Cinta Dalam Doa
"Abang," panggil Syifa sambil mengetuk pintu kamar kakak angkatnya.
Tidak berapa lama terdengar suara pintu dibuka memperlihatkan seorang lelaki tampan berusia dua puluh lima tahun.
"Ya, Dek," sahut Bima.
"Ummi minta aku untuk ajak Abang sarapan."
"Baiklah. Abang segera turun. Terima kasih, Dek." Mengulum senyuman indah.
"Sama-sama. Kalau begitu, aku ke bawah duluan, ya, Bang." Membalikkan badan, melangkah menuju tangga.
Bima mengangguk. Memperhatikan seksama gadis manis yang delapan belas tahun lalu datang ke rumahnya.
Syifa, anak kecil yang dibawa Ummi dan Abi-nya bagai sebuah obat ditengah rasa sedihnya, karena menginginkan saudari perempuan.
Ibu Halimah, Ummi dari Bima di vonis tidak bisa memiliki keturunan lagi. Dikarenakan, ada tumor di dalam tubuhnya sehingga mengharuskannya melakukan pengangkatan rahim.
Bima segera menarik diri dari lamunan. Ia masuk kembali ke dalam, untuk mengambil tas dan kunci mobil. Setelah siap, ia segera menyusul jejak Syifa ke lantai bawah.
Di lantai bawah terdengar Zaki, anak kedua dari pasangan Ibu Halimah dan Pak Imam sedang asyik menggoda Syifa.
"Tuh, kan, Ummi bener kata Zaki. Di kampus, Syifa itu banyak penggemarnya," ungkap Zaki.
"Kakak, Syifa 'kan bukan seorang publick pigur. Jadi, tidak ada namanya penggemar," sela Syifa.
"Memang benar, Sayang apa yang dikatakan Kakakmu itu?" tanya Pak Imam.
"Engga, Abah. Jangan dengerin, Kak Zaki suka ngelantur," bantah Syifa.
"Tapi, kemarin Kakak lihat ada lelaki nyamperin kamu. Hayoh, ngaku!" ledek Zaki kembali.
"Sudah, sudah. Seperti yang sudah Abah katakan, tidak ada yang boleh menjalin hubungan asmara dengan lawan jenis sebelum menikah. Paham!" tegur Pak Imam lembut.
Zaki dan Syifa mengangguk pelan. Mereka selalu mengingat pesan Abah-nya dalam hati. Pak Imam adalah contoh kepala keluarga yang tegas, tetapi penyayang.
Ia selalu memberikan kebebasan untuk anak-anaknya, selama itu tidak melenceng dari jalur keyakinannya.
Bima sampai di meja makan. Menyapa sebentar Ummi dan Abah-nya, lalu duduk di samping Zaki.
Keluarga mereka bukanlah keluarga kaya. Pak Imam dulunya hanya seorang guru di salah satu sekolah negri. Ia bekerja keras, demi mencukupi anak dan istrinya.
Setelah Bima lulus kuliah, dan mulai menjalankan Cafe juga bengkel. Pak Imam berhenti mengajar atas permintaan putra sulungnya. Kini hari-harinya ia dedikasikan dengan sesekali mengajar anak-anak kurang beruntung disekitar komplek rumahnya.
Keadaan menjadi hening. Mereka pokus menyantap sarapan nasi goreng buatan Bu Halimah yang menjadi favorit keluarga ini.
Sarapan selesai. Masing-masing akan menjalankan tugasnya. Bima pamit pergi ke cafe, Zaki dan Syifa izin untuk berangkat ke kampus. Sedangkan, Bu Halimah sehari-hari membuat kue pesanan teman-temannya.
Seperti yang sudah diputuskan Abahnya. Syifa tidak pernah berangkat berduaan baik dengan Zaki, ataupun Bima. Karena pada dasarnya, kedua lelaki itu tetaplah bukan mahram baginya.
Bima sudah melesat terlebih dahulu dengan mobil yang ia beli dari hasil kerja kerasnya. Sedangkan, Zaki dan Syifa berangkat menggunakan transportasi umum. Setidaknya mereka tidak berduaan.
Perjalanan yang cukup memakan waktu lima belas menit itu akhirnya selesai. Syifa dan Zaki tiba di salah satu kampus terbaik di kota Jakarta, tempat mereka tinggal.
"Dek, Kakak ke perpustakan dulu, ya. Kamu mau langsung ke kelas, atau menunggu Arumi di sini?" tanya Zaki.
"Syifa nunggu Arumi dulu di taman aja, Kak. Tadi dia udah chat Syifa."
"Ok! Jangan kangen sama Kakak, ya. Berat, biar Dilan aja. Kakak juga engga kuat." Tersenyum manis.
Syifa menggelengkan kepalanya. Zaki memang berbeda dari Bima. Lelaki yang hanya terpaut satu tahun dengannya ini sedikit humoris. Sedangkan Bima hanya sesekali saja bercanda dengannya.
Mungkin karena Bima terlalu sering menyendiri sejak bekerja. Ia lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar, untuk beristirahat. Meski begitu, ia pun tetap hangat pada semuanya.
Zaki melambaikan tangan tanda perpisahan. Meninggalkan Syifa yang berjalan menuju taman kampus.
Syifa bukanlah gadis yang memiliki banyak teman. Ia memilih menutup diri, bukan karena tidak ingin bergaul. Namun, ia tidak terlalu suka berkumpul banyak orang selain keluarganya.
Syifa dididik baik oleh Bu Halimah. Ia tumbuh menjadi wanita lembut dan cantik. Tentu, ditunjang oleh ilmu agama dan dunia yang dibekali Pak Imam dan Bu Halimah.
Syifa duduk di salah satu bangku. Membuka ponsel, berselancar di dunia maya. Mengusik kebosanannya menunggu Arumi yang tidak kunjung datang.
Tidak berapa lama suara lelaki mengagetkannya. Syifa menoleh ke arah asal suara. Terlihat seorang lelaki muda yang sepertinya tidak jauh berbeda usinya dengan Syifa. Ada kalung salib menggantung di lehernya.
Lelaki itu mengurai senyum. "Maaf, aku menganggumu. Apa kamu tahu ruangan Rektor? aku baru di sini."
"Ruangannya ada di dekat Falkultas ekonomi."
"Terima kasih, sekali lagi aku minta maaf."
"Engga apa-apa, Kak."
Lelaki itu sekilas memperhatikan Syifa yang terlihat imut dengan hijab pashmina berwarna biru muda, kemudian berlalu menuju tempat yang ia cari.
Tidak berapa lama Arumi datang mengagetkan Syifa, untuk kedua kali-nya. Gadis itu tersenyum manis melihat ekspresi kesal Syifa dengan wajah merah padam.
"Hei, ada apa dengan wajahmu, Fa?"
"Ini karena kamu. Lagian kenapa lama sekali!"
"Maaf, kamu tahu 'kan ibuku selalu rempong di pagi hari. Beliau bahkan menyiapkan bekal makan siang untukku."
"Beruntung, kamu punya ibu yang baik."
"Kamu yang lebih beruntung. Di adopsi Ummi dan Abah, di sayangi dua lelaki tampan. Masya Allah, aku iri sama kamu."
Syifa tersenyum manis. Ia bukan hanya beruntung, akan tetapi ia sangat bersyukur akan hal itu.
Andai dulu Ummi dan Abah-nya tidak menyelematkannya saat kecelakaan yang menewaskan orang tua kandungnya. Mungkin saat ini, ia tumbuh di lingkungan yang berbeda.
"Terima kasih, Ummi dan Abah," gumam Syifa pelan.
Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan kurang lima menit. Syifa dan Arumi bergegas masuk ke dalam ruangan kampus. Ia tidak ingin terlambat menghadiri dosen yang terkenal galak.
"Kalau sampai telat, kita bisa dijadiin perkedel sama Bu sela," ujar Arumi.
Sampailah mereka di ruangan khusus fakultas Akutansi. Tidak seperti biasanya ruangan ini dipadati para mahasiswa dan mahasiswi.
"Mungkin mereka teh sudah bosen bolos," bisik Arumi.
Untuk kesekian kalinya Syifa hanya tersenyum. Temannya satu ini memang berbeda dari yang lain. Gadis yang masih ada keturunan Sunda ini memang sering membuat Syifa tertawa, karena nada bicaranya yang lucu.
Syifa dan Arumi duduk di barisan bangku tiga terdepan. Tanpa sengaja mata Syifa bertemu sosok lelaki yang tadi bertanya padanya di taman.
Lelaki itu berada tepat satu barisan dengannya. Namun, ia duduk paling pojok. Ia melambaikan tangan sambil berkata, "Hai, kita ketemu lagi. Mungkinkah ini jodoh."
...****************...
BERSAMBUNG~~~~
ASSALAMUALAIKUM ...
Selamat datang di karyaku yang baru. Aku meminta dukungan kalian, agar aku bisa selalu semangat berkarya.
Jangan lupa like, coment dan vote🤗
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 99 Episodes
Comments
@ £I£I$ Mυɳҽҽყ☪️
aku mampir di karya ini kak author
2022-09-14
1
Becky D'lafonte
mampir ksni
2022-09-05
0
Athfi Purnama Oeding Alfalimbanny
Alur cerita sdh bagus
2022-08-17
0