Tidak cantik, tidak menarik, tidak berdandan apik, tidak dalam keadaan ekonomi yang cukup baik. Namun, hidupnya penuh polemik. Lantas, apa yang membuat kisah hidupnya cukup menarik untuk diulik?
Tini Suketi, seorang wanita yang dijuluki sebagai legenda Desa Cokro yang melarikan diri. Kabur setelah mengacaukan pesta pernikahan kekasih dan sahabatnya.
Didorong oleh rasa sakit hati, Tini berjanji tak akan menginjak kampungnya lagi sampai ia dipersunting oleh pria yang bisa memberinya sebuah bukit. Nyaris mirip legenda, tapi sayangnya bukan.
Bisakah Tini memenuhi janjinya setelah terlena dengan ritme kehidupan kota dan menemukan keluarga barunya?
Ikuti perjalanan Tini Suketi meraih mimpi.
***
Sebuah spin off dari Novel PENGAKUAN DIJAH. Yang kembali mengangkat tentang perjuangan seorang perempuan dalam menjalani hidup dengan cara pandang dan tingkah yang tidak biasa.
***
Originally Story by juskelapa
Instagram : @juskelapa_
Facebook : Anda Juskelapa
Contact : uwicuwi@gmail.com
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juskelapa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
33. Pilihan Pertama
Rutinitas pagi Tini seperti biasa. Membuka mata karena suara keributan dari lantai dua. Langkah kaki penghuni atas yang sedang bergegas. Tini menegakkan tubuh, sesaat meregangkan pinggang, lalu bangkit menyambar handuk. Hal itu dilakukannya setiap hari di pukul 4.30 pagi. Tak lama ia bangun biasanya Mak Robin juga mulai menyuarakan langkah kakinya yang berat.
Tini memang sengaja bangun lebih awal, karena kamar mandi selalu dipadati para penghuni kos yang jadwal kerjanya pagi hari. Mereka tak ingin terlambat. Sama seperti Tini. Apalagi letak kantor Tini termasuk jauh dari kos-kosan. Namun, itu tak masalah buatnya. Ia sudah malas berpindah tempat tinggal. Baginya kandang ayam sekarang adalah rumahnya.
Tini mengenakan setelan jas murah, tapi terlihat bagus di tubuhnya. Jas itu harus sedikit direparasi di tukang jahit agar lebih pas membungkus tubuh. Penampilannya sudah menyamai wanita karir yang berkantor di SCBD. Sangat trendi. Bedanya, lanyard Tini, mereknya bukan COACH. Tapi, hasil beli di toko buku.
Tini menyisir rambutnya yang hitam lurus di depan meja rias kecilnya.
“Sebentar lagi dimulai,” gumam Tini. Mulut Tini lalu menirukan kata ‘Robin’ tanpa suara. Bersamaan dengan itu, suara Mak Robin terdengar menjeriti anaknya.
“Robiiiin!” teriak Mak Robin dari dinding kamar sebelah.
Lalu Tini kembali membuka mulutnya menirukan perkataan yang akan selanjutnya diucapkan Mak Robin.
“Bangun kau! Jam berapa ini? Makanya tidur yang cepat! Jangan HP aja mata kau itu!” sergah Mak Robin.
Lagi-lagi Tini benar. Ia sudah hafal betul dialog itu setiap pagi. Usai menirukan apa yang diucapkan Mak Robin, Tini tertawa terkikik-kikik.
“Setiap hari nanya sama anaknya, ‘Jam berapa ini?’ Ya, anaknya nggak tau. Kan, lagi tidur. Gemblung mamaknya,” gumam Tini meletakkan sisir.
Usai berdandan, Tini duduk di tepi ranjang. Ia menarik sepasang sepatu tinggi berwarna hitam dari bawah kolong tempat tidur. Saat membuka gulungan stocking yang telah ia siapkan kemarin malam, ia menajamkan telinganya lagi.
“Handuknya pasti lupa,” tukas Tini.
Tak lama kemudian, “Robiiiin ... bawa handukmu ini!” jerit Mak Robin lagi.
Tini kembali terkikik. Setelah mengalungkan tasnya ke bahu, Tini melangkah keluar kamar.
“Udah siap kau?” tanya Mak Robin.
“Udah. Sejak lengkingan suaramu yang pertama,” jawab Tini.
“Tiap hari kuingatkan, tapi selalu kau lupa. Dikasi tau, menangis kau!” sergah Mak Robin pada anaknya.
“Sudah, Bin .... Jangan sedih, masih banyak cara mengecewakan orang tua kamu yang lainnya.” Tini mengusap kepala Robin.
“Udah! Pigi kau sana,” usir Mak Robin.
Tini tertawa-tawa seraya mencubit pelan pipi Robin. “Aku pergi kerja dulu, ya. Kalau ada laki-laki ganteng, tinggi, bercambang yang nyariin aku, kasi tau kantorku di mana.” Tini mencabut anak kuncinya, lalu memasukkannya ke tas.
“Memangnya siapa yang mau datang?” tanya Mak Robin berdiri di ambang pintu.
“Ya, jelas enggak ada. Kalau ada kayak gitu yang mau dateng, aku nggak berangkat kerja. Di rumah nungguinnya pake kain sarung aja,” jawab Tini, melangkah menjauhi pintu dan melambaikan tangan seraya tertawa.
“Dasar bodat!” umpat Mak Robin.
Sebagai seorang senior di kantor, Tini sudah cukup tenar. Mulai dari satpam, resepsionis, sampai dengan para pegawai yang memenuhi deretan meja selalu menyapanya.
“Pagi Mbak Tini ....” Pegawai yang sekedar lewat pun tak luput menyapa Tini.
“Come on, Team! Sini lapor target mingguan,” pinta Tini sedetik setelah meletakkan tasnya di meja kerja.
Tiga orang pegawai yang merupakan bawahan Tini di timnya, segera berdiri. Seorang pria kurus bernama Bowo, seorang pria gemuk bernama Mail, dan wanita mungil bernama Dwi.
“Mbak Tini, ini laporanku.” Dwi meletakkan dua lembar kertas di atas meja. Tini mengangguk dengan tangan tersilang di depan dada.
“Kamu?” tanya Tini, memandang Bowo. Pria kurus itu lalu meletakkan laporannya. Sedangkan pria gemuk hanya berdiri memandang Tini dengan raut penyesalan. “Surat! Laporan kamu mana?” tanya Tini.
“Mail, Mbak Tin. Bukan surat,” ujar Mail.
“Ya, sama. Mail. Surat dalam bahasa English. Gitu aja protes. Mana laporan kamu?” tanya Tini.
“Kemarin tetangga saya ada yang pesta, saya nggak bisa tidur. Dangdutan sepanjang malam,” sahut Mail, memijat tengkuknya memandang Tini.
“Harusnya bisa kamu prospek. Duit amplopnya pasti banyak. Langsung bisa ditawari segala macam perlindungan. Bukan malah ngeluh karena suara dangdutan. Kamu mijet-mijet tengkuk pasti karena ikut joget nyawer ke sela-selanya biduan. Perkara dangdutan sampai pagi ini, aku udah khatam. Sana!” pinta Tini pada Mail dengan wajah kesal. “Alesan, kok, nggak kreatif. Sekalian bilang ikut begadang ngitung amplop,” omel Tini, memungut kertas dari atas meja kemudian menarik pena dari tempatnya.
Beberapa saat lamanya Tini menunduk mengecek daftar pencapaian timnya. Menggabungkan jumlah target mereka semua dan menyisipkan penjepit di sudut kertas.
“Saya ke ruangan Pak Agus. Nanti kalau ada telfon ke meja saya, tanya dari siapa di mana? Password-nya jangan lupa. Tini Su,” pesan Tini pada Dwi yang berada di seberang mejanya.
“Oke, Mbak.” Dwi mengangguk mantap menatap ketua timnya.
Di depan pintu ruangan Agus, Tini berhenti sejenak merapikan roknya yang sedikit naik karena posisi duduk tadi.
Tok Tok Tok
“Ehem!” Agus mengeluarkan batuk kecil yang biasanya pertanda boleh masuk.
“Ehem—ehem, ngomong ‘masuk’ aja susah. Nanti kalau enak-enak ngomongnya, ‘Mas ehem-in sekarang’?” Tini mengomel sebelum menekan handle pintu dan mendorongnya ke dalam.
“Ya?” Agus mendongak menatap kedatangan Tini.
“Pak, saya bawa laporan minggu lalu. Kurang memuaskan. Tapi sudah melebihi delapan puluh persen target,” lapor Tini, meletakkan kertas yang dibawanya ke atas meja Agus.
“Sudah lumayan bagus,” ujar Agus, mengangguk-angguk menatap kertas yang baru dipegangnya. “Oh, ya. Kamu kemarin ke mana?” tanya Agus, meletakkan kertas kembali ke atas meja.
“Enggak ada. Di rumah aja. Kenapa?” tanya Tini. Ia sudah mengerti sedikit banyak soal Agus yang plin-plan tak jelas. Tak mau terlalu dicari, tapi resah kalau tak dicari.
“Minggu lalu kamu bilang ada restoran enak di daerah puncak. Saya kira kamu mau ngajak ke sana,” tukas Agus.
Tumben-tumbennya laki-laki di depannya ini mau membicarakan soal pribadi di dalam ruangan kantornya yang keramat, pikir Tini.
“Iya. Saya cuma ngomong ada restoran enak di puncak. Di deket sini juga ada restoran enak. Enggak cuma di puncak,” sahut Tini.
Sekalian saja. Biar Agus tahu dan sadar kalau dirinya tidak terlalu penting, batin Tini.
“Maksudnya saya mau kamu ngajak. Bakal saya oke-kan, kok. Saya nunggu telfon kamu,” kata Agus lagi.
Tini menghela napas. “Bukannya Bapak sendiri yang ngomong kalau ibunya Bapak ngajak pergi ke kondangan—entah siapa. Aku juga nggak inget entah siapa,” gumam Tini di akhir kalimat. Dahinya mengernyit seraya mengingat soal Agus yang mengatakan akan pergi menemani ibunya ke resepsi pernikahan.
“Memang ada? Saya lupa,” ujar Agus santai.
Tini mengumpati Agus di dalam kepalanya. “Woh, dasar gemblung! Suka-suka Mbah-nya. Berasa penting kamu, Gus! Hih! Nehi!”
“Nanti kamu makan siang di mana?” tanya Agus.
“Saya ada janji makan siang dengan calon nasabah,” jawab Tini. Ia berbohong. Tak ada janji makan siang dengan nasabah mana pun. Ia hanya sedang malas menghadapi Agus.
“Saya mau ketemu temen. Dia rencana mau buka kantor baru di Jakarta. Usahanya ada di Surabaya. Dia butuh kantor yang berada di sini untuk memudahkan urusannya. Lusa mau ketemuan. Sekalian saya mau minta kamu buat penawaran. Kita ajukan kerja sama untuk asuransi perjalanan,” pinta Agus.
“Kalau boleh tau, kantornya apa, Pak?” tanya Tini.
“Biro perjalanan. Usaha begitu memang selalu memerlukan kantor di Jakarta.”
“Kok, gitu? Memangnya kenapa?”
“Pengurusan dokumen seperti visa. Semuanya lengkap di Jakarta. Enggak semua negara asing punya kantor kedutaan di seluruh kota Indonesia. Jadi, ini untuk memudahkan bisnisnya yang ada di daerah. Ada dokumen apa-apa, tinggal kirim ke Jakarta,” jelas Agus.
Tini manggut-manggut. Lalu, tangannya meraba kantong jas tempat ponselnya yang sedang bergetar. Tini meraih ponselnya dan melihat nama yang tertera. Jono.
“Pak, saya permisi dulu. Mau jawab telfon,” kata Tini.
Agus mengangguk. “Jangan lup—”
Tini sudah memutar tubuhnya. “Helooo ... do you miss me? Hihihi—" Tini terkikik-kikik setelah menanyakan pada Jono apakah pria itu merindukannya.
Wajah Agus langsung menekuk sebal. Ditambah Tini menghempas pintu lebih keras dari biasanya.
To Be Continued
Likenya jangan kelewatan, ya, sayang-sayang njuss ....
Nanti bakal deketan update berikutnya.
Ini ada istilah baru buat yang belum tau.