Bismillah.
Cinta datang menyapa tanpa memandang siapapun. Ia hadir pada hati manusia, lalu mulai menebarkan harum.
Syifa hanya gadis biasa, ia hadir di antara keluarga yang telah menyayanginya sejak kecil.
Bima anak pertama dari keluarga baru Syifa. Mereka tumbuh bersama. Meski, terpaut usia lima tahun. Bima menganggap Syifa sama seperti Zaki, adik kandungnya.
Zaki dan Syifa tidak jauh berbeda. Zaki satu tahun lebih tua dari Syifa. Kasih sayangnya tidak kalah kuat seperti Bima.
Masalah mulai terjadi saat Syifa menyadari ada rasa tidak biasa di hatinya untuk Bima. Lelaki dewasa dan mapan yang mulai sibuk mengurusi bisnisnya sendiri.
Sebagai pemilik beberapa cafe dan bengkel. Bima harus selalu stay untuk memantau. Ia bahkan tidak memiliki waktu, untuk sekadar menjalin asmara. Hingga Umi dan Abahnya memutuskan menjodohkan Bima dengan Nadia, anak almarhum teman ibunya. Namun, Bima menolak. Waktu kembali mempertemukan Bima dengan sosok Laila, teman satu kampus dulu.
Di satu sisi ada dua orang lelaki yang menyukai Syifa. Gabriel dan Fahri saling bersaing memalingkan hati Syifa dari Bima.
Bagaimana kisahnya?
Apakah Syifa tetap akan selamanya memendam perasaan?
Siapakah yang akan menjadi jodoh Syifa?
Mari simak bersama🤗
NOTE PENULIS.
JUDUL: CINTA DALAM DOA.
ALUR : MAJU PANTANG MENYERAH.
POV: Memakai pov 3 yang sok tahu.
Genre : Romantis, komedi.
Cover by FiFI.
Cerita by CIETYAMEYZHA
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cietyameyzha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Yang tak diketahui Amar.
Orang yang diam bukan berarti ia tak memiliki perasaan. Terkadang ada sesuatu yang ia jaga di balik sikap diamnya.
🍂🍂🍂🍂
Setelah itu Fahri benar-benar pergi. Tinggal Bima yang masih mematung memandang ke arah depan. Suasana kampus yang sekarang berbeda jauh. Seketika kenangan masa itu kembali berputar di pikiran.
"Aku harap dia tidak sedang mempermainkan Syifa," ujar Bima, melangkah masuk ke mobil dan menjalankannya kembali. "Abah, mengapa ini sulit sekali untuk Bima."
Mobil Bima meramaikan jalanan pagi ini. Seperti biasa ia akan ke cafe, Amar sudah menunggunya di sana. Temannya itu bahkan sudah berteriak terus lewat teks pesan yang ia kirimkan.
Sepuluh menit, waktu yang Bima habiskan untuk sampai di cafe. Bukan hanya ini, sejujurnya ia pun memiliki sebuah bengkel sederhana. Hanya saja, ia mempercayakan pada seorang kenalannya. Ia hanya datang sebulan sekali untuk mengecek laporan.
"As'salamualaikum, Pak Haji." Tiba-tiba Amar datang dari arah belakang membuat Bima yang baru keluar dari mobil terperanjat.
"Astaghfirullah, kamu ngagetin orang aja," tegur Bima.
"Kalau ngagetin setan mah bukan pagi hari. Tapi, tengah malam, Pak Haji."
Amar memperhatikan Bima. Merasakan kekusutan di raut wajah temannya. "Ada apa?"
Bima mengerutkan kening. "Maksudnya?"
Mereka berjalan dan masuk ke cafe.
"Kamu ada masalah?" tebak Amar, Bima naik ke lantai atas. Mengisyaratkan Amar untuk mengikutinya.
Amar yang paham mengekor di belakang. Ia berusaha menerka masalah berat apa yang tengah melanda hati temannya. Mereka sampai di ruangan lantai dua. Bima mengajak Amar duduk di kursi.
"Jadi, apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Amar penasaran.
Bima menarik napas kasar, mengembuskannya perlahan. Ia tatap lekat-lekat Amar. "Fahri datang melamar Syifa tadi malam."
Reaksi Amar tenang, ia tak terkejut ataupun heboh. Sikapnya ini menimbulkan pertanyaan di benak Bima. Mungkinkah?
"Dia sudah cerita padaku," ungkap Amar. "Lalu, bagaimana hasilnya?"
"Syifa menolak."
"Benarkah?" Amar terperanjat mendengar kabar tersebut. "Lelaki itu ditolak Syifa?"
Bima mengangguk.
"Wah, aku harus menggodanya," pikir Amar.
"Bukan itu masalahnya." Wajah Bima lesu.
"Apa terjadi sesuatu lagi?"
Bima diam sejenak. Mengatur napasnya seteratur mungkin. Setelah sekian lama suatu kebenaran akan terungkap hari ini.
"Aku takut dia hanya menjadikan Syifa sasaran atas kekesalannya padaku dulu," terang Bima.
Amar mengerjap, ia tak mengerti jalur pembicaraan Bima. Apa ada sesuatu yang ia lewatkan? Atau Bima menyimpan rahasia yang tak ia ketahui?
"Bicara yang jelas."
"Saar kuliah dulu, diam-diam Fahri menyukai Laila. Aku sama sekali tidak tahu. Makanya, aku mendekati gadis itu. Jika aku tahu, mungkin aku memilih membiarkan Laila bersama Fahri," jelas Bima.
"Meski kenyataannya Laila juga tidak jadi denganku," sambung Bima.
Amar yang mendengar itu sedikit kesal. Mengapa rahasia sebesar ini ia tak diberitahu? Tak ada harganyakah ia sebagai teman? Namun, Amar berusaha legowo. Bagaimanapun itu hanya masa lalu.
"Lalu apa yang kamu takutkan?" Amar mencoba tenang.
"Ternyata di hari yang sama Fahri juga menyatakan perasaannya ke Laila. Hanya saja jawaban Laila yang membuat dia sedikit tersinggung," imbuh Bima.
"Laila bilang, kalau aku akan mempersuntingnya sesegera mungkin. Tapi, dia tidak bilang, kalau dia menolak niatku," lanjut Bima.
Amar menyenderkan punggung di sandaran kursi. Sementara Bima termenung sendiri. Cukup lama keduanya memilih mengunci mulut. Hingga satu ketukan menyadarkan keduanya.
"Masuk," ujar Bima.
Seorang pelayan lelaki membuka pintu, mengatakan bahwa ada seorang wanita yang datang menanyakan Bima. Setelah berbicara demikian, pelayan tadi keluar kembali.
Amar bangkit, menoleh ke arah Amar. "Aku tidak bisa mengatakan apa pun. Kalian adalah temanku sejak dulu. Tapi, sebaiknya --jika-- kamu menyukai gadis yang sama lagi dengan Fahri, kamu tidak usah mundur. Janur kuning belum melengkung, siapa saja bisa meminangnya. Meski kamu tidak tau apa niat Fahri sebenarnya."
Amar berlalu keluar ruangan. Meninggalkan Bima yang tengah mencerna perkataan Amar di syaraf otaknya.
"Aku bukan tak suka. Namun, ada hal yang tak bisa aku jelaskan dulu," imbuh Bima sembari keluar hendak menemui tamu yang ia tak tahu siapa.
Bima turun menapaki anak tangga satu per satu. Tampak Laila duduk di kursi di dekat jendela. Penampilannya semakin berbeda. Dia mengenakan gamis biru dengan jilbab menutup dada warna senada. Wajahnya tampak lebih ayu di balut pakaian tertutup.
Bima menghampiri. "As'salamualaikum."
"Wa'alaikumsalam." Laila menengadah ke atas. "Maaf, aku mengganggumu."
Bima hanya membalas dengan gelengan kepala, lalu menarik kursi dan duduk berhadapan. Meski begitu, ia tak memandang ke arah Laila.
"Ada apa?" tanya Bima.
Laila tak langsung menjawab. Ia sedikit gugup dan ragu. Mungkinkah ini akan menjadi pertemuan terakhirnya dengan Bima? Atau Allah akan mempertemukan mereka kembali.
"Aku ke sini hanya ingin mengucapkan terima kasih," tutur Laila. "Maaf, aku datang kembali ke kehidupanmu."
Laila menunduk. Tetes air mata mulai keluar tanpa di minta. Dengan cepat Laila menyekanya. Ia tak ingin Bima mendengar isak tangis ini.
"Aku menyesal pernah menolakmu. Maafkan, aku." Laila kembali menarik napas, seolah ia tengah meluapkan sesak dalam dada. "Bima, aku mungkin bukan wanita suci lagi. Terlalu banyak dosa dan zina yang sudah aku lakukan."
"Setiap orang pernah melakukan kesalahan dalam hidupnya. Tapi, pintu taubat-NYA terbuka lebar."
"Ya, kamu benar."
Suara ricuh rombongan orang terdengar memasuki cafe. Mereka datang untuk menikmati makanan andalan, ataupun sekadar mengobrol santai bersama teman-teman sambil menikmati minuman.
"Kalau begitu, aku pamit." Laila beranjak, melangkah melewati Bima.
"Kamu tidak perlu mendengarkan cemoohan orang lain. Dengan kamu berhenti melakukan itu pun, itu sudah menunjukkan --bahwa-- hidayah telah menyentuh hatimu. Petiklah hikmah dari masa lalu dan mulailah hidup baru yang lebih baik. Manusia itu sama, tak akan ada yang luput dari namanya dosa," tutur Bima.
Bahu Laila bergetar, ada rasa penyesalan yang bergejolak dan terus menjadi mimpi buruk di setiap malam. Bayangan kenikmatan sesaat telah mengurungnya beberapa tahun belakang. Sungguh menyesal. Hanya itu yang kini ia rasakan.
"Terima kasih," Laila menahan tangis sambil berjalan ke arah pintu.
Rasa sesak di dada hilang. Ia tak memiliki teman, keluarga ataupun orang di sampingnya saat ini. Ia bukan orang yang halal bagi Bima untuk sekadar meminjam pundak lelaki itu.
Sementara itu, Bima masih diam di tempat. Tanpa Laila sadari Bima melihat sekilas genangan air mata di pelupuk netra gadis itu. Linangan yang sama ia lihat dari netra milik Syifa kala itu. Dua gadis yang memiliki sipat dan prilaku yang berbeda dengan tetes mata yang sama memenuhi pikiran Bima.
"Abah, mengapa lelaki itu mengajukan permintaan yang berat," kata Bima lelah.
...****************...
BERSAMBUNG~~~~
Jangan lupa beri dukungan untukku dengan like, comen dan vote🤗🤗
penasaran deh....