungkin memakan anaknya sendiri, tapi Mama bahkan tidak segan menghukumku dengan tidak memberiku makan berhari-hari lamanya."
"Aku diancam diam, atau aku akan disiksa lagi waktu itu. Terima kasih karena Mbak Anye peka terhadap kondisiku." Ucap Gavin.
"Apa kamu tahu, jika mereka semua sering melakukan hal yang tidak pantas dilakukan? Dan kamu dipaksa untuk bungkam?" Tanya Arrayan.
"Iya, aku tahu. Dulu Mama sering membawa brondong ke rumah."
"Tidak hanya satu laki-laki, tapi brondong yang berbeda-beda. Dan mereka melakukannya di tempat terbuka, maksudnya tidak di kamar. Aku seolah tidak punya tempat. Apalagi aku tidak mengenal Papa. Kata Mama, Papa meninggal dunia saat aku masih dalam kandungan."
"Aku rasa ada yang tidak beres, dan kita butuh Vano."