Di dunia Eldoria, sihir adalah fondasi peradaban. Setiap penyihir dilahirkan dengan elemen—api, air, tanah, angin, cahaya, atau bayangan. Namun, sihir bayangan dianggap kutukan: kekuatan yang hanya membawa kehancuran.
Kael, seorang anak yatim piatu, tiba di Akademi Sihir Eldoria tanpa ingatan jelas tentang masa lalunya. Sejak awal, ia dicap berbeda. Bayangan selalu mengikuti langkahnya, dan bisikan aneh terus bergema di dalam kepalanya. Murid lain menghindarinya, bahkan beberapa guru curiga bahwa ia adalah pertanda bencana.
Satu-satunya yang percaya padanya hanyalah Lyra, gadis dengan sihir cahaya. Bersama-sama, mereka berusaha menyingkap misteri kekuatan Kael. Namun ketika Gong Eldur berdentum dari utara—suara kuno yang konon membuka gerbang antara dunia manusia dan dunia kegelapan—hidup Kael berubah selamanya.
Dikirim ke Pegunungan Drakthar bersama tiga rekannya, Kael menemukan bahwa dentuman itu membangkitkan Voidspawn, makhluk-makhluk kegelapan yang seharusnya telah lenyap.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sang_Imajinasi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 35 – Jalan yang Bercabang
Langkah-langkah mereka bergema di lorong batu saat meninggalkan ruang monolit. Api obor di tangan Soren berkedip, menciptakan bayangan panjang di dinding. Hening menggantung di antara mereka, seolah setiap orang tenggelam dalam pikirannya masing-masing.
Di ujung lorong, mereka tiba di persimpangan jalan bawah tanah: satu menuju ke permukaan, keluar dari reruntuhan; satunya lagi menurun lebih dalam, ke bagian kuil yang belum mereka jelajahi. Pada dinding, ukiran kuno menyala samar oleh sisa energi monolit, seakan memberikan pilihan.
Elira membaca tulisan itu dengan hati-hati. “Ada dua jalur. Jalur Arkanum—menuju catatan-catatan kuno, arsip yang tersisa dari para penjaga Pilar. Dan jalur Umbra—jalur bayangan yang konon menghubungkan langsung ke inti Pilar berikutnya.” Ia menoleh ke yang lain. “Dengan kata lain, kita harus memilih: mencari pengetahuan, atau langsung menghadapi bahaya.”
Soren mendecak keras. “Tidak ada waktu untuk membaca buku. Dunia tidak akan menunggu kita duduk santai mempelajari teori. Kalau Pilar lain benar-benar mulai retak, kita harus bergerak cepat menghancurkannya sebelum terlambat.”
Lyra mengerutkan kening, menatap Soren dengan tajam. “Kau bicara seakan kita tahu pasti menghancurkan Pilar adalah jawabannya. Bagaimana jika itu justru mempercepat kehancuran?”
“Dan bagaimana jika tidak?” Soren membalas cepat. “Apa kau mau menunggu sampai seluruh dunia jadi abu hanya karena kita sibuk mencari jawaban yang belum tentu ada?”
Elira melangkah maju, wajahnya tegang tapi tenang. “Soren, kau hanya melihat dengan mata seorang prajurit. Dunia ini bukan hanya tentang bertarung. Jika kita salah langkah, tidak ada pedang yang bisa menyelamatkan kita. Aku yakin catatan di jalur Arkanum bisa menjelaskan bagaimana sebenarnya fungsi Pilar. Jika Kael benar-benar penyeimbang, maka kita harus memahami perannya dulu sebelum memutuskan apa yang harus dilakukan.”
Pertengkaran kembali hampir pecah. Namun kali ini Kael angkat suara sebelum Lyra turun tangan.
“Cukup.”
Suaranya pelan, tapi tegas, membuat semua terdiam. Kael berdiri di tengah persimpangan, menatap kedua jalur itu dengan mata kosong yang penuh beban.
“Aku… tidak bisa terus mengandalkan pilihan kalian. Cepat atau lambat, aku yang harus menentukan jalan. Tapi sekarang, aku masih bingung. Jadi, dengarkan baik-baik: jika kita memilih jalur Arkanum, kita akan dapatkan pengetahuan, mungkin cara untuk mencegah kehancuran tanpa harus kehilangan diriku. Tapi itu akan memakan waktu, dan mungkin dunia semakin rapuh.”
Ia menarik napas dalam. “Jika kita memilih jalur Umbra, kita langsung ke jantung masalah. Mungkin bisa menghentikan Pilar sebelum retak… atau mungkin justru mempercepat apa yang kulihat dalam penglihatan.”
Lyra menunduk, memeluk lengan Kael. “Aku percaya pada pilihanmu, Kael. Tapi aku mohon… jangan biarkan dirimu hilang dalam bayangan.”
Elira menatap Kael lekat-lekat. “Aku katakan, pilih Arkanum. Pengetahuan adalah kunci.”
Soren menepis keraguan. “Umbra. Kita tidak punya waktu lagi.”
Keheningan panjang menyelimuti persimpangan itu. Obor Soren padam perlahan, hanya menyisakan cahaya samar dari ukiran di dinding. Dua jalan bercabang, menunggu pilihan mereka.
Kael memejamkan mata. Suara bisikan dari monolit masih ada, seakan menertawakan keraguannya.
“Apa pun jalanmu, Kael, bayangan akan selalu mengikutimu. Pertanyaannya hanya: kapan kau akan membiarkannya masuk?”
Ia membuka mata, menatap kedua jalur itu. Jantungnya berdegup kencang.
“Aku sudah memutuskan…”
Semua menatapnya, menahan napas.
Namun sebelum ia bisa mengucapkan jalur mana yang dipilih, sebuah getaran hebat mengguncang lorong. Debu jatuh dari langit-langit, dan suara gemuruh terdengar dari kedalaman jalur Umbra. Dari kegelapan, terdengar raungan rendah… sesuatu yang besar baru saja terbangun.
Soren langsung menghunus pedangnya. “Apa pun pilihannya, kita tidak sendirian lagi.”
Kael menatap kegelapan itu, lalu ke jalur Arkanum yang masih sunyi. Pilihan yang harus ia buat kini semakin mendesak—bukan hanya karena takdir, tapi karena bahaya sudah menunggu di depan mata.
---